Jumat, 10 April 2009

BAHTERA DAKWAH SALAFIYYAH DI LAUTAN INDONESIA

Disusun Oleh: Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
(Alumni S-2 Universitas Islam Madinah, KSA dan Mahasiswa S-3 Universitas
Islam Madinah, KSA)


 
Alhamdulillah, washsholatu wasallamu `alaa asyrofil anbiyaai nabiyyinaa
muhammadin wa `alaa aalihi wa ashhaabihi ...

Adalah sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu
mengevaluasi setiap perbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna
mengembangkan keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari
kita selalu bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan
pada kesempatan ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan
dengan dakwah salafiyyah di Indonesia untuk sedikit menoleh ke belakang,
guna menilik kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah
ini.
Umar bin Khaththab pernah berkata: Artinya: bermuhasabahlah (intropeksi
dirilah) sebelum kalian dihisab. (HR. At tirmidzi dan Ibnu Syaibah)

Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak untuk bersama-sama kita
lakukan, karena saya merasa, dan setiap orang telah merasakan adanya
berbagai aral dan berbagai badai yang sedang menerpa bahtera dakwah ini.


Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa,
bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan
tenggelam.

Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh
Rasulullah Shollollohu `Alaihi Wa sallam bahtera dakwah ini tatkala
beliau bersabda:
Artinya: Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan
(syariat) Allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum
yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal / bahtera, sehingga sebagian
dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan
sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya, sehingga yang berada
dibagian bawah kapal bila mengambil air, maka pasti melewati orang-orang
yang berada diatas mereka, kemudian mereka berkata: seandainya kita
melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu
orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila mereka semua membiarkan
orang-orang tersebut melaksanakan keinginnanya, niscaya mereka semua
akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya
mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semuapun
akan selamat. (HR Bukhori)

Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negri kita, kita
akan melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut
hemat saya, ada enam permasalahan yang sepatutnya kita pikirkan bersama,
kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam
permasalahan tersebut adalah:
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar.
2. Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri.
3. Kedudukan uang transport bagi seorang da'i.
4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran) yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama'ah.
5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan.
6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para
ulama'.
Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan tersebut
satu demi satu:
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar
Bila kita membaca nasehat-nasehat para ulama' -baik ulama'- terdahulu
maupun ulama' zaman sekarang- dalam perihal menuntut ilmu, maka kita
akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari
ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang
kurang penting dan seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin
berhasil dalam menuntut ilmu, maka dengan ilmu itulah ia memulai
belajar.
Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus
bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia
harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia
mempelajari hal-hal lainnya.
Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim,
adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan
ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu,
dari bagian ilmu tauhid yang mana kita harus memulai? Apakah kita mulai
dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid
rububiyyah, atau tauhid asma' wa shifat? Mungkin ada yang berkata:
Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula
atau orang awam, yang belum tahu apa-apa ?
Nah... inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai
tholibul ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam, tentunya ia tidak
akan mampu melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah
peran para asatidzah dab du'at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan
membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan
kemampuannya. Nah... kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak
dilalaikan oleh para asatidzah dan du'at-du'at kita, sehingga terjadilah
kekacauan, dan berbagai fitnah di masyarakat.
Artinya: Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang
mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya
didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan
Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al Baghdady dalam
kitab Al Jami', keduanya dengan menyebutkan sanadnya)
Sebagai contoh nyata: Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi
muqabalah (test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami'ah Al
Islamiyyah), berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah
pesantren, lalu beberapa asatidzah -termasuk saya sendiri- menghubungi
beberapa syekh yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna
memohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas
dan kemudian menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah
seorang syekh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh
tersebut bernama:"Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil" (Penulis
buku Manhaj dan Aqidah
Imam Syafi'iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'I). Dan ketika
beliau sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung
mengetest / menguji ke-50 thullab, satu demi satu. Dan diantara
pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka:"Sebutkan rukun-rukun
sholat?"

Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil
memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada
salah satu dari mereka yang memeberanikan diri untuk menjawab, dan
berkata :"Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya".

 Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka: "Siapakah yang
lebih kafir, ahlul bid'ah ataukah yahudi ?" maka dengan sekonyong-konyong
orang tersebut berkata: Ahlul bid'ah lebih kafir dibanding yahudi.
Tatkala syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut,
beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat
memalukan ini dan berkata: "Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj
salaf?! Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!

Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah
seorang ustadz yang berceramah dan berkata: "Sesungguhnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang
sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan
yang rumit".

Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah
pertanyaan tentang rukun sholat rumit ? Apakah tidak ada yang tahu bahwa
yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid'ah banyak dari mereka
tidak sampai kepada kekufuran ?!?!?!

Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat
dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan
diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan
waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian gamis
di lingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.

Contoh lain: Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama
yang ditulis oleh ulama'-ulama' zaman sekarang, seperti Syekh Rabi' bin
Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya,
kita langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan
dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi,
maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah
seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut,
akan tetapi, sistematis dalam belajar dan mengajar harus tetap dijaga.

Contoh lain: Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da'i yang
sedang ditahdsir, maka di setiap kota, dan setiap majlis, pembicaraan
dan materi kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang
pro ataupun kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan
melalaikan ilmu.

Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang
diombang-ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka ke sanalah
buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk
dari cara pendidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana
lemahnya buih lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian.

Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah: Sering kali kita merasa
cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak mengenal
hakikat.

Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat
islam ini, adalah merupakan istilah syar'i, sehingga defiinisi dan
maknanya-pun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat
islam, tidak cukup untuk dipahami secara bahasa.

Sebagai contoh: kata "sholat" secara bahasa kata ini bermakna "doa",
akan tetapi dalam syariat kata tersebut memiliki definisi lain, sehingga
kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata "sholat", maka
kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa. Begitu juga
halnya dengan istilah -istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata "sholat" di situ adalah
makna secara bahasa, bukan secara syariat.

Nah... sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai
istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah
kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana
kita mengenal definisi kata "sholat", lengkap dengan mengenal syarat,
rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya ? Untuk lebih jelasnya, kita kenal
kata "tasyabbuh", apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini
dengan benar, syarat-syarat, rukun-rukun, dan hukumnya ? Atau kita baru
tahu namanya saja? Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits
berikut ini:

Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata: "Tatkala
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam hendak menuliskan surat ke
romawi, (para sahabat berkata kepada beliau): Sesungguhnya orang-orang
Romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah
Shalllallahu 'Alaihi Wassalam membuat stempel dari perak". (HR Bukhori
dan Muslim)

Bukankah Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam dalam kisah ini meniru
kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabbuh? Ini menunjukkan
bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli
bid'ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria / syarat (tasyabuh)
yang harus diperhatikan, diantaranya:

1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.
2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.
3. Adanya niat meniru, berdasarkan hadits (Innal a'malu binniyaati /
sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat...)

Sebagai contioh lain: Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang,
berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah
dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang
mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh ?

Yang lebih memilukan adalah nasib istilah "manhaj salaf", betapa sering
kita mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan
berdakwah sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik
bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj
salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam
manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami
manhaj salaf...dst ?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang -menurut hemat saya- sampai
saat ini di negeri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan
penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal
atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya
kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala
permasalahan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Dengan cara kita
tanyakan kepada para `ulama atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan
istilah tersebut hingga tuntas.
 

Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini: adalah sikap
meremehkan peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
berbagai ilmu syariat.

Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang
menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul
fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu
ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata: "Yang
penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan
oleh Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam, maka kita amalkan, tidak
perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, rukun, atau wajib,
atau sunnah dalam suatu sebuah ibadah.

Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang
mengaku dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang
tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih
memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang
menyandang gelar (Lc) yang ia peroleh dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di
Madinah Munawwarah.

Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan: Artinya: Barangsiapa
yang tidak memperoleh hal-hal yangh prinsip, maka dia tidak akan
mencapai ilmu.

Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang
mengatakan ungkapan ini: "Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang
berhasil menjadi ulama', tanpa mempelajari ilmu-ilmu tersebut ?"

Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah
saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang
tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya
berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidak
pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut.

Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu
tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan
sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi
kita semua.

Ahlis sunnah wal jama'ah telah sepakat dalam mendefinisikan "iman",
bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota
badan.

Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu
yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama (apabila ilmu
tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima
waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll), maka dihukumi telah
kafir (keluar dari agama islam), walaupun ia masih tetap menjalankan
sholat, puasa, mandi janabah dll.

Imam An Nawawi berkata: "Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah
menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang
kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus
dan orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka
tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia
pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan
orang yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin
dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar,
seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah,
haramnya zina, khomer, menikahi mahram dan hukum-hukum yang serupa,
(kecuali orang yang baru masuk Islam dan tidak mengetahui norma-norma
agama islam), maka bila orang seperti ini mengingkari salah satu dari
hal-hal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak
kafir." (Syarah Shohih Muslim 1/250)

Ibnu Taimiyyah berkata: "Sesungguhnya beriman dengan wajibnya
kewajiban-kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang dan
haramnya hal-hal yang diharamkan telah jelas dan diketahui oleh setiap
orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah
satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah
disepakati akan kekafirannya". (Majmu' Fatawa 12/496)

Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat -misalnya- dengan
sempurna, akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah
rukun, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram.
Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum shalat,
maka sholatnya tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelum sholat.
Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah
Wal Jama'ah. Untuk lebih jelas lagi. Silahkan baca buku-buku fiqih yang
yang menjelaskan syarat- syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.

 
2. Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri
Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: Artinya: Tidaklah
salah seorang dari kalian dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai
untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori
dan Muslimah)


Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan
pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam
bergaul dan bermasyarakat, yaitu: sebelum kita mengucapkan perkataan
atau bersilap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada
hati nurani kita sendiri "apakah saya suka bila diperlakukan dengan
perlakuan yang akan saya lakukan ini?" Bila jawabannya adalah "Ya, saya
suka", maka silahkan untuk dilakukan, dan bila ternyata jawabannya
adalah "Tidak", maka jangan lakukan hal tersebut. Betapa indahnya
pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya.

Seandainya para da'i, dan ustadz yang ada di negeri kita, -terutama mrk
yang mengaku bermanhaj salaf- mengamalkan prinsip ini, saya yakin,
banyak permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya.

Akan tetapi kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan.
Sebagai contoh: Yayasan "AL HARAMAIN" yang ada dikota Riyadh, dalam
beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang lulus
dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah -tanpa terkecuali-, sumbangan
berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada
kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya
sumbangan tersebut dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal,
dan kadang 500 reyal.

Nah... Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan
berkata, kalo demikian... alumni jami'ah yang sekarang sudah malang
melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain, juga menerima
sumbangan tersebut ???!! Maka jawaban pertanyaan ini -dan saya tahu
sendiri- adalah: "Ya, mereka menerima itu semua dengan kedua tangan
terbuka, dan tanpa sedikit ada keragu-raguan".

Pasa beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami'ah -yang sekarang
ini dengan lantang mentahdzir setiap orang yang menerima sumbangan dari
yayasan Al Haramain- setelah menerima sumbangan sebesar: 1.000 Reyal,
mereka ditanya oleh salah seorang kawan: Kenapa kok mau menerima
sumbangan tersebut, bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan
sangat lugu berkata: "Lho...kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain".

Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, karena sumbangan macam ini
sudah berjalan beberapa periode sebelumnya. Dan yang mengherankan pula,
setelah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu berasal dari Al Haramain,
keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi sumbangan tersebut, dengan
harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang jatuh dari sakunya.

Contoh lain: Pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin Indonesia di Al
Jami'ah Al Islamiyyah, mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal
pengiriman kitab ke negara mereka Indonesia, yaitu dengan dikirimkan
secara kolektif dengan menggunakan kontainer (ini adalah awal pengiriman
kitab dengan cara ini di Al Jami'ah Al Islamiyyah). Pengiriman tersebut
didanai oleh Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkas-kan di negara Kuwait.


Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami'ah Al
Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan Yayasan
Ihya `ut Turots: "Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri
antum; karena telah menerima sumbangan dari Al Haramain dan Ihya'ut
Turots ? Apakah Al Haramain & Ihya' at Turots menjadi yayasan salafy,
bila yang menerima sumbangan adalah antum sendiri, dan menjadi yayasan
kholafy / surury, bila yang menerima adalah anak-anak yatim, atau orang
selain antum ??! Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?"

Contoh lain: Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada
salah seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat
untuk bertanya akan hukum hal ini kepada Syekh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan, maka fatwa syekh tersebut, lenyap entah kemana....,
Saya tidak tahu, apakah fatwa tersebut telah ditelan bumi, atau ditelan
ambisi.

Oleh karena itu -menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri
sendiri adalah penting perannya dalam kehidupan seorang muslim.

Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam'an, beliau berkata: Aku
pernah bertanya kepada Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam tentang
Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm (perbuatan dosa), maka beliau
bersabda:"Al Birru adalah akhlaq / budi pekerti yang baik, dan Al Itsmu
adalah segala yang engkau merasakan adanya kejanggalan dan keragu-raguan
dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa tidak suka bila diketahui oleh
orang lain. (HR. Muslim)

3. Kedudukan uang transportasi bagi seorang da'i
Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya
yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama Islam, yaitu
keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan
balasan bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta'ala. Pada
kesempatan ini, saya tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas;
karena hal itu sudah diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam
kesempatan ini, adalah ajakan kepada seluruh du'at dan asatidzah, agar
mengkaji ulang hukum kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah kita, yaitu
kebiasaan menerima uang transportasi.

Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi,
apakah uang transportasi yang kita terima, setelah kita memberikan
pengajian/ ceramah/ dauroh dll, benar-benar uang transportasi ? Ataukah
uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat ganda ? dan menurut
yang saya ketahui- alternatif terakhir inilah yang terjadi, Uang
transportasi pulang pergi yang seharusnya hanya- misalnya Rp. 50.000,-
akan tetapi amplop yang diterima berisikan- minimal Rp. 100.000,-

Hal kedua yang harus kita kaji ulang adalah hukum menerima uang
tersebut, sebab para ulama' semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat
dalam menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang
memakruhkan, dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah
yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani
rahimahullah.

Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa
ustadz yang- Alhamdulillah -telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren,
dan -Alhamdulillah pula- telah memiliki santri yang cukup banyak, lebih
mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren
-terlebih-lebih undangan dari luar kota- dibandingkan mengajar di
pesantren yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering
tidak mendapatkan pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz tersebut, bila
sudah keluar kota untuk berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrenya,
kecuali bla sudah kecapekan, dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh
sakit.

Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban
mengajar diesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota?
Bukankah para santri telah -walaupun sedikit- membayar SPP, sehingga
telah menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah
dicanangkan oleh pesantren ?

Lalu, apakah yang memotivasi ustadz tersebut untuk keluar kota? Bukankah
keluar kota lebih melelahkan? Membutuhkan transportasi? Bukankah
kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua ? Yaitu mengajar di
pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah di masyarakat sekitar
lokasi pesantren ?

Diantara kisah yang sampai kepada saya: Bahwa daerah-daerah yang
masyakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf)
berperekonomian / berpenghasilan rendah / tidak memiliki donatur yang
kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di
tempat-tempat tersebut, terlebih-lebih pengajian rutin.

Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A)
bermusuhan dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan
berbagai alasan. Pada suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A)
-dikarenakan beberapa hal- menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan
menghadiri pengajian Ustadz (A), maka Ustadz (A) berang seakan sedang
kebakaran kumis, lalu mengatakan bahwa Ustadz (B) telah mencuri
muridnya. Usut punya usut, ternyata dahulunya anak murid tersebut
biasanya selalu memberikan sumbangan kepada Ustadz (A), dan setelah
menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi mengucurkan sumbangan
tersebut.

4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh
(aliran-aliran) yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal
dakwah salaf, manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang
memiliki manhaj yang bersebrangan dengan manhaj salaf. Ada dari kita
yang dahulunya seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula
yang sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang
mu'tazili dll.


 

Hal ini adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain
agar kita bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta'ala, yang telah memberi
hidayah kepada kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita
selalu berhati-hati, dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap
kita, jangan sampai pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih
terpengaruh dengan pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan
firqoh-firqoh tersebut.

Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih
sabar dan bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, karena
kita akan selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu -karena
kebodohan- saya juga telah berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa
iba, dan kasihan terhadap orang tersebut, akibatnya, kita akan lebih
gigih untuk menjalankan segala daya dan upaya agar orang tersebut bisa
mendapatkan hidayah, sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah. Marilah
kita renungkan bersama ayat berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan
Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kpdmu: "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,
karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu
dahulu, lalu Allah menganugerahkan ni'mat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. An
Nisaa': 94)


 
Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin -ketika dalam keadaan
peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh, yang menampakkan
keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin: "Engkau
bukanlah seorang muslim, engkau mengucapkan salam hanya sekedar takut
dibunuh" lalu dibunuh, karena sangat dimungkinkan bahwa orang tersebut
adalah orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk
menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan orang-orang
Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana didapatkan dari
mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk
menampakkan keislamannya.

Nah...pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da'i, dan ustadz,
bahwasannya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah
pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih
lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih
bila terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran.

 

5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan

Allah Ta'ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran,
masing-masing kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang
berbeda-beda, ini adalah sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan
harus selalu kita ingat, tatkala kita berbicara dengan orang lain.

 Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit
penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal tersebut. Akan
tetapi, ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali,
baru akan bisa memahami apa yang kita inginkan. Bahkan ada orang yang
tidak bisa memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah
berpuluh-puluh kali, akan tetapi, bila ia mendengarkan penjelasan dari
orang lain, dengan cara lain, ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa
yang kita maksudkan.

Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain,
kecuali setelah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal
pikiran, maka begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat
kita, sampai seluruh pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal
pikirannya terjawab dengan tuntas. Hal ini sering kita lalaikan,
sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa memperdulikan pendapat
dan alasan kita.


Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini,
sehingga tatkala orang lain tidak atau blm bisa menerima pendapat kita
maka... mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya
berkobarlah api amarah, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari
klaim: "Keras kepala, aqlani, menolak hadits, ...hingga vonis mubtadi'."


 

Sebagai contoh: Sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir
ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz tersebut telah dinasehati, dan
tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang
belum tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan
pendapatnya dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan
dengan gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang
mungkin saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah
didengar dan dibaca, belum tentu ustadz tersebut memahaminya dengan
baik.

Oleh karena itu, saya mengajak para da'i, dan asatidzah untuk lebih
banyak belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara
berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara
mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan
banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan
ahlul bid'ah.

6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur'an dan As Sunnah
tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan
perantara penjelsan dan penafsiran para ulama'. Merekalah yang yang
mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang
telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.

Oleh karena itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman,
agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran
dan As Sunnah, yaitu:
1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai dengan
pemahaman salafush sholih.

2. Pemahaman yang benar dan sempurna thd kasus dan permasalahan yang
hendak ia hukumi.

Bila seorang ulama telah memiliki kedua jenis pemahaman tersebut, maka
-Insya Allah- fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan tetapi,
bila salah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi
kesalahpahaman padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik
dan benar.

Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki
pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang
pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang
akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak
paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter.
Sehingga jatuhlah korban karenanya. Bahkan menurut beliau, bahaya
seorang yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa
paham terhadap realita yang ada pada zamannya, adalah lebih besar
dibanding dokter gadungan tersebut, karena kesalahan yang ia timbulkan
ada hubungannya dengan nasib manusia di akhirat.

 
Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da'i,
dan asatidzah, agar extra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa
atau sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan
masyarakat kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa
tersebut?

Sebagai contoh nyata; Ada dari kalangan ulama' salaf yang menegaskan:
bahwa lebih baik bertetangga dengan kera-kera dan babi, dibanding
bertetangga atau duduk dengan dengan ahlul bid'ah. Seharusnya sebelum
kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah masyarakat kita
sama dengan masyarakat ulama tersebut, masyarakat yang mayoritasnya
memahami manhaj salaf ?

Contoh lain: Para ulama telah sepakat, bahwa: Barangsiapa yang
menyatakan Al quran adalah makhluk, maka ia kafir. Nah...apakah setiap
orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan tersebut,
langsung kita hukumi sebagai orang kafir??

Imam Ahmad (beliau langsung menghadapi fitnah tentang hal ini) tatkala
mengetahui bahwa Al Makmum (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan
bahwa Al Quran adalah makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang
ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan tetapi Imam Ahmad
tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad malah
berkata: "Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do'a yang
mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan pemimpin
kaum muslimin (kholifah)".

Contoh lain: Beberapa bulan yang lalu, Syekh Muhammad bin Hadi Al
Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon
kepada asatidzah di Indonesia. Pada hari dan waktu yang telah
disepakati, beliau menyampaikan tausiyyahnya, dan setelah selesai, maka
beliau memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang
sebelumnya telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan
adalah berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid'ah, maka
beliau berfatwa: "Tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid'ah", tentunya
dengan berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.

Setelah acara tersebut selesai, fatwa tersebut langsung diterapkan oleh
beberapa glintir ustadz, yaitu dengan menunjukkan kepada salah seorang
ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala
ustadz tersebut tidak menuruti apa yang mereka inginkan, mulailah mereka
mengeluarkan senjata pemungkas, yaitu tahdzir dan hajr, bahkan bukan
hanya itu saja, ustadz tersebut juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan
SD itu yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah.

Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan
saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan:
bahwa penjelasan saya tersebut, adalah hukum yang bersifat umum, tidak
boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. Karena menerapkan hukum
kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tata cara tersendiri.
Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan
mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz tersebut.

Apalagi, setelah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang
terjadi akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata: Semoga Allah
tidak memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka.

 
Sikap ini -sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan,
bila ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka
ustadz pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua
tersebut, yaitu dengan cara menelpon salah seorang syekh, kemudian
ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh tersebut
memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi
pada kisah yang lalu. Dan setelah ia mendapatkan jawaban yang ia
inginkan, ia langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang
ustadz yang tidak ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.

Oleh karena itu para ulama telah meletakkan sebuah qaidah yang
berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus
tertentu, yaitu "Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar'i,
sesuai dengan perubahan adat atau keadaan pada orang tersebut".

 Oleh karena itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama salaf dalam
berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala,
bak katak dalam tempurung.

Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah menimbulkan
berbagai fitnah di negri kita. Dan akhir tulisan ini, saya ingin
menekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga
saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan
alasan serta dalil, bahkan saya sangat mengharapkan kritikan dan saran
dari kawan-kawan demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah di
negri kita.

0 komentar: