Jumat, 03 April 2009

DEMOKRASI SISTEM KUFUR HARAM MENGAMBILNYA, MENYEBARLUASKANNYA, DAN MENERAPKANNYA

"Hai orang-orang yang beriman, ta‘atilah Allah dan ta‘atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu"

(QS. an-Nisa [4]: 89-91)



Demokrasi, yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur; tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara global (garis besar) maupun secara partikular (rinci). Kontra-diksi demokrasi dengan Islam tampak dalam sumber kemun-culannya, akidah yang melahirkannya, asas yang menda-sarinya, serta dalam berbagai ide dan aturan yang dihasil-kannya. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil—apalagi menerapkan dan menye-barluaskan—demokrasi.

****

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat oleh manusia dalam rangka “membebaskan manusia” dari kezaliman dan penindasan para penguasa atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia dan tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.
Demokrasi lahir dilatarbelakangi oleh keberadaan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa seorang pe-nguasa adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan-Nya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan untuk membuat hukum sekaligus menerapkannya. Dengan kata lain, seorang penguasa dianggap memiliki kewenangan mutlak untuk memerintah rakyat dengan pera-turan yang dibuatnya sendiri, karena kekuasaan mereka berpijak pada kekuasaan yang bersumber dari Tuhan, bukan dari rakyat. Akibatnya, mereka secara leluasa menzalimi dan menguasai rakyat—sebagaimana halnya pemilik budak secara leluasa menguasai budaknya—atas nama anggapan yang mereka dakwakan.
Pada gilirannya, timbullah pergolakan dan konflik antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Keadaan semacam ini membangkitkan kesadaran para filosof dan pemikir. Mereka mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat, yaitu sistem demokrasi. Sistem ini menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekua-saannya dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat dipandang sebagai pemilik kehendak yang melaksanakan sendiri kehendaknya dan menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Artinya, tidak ada satu kekuasaan pun yang berkuasa atas rakyat, karena rakyat itu sendiri ibarat pemilik budak. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat pula yang berhak mengangkat pe-nguasa—dalam posisinya sebagai wakil mereka—untuk me-merintah mereka dengan peraturan yang juga dibuat oleh mereka.
Walhasil, sumber kemunculan sistem demokrasi selu-ruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.

***

Demokrasi merupakan kata dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap sebagai penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Rakyat berhak mengatur sendiri urusannya serta melaksanakan dan menjalankan sendiri kehendaknya. Rakyat tidak bertanggung jawab pada kekuasaan siapa pun selain kepada dirinya sendiri. Rakyat berhak membuat sendiri peraturan dan undang-undang—karena mereka adalah pemilik kedaulatan—melalui para wakil mereka yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat itu melalui tangan para penguasa dan hakim yang mereka pilih. Keduanya mengambil-alih kekuasaan dari rakyat karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat, sebagaimana individu lainnya, berhak menyelenggarakan pemerintahan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang.
Menurut konsep dasar demokrasi, yaitu pemerintahan yang diatur sendiri oleh rakyat, seluruh rakyat harus ber-kumpul di suatu tempat umum. Mereka kemudian membuat peraturan dan undang-undang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta memberikan keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.
Namun demikian, karena seluruh rakyat tidak mungkin dikumpulkan di satu tempat hingga masing-masing memerankan diri sebagai “lembaga” legislatif, maka mereka kemudian memilih para wakilnya, sehingga para wakil inilah yang menduduki lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan dewan perwakilan. Dalam sistem demokrasi, dewan perwakilan diklaim merupakan representasi dari kehendak umum rakyat, dan sekaligus merupakan penjel-maan politis dari kehendak umum mayoritas rakyat. Dewan ini kemudian memilih pemerintah dan kepala negara yang akan menjadi penguasa sekaligus wakil rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala negara mengambil kekuasaan dari rakyat yang telah memilihnya. Ia lantas memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang yang dibuat atas nama rakyat. Walhasil, rakyatlah yang memiliki kekuasaan secara mutlak; rakyatlah yang berhak menetapkan undang-undang; dan rakyat pula yang memilih penguasa yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.
Selanjutnya, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna—baik dalam pembuatan undang-undang, peraturan hidup, maupun dalam pemilihan penguasa—tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka berbagai kebebasan yang bersifat umum atau universal merupakan prinsip yang harus diwujudkan dalam sistem demokrasi. Kebebasan umum ini berlaku bagi setiap individu rakyat. Dengan begitu, rakyat akan dapat mewujudkan kedaulatannya, sekaligus merealisaikan dan menjalankan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.
Kebebasan individu yang bersifat umum ini tampak dalam empat aspek berikut ini:
1. Kebebasan beragama.
2. Kebebasan berpendapat.
3. Kebebasan kepemilikan.
4. Kebebasan berperilaku.

****

Demokrasi lahir dari akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme. Akidah sekularisme merupakan jalan tengah yang tidak tegas. Akidah ini lahir karena pergolakan atau konflik yang terjadi di antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para filosof dan pemikir. Saat itu, para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama sebagai alat untuk mengeksploitasi, menzalimi, dan menghisap darah rakyat. Tindakan demikian lebih disebabkan karena adanya suatu anggapan bahwa raja dan kaisar adalah wakil Tuhan di muka bumi. Para raja dan kaisar lalu memanfaatkan para rohaniawan sebagai tunggangan untuk menzalimi rakyat. Akibatnya, berkobarlah pergolakan sengit antara para pe-nguasa tersebut dengan rakyatnya sendiri. Pada saat itulah, para filosof dan pemikir bangkit. Sebagian dari mereka mengingkari keberadaan agama secara mutlak. Sebagian lagi mengakui keberadaan agama, tetapi memprasyaratkan adanya pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
Pergolakan ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Gagasan sekularisme inilah sesungguhnya yang merupakan akidah yang menjadi asas bagi ideologi Ka-pitalisme. Sekularisme pula yang menjadi landasan pemi-kiran (qâ‘idah fikriyyah) bagi Kapitalisme. Sekularisme menjadi dasar bagi seluruh bangunan pemikirannya, seka-ligus menentukan orientasi pemikiran dan pandangan hidup (weltanschauung) mereka. Di atas dasar sekularisme inilah para penganut ideologi Kapitalis memecahkan seluruh problem kehidupan mereka. Di samping itu, sekularisme menjadi pengarah pemikiran (qiyâdah fikriyyah) yang diemban dan selalu dipropagandakan Barat ke seluruh penjuru dunia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akidah sekularisme telah menjauhkan agama dan gereja dari kehidupan ber-negara. Akidah ini selanjutnya menjauhkan agama dari proses pembuatan peraturan dan undang-undang, dari pengangkatan penguasa, dan dari pemberian kekuasaan ke-pada penguasa. Oleh karena itu, rakyat kemudian dituntut untuk memilih sendiri peraturan hidup bagi mereka, membuat peraturan dan undang-undang, dan mengangkat penguasa. Penguasa inilah yang akan memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh mereka serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum mayoritas rakyat. Dari sinilah sistem demo-krasi lahir.
Walhasil, ide sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) adalah akidah yang telah melahirkan demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang mendasari seluruh ide yang dikandungnya.

***

Demokrasi dilandaskan pada dua gagasan besar:
1. Kedaulatan di tangan rakyat.
2. Rakyat merupakan sumber kekuasaan.
Kedua gagasan tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka melawan para kaisar dan raja untuk menghapuskan ide tentang Hak Ketuhanan (Divine Rights) yang menguasai Eropa waktu itu. Melalui gagasan ini, para raja dipandang memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat sekaligus dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berhak membuat peraturan serta menyelenggarakan pemerintahan dan peradilan. Ringkasnya, kaisar atau raja adalah negara itu sendiri.
Sebaliknya, melalui gagasan ini pula, rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur. Mereka dianggap tidak memiliki hak; baik dalam pembuatan peraturan, dalam ke-kuasaan, dalam peradilan, atau dalam hal apa pun. Rakyat, dengan demikian, berkedudukan sebagai “budak” yang tidak memiliki hak untuk berpendapat ataupun melontarkan kehendak. Mereka hanya memiliki kewajiban untuk taat kepada penguasa dan melaksanakan perintahnya.
Kedua gagasan yang menjadi landasan demokrasi ini kemudian disebarluaskan dalam rangka menghancurkan ide tentang Hak Ketuhanan secara menyeluruh, sekaligus memberikan hak pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa kepada rakyat. Kedua ide tersebut didasarkan pada anggapan bahwa rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan budak yang dikuasai tuannya. Artinya, rakyat adalah tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat memiliki kehendaknya sendiri dan melaksanakan sendiri kehendaknya itu. Jika tidak demikian, rakyat akan menjadi budak, sementara hakikat perbudakan itu sendiri terjadi ketika salah satu pihak—yakni rakyat—dikendalikan oleh kehendak pihak lain. Dengan kata lain, jika rakyat tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti mereka akan tetap merupakan budak.
Oleh karena itu, untuk membebaskan rakyat dari perbudakan semacam ini, mereka harus dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berhak menjalankan kehendaknya sendiri. Dengan begitu, rakyat memiliki hak untuk mene-tapkan peraturan yang dikehendakinya, atau sebaliknya, menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dike-hendakinya. Dalam hal ini, rakyat adalah pemilik kedaulatan mutlak. Rakyat pula yang merupakan satu-satunya pihak yang berhak melaksanakan peraturan yang ditetapkannya, memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan yudi-katif) yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang dikehendakinya. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara penguasa hanya mengambil kekua-saannya dari rakyat.
Dengan berhasilnya revolusi melawan para kaisar dan raja serta gugurnya ide tentang Hak Ketuhanan, maka kedua ide yang menjadi landasan demokrasi tersebut—yakni bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat merupakan sumber kekuasaan—dapat diterapkan dan dilaksanakan. Dua ide inilah yang menjadi asas bagi sistem demokrasi.
Walhasil, dalam sistem demokrasi, rakyat bertindak sebagai musyarri‘ (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, sekaligus sebagai munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.

****

Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan “suara mayoritas”. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan peraturan dan undang-undang serta pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada peme-rintah dalam dewan perwakilan ditetapkan pula berda-sarkan “suara mayoritas”. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh lembaga dan organisasi lainnya. Pemilihan penguasa oleh rakyat, baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan “suara mayoritas” pemilih dari rakyat. Oleh karena itu, “suara mayoritas” adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pen-dapat mayoritas, menurut demokrasi, merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.

****

Demikianlah penjelasan ringkas mengenai demokrasi dari segi pengertian, sumber, dan latar belakangnya; dari segi akidah yang melahirkannya dan asas-asas yang melan-dasinya; serta dari aspek-aspek yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.
Dari penjelasan ringkas tersebut, tampak jelas beberapa poin berikut ini:
1. Demokrasi adalah bagian dari produk akal manusia, bukan berasal dari Allah Swt. Demokrasi tidak disandarkan sama sekali pada wahyu Allah dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan agama mana pun yang pernah diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.
2 Demokrasi lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.
3. Demokrasi dilandaskan pada dua ide: (a) kedaulatan di tangan rakyat; (b) rakyat merupakan sumber kekuasaan.
4. Demokrasi adalah sistem “pemerintahan mayoritas”. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan “suara mayoritas” para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut juga diambil berdasarkan “pendapat mayoritas”.
5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebe-basan yang bersifat umum, yaitu: (a) kebebasan beragama (freedom of religion); (b) kebebasan berpendapat (fredom of speech); (c) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership); (d) kebebasan berperilaku (personal freedom).

Dalam sistem demokrasi, kebebasan harus diwu-judkan bagi setiap individu rakyat. Dengan itu, mereka dapat melaksanakan kedaulatannya dan menjalankannya sendiri, sekaligus dapat melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga per-wakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.
Dengan memperhatikan poin kesatu di atas, sebe-narnya sudah jelas bahwa demokrasi adalah sistem kufur, tidak berasal dari Islam, dan tidak memiliki hubungan apa pun dengan Islam.
Namun demikian, sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan atau kontradiksi demokrasi dengan Islam serta pandangan hukum syariat tentang demokrasi, kami ingin menjelaskan terlebih dulu dua hal: (1) demokrasi sebe-narnya belum pernah diterapkan secara real di negara-nega-ra asal demokrasi (a-historis); (2) praktek demokrasi sesung-guhnya didasarkan pada omong-kosong dan penyesatan belaka.
Di samping itu, kami ingin menjelaskan pula tentang kerusakan dan kebusukan demokrasi, berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat penerapan demokrasi, serta sejauh mana kebobrokan terjadi pada masyarakat yang telah menerapkan demokrasi.

****

Demokrasi dalam maknanya yang sesungguhnya adalah gagasan utopis (ide khayali) yang tidak mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum pernah, bahkan tidak akan pernah bisa diwujudkan sampai kapan pun. Sebab, ber-kumpulnya seluruh rakyat di satu tempat secara terus-menerus untuk memberikan pertimbangan dalam berbagai urusan adalah hal yang mustahil. Demikian pula keharusan seluruh rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya. Oleh karena itu, para penggagas demokrasi lantas melakukan manipulasi dan penakwilan ter-hadap ide demokrasi, sekaligus mengada-adakan apa yang disebut dengan “kepala negara”, “pemerintah”, dan “dewan perwakilan”. Namun demikian, pengertian demokrasi yang telah ditakwilkan pun tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak pernah pula terwujud dalam kenyataan.
Kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen yang diklaim dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; dewan perwakilan yang diklaim sebagai penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan majelis perwakilan yang juga diklaim sebagai representasi (wakil) mayoritas rakyat, pada hakikatnya sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat, bukan mayoritas rakyat. Alasannya, seorang anggota wakil rakyat yang duduk di parlemen sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Oleh karena itu, jumlah suara para pemilih di suatu daerah harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih “suara mayoritas” para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut. Kon-sekuensinya, para wakil rakyat yang terpilih sebenarnya hanya mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan suara mayoritas rakyat. Artinya, mereka sesungguhnya merupakan orang-orang yang mendapat kepercayaan sekaligus wakil dari minoritas rakyat, dan bukan orang-orang yang men-dapat kepercayaan sekaligus wakil mayoritas rakyat.
Demikian pula dengan seorang kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung maupun oleh para anggota parlemen. Seorang kepala negara sebenarnya juga tidak dipilih berdasarkan suara mayoritas rakyat, tetapi berdasarkan suara minoritas rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota parlemen tersebut di atas. Apalagi para kepala negara dan anggota parlemen di beberapa negara asal demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis—yaitu para konglomerat dan orang-orang kaya—dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi semacam ini lebih disebabkan karena para kapitalis raksasalah yang mendudukkan mereka pada berbagai posisi di pemerintahan dan lembaga perwakilan yang akan merealisasikan kepen-tingan para kapitalis itu. Kaum kapitalislah yang membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Dengan begitu, mereka memiliki pengaruh kuat atas presiden mau-pun anggota parlemen. Fakta semacam ini sudah sangat dikenal di Amerika.
Sementara itu, di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari Partai Konservatif. Partai Konservatif juga mewakili para kapitalis raksasa yaitu para konglomerat, para pengu-saha dan tuan tanah, serta golongan bangsawan (aristokrat). Partai Buruh tidak dapat menduduki pemerintahan, kecuali jika ada kondisi politis yang mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan. Oleh karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili kehendak rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.
Dengan demikian, pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri demokrasi merupakan representasi dari pendapat mayoritas adalah omong-kosong dan menye-satkan. Demikian pula pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan mengambil kekuasaan mereka dari rakyat.
Di samping itu, sejumlah peraturan yang ditetapkan dalam parlemen serta berbagai kebijakan yang diambil oleh negara sering diputuskan dengan pertimbangan bahwa: berbagai kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat.
Sementara itu, pernyataan bahwa penguasa atau presiden bertanggung jawab kepada parlemen—yang merupakan penjelmaan kehendak umum rakyat serta ber-bagai keputusan yang penting tidak dapat diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen—juga tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden, seorang mantan PM Inggris di masa lalu, misalnya, pernah mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu dulu parlemen ataupun para menterinya yang memiliki andil dalam pemerintahannya. Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. Pada saat Perang Suez pula, John Foster Dulles telah diminta oleh Kongres untuk menye-rahkan laporan mengenai Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan pembiayaannya. Akan tetapi, dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan tersebut kepada Kongres. Hal yang sama dilakukan Charles de Gaulle, penguasa Prancis. Ia pernah mengambil sejumlah keputusan tanpa diketahui para menterinya. Raja Hussein pun sering mengambil berbagai keputusan yang penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para menterinya atau anggota parlemen.
Walhasil, baik parlemen di negeri-negeri demokrasi, yang diklaim mewakili pendapat mayoritas, maupun para penguasa, yang juga diklaim dipilih berdasarkan suara mayo-ritas serta menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang sebenarnya. Klaim demikian jelas dusta dan menyesatkan.

****
Penjelasan di atas terkait dengan realitas di sejumlah negara asal demokrasi. Sementara itu, realitas berbagai parlemen di Dunia Islam lebih buruk lagi. Di dunia Islam, parlemen tidak lebih dari sekadar istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada satu parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang penguasa dan sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania, misalnya, yang dipilih dengan slogan, “Mengembalikan Demokrasi dan Mewu-judkan Kebebasan,” ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein ataupun mengkritik rezim pemerintahannya sendiri. Padahal, semua anggota parlemen tahu bahwa krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tidak lain disebabkan oleh kebobrokan rezim keluarga kerajaan yang telah merampok harta kekayaan negara. Kendatipun demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani mengkritik rezim tersebut. Mereka hanya berani mengkritik Zayd ar-Rifâ‘î dan beberapa menteri Hussein. Padahal, mereka tahu bahwa Zayd ar-Rifâ‘î dan para menteri itu hanyalah pegawai bawahan; mereka tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa mendapat izin dan restu dari rajanya. Ini dari satu sisi.
Di sisi lain, undang-undang yang ada umumnya justru dibuat oleh pemerintah dalam bentuk rancangan undang-undang. Rancangan undang-undang tersebut kemudian dikirim oleh pemerintah kepada parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi khusus yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan kemudian menyetu-juinya. Padahal, pada faktanya, banyak anggota parlemen yang tidak memahami isi undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan dalam undang-undang tersebut bukan bidang keahlian mereka.
Walhasil, pernyataan bahwa peraturan yang ditetap-kan oleh parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, juga bahwa kehendak umum tersebut mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang juga bertentangan dengan hakikat dan kenyataan yang ada.

****

Cacat lain yang menonjol dalam sistem demokrasi, yang berkaitan dengan pemerintahan dan kabinet, sangat tampak antara lain jika di dalam suatu negara demokrasi tidak terdapat partai politik besar yang menguasai mayoritas mutlak di parlemen dan dapat menyusun kabinetnya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan negara tersebut biasanya akan selalu tidak stabil dan kabinetnya akan terus diguncang oleh berbagai tekanan krisis politik yang silih berganti. Hal ini terjadi karena pemerintah negara yang bersangkutan sulit mendapatkan kepercayaan dari mayoritas parlemennya. Kondisi semacam ini bisa memaksa pemerintah untuk meletakkan jabatannya. Kadang-kadang, selama berbulan-bulan presiden tidak mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga pemerintah menjadi lum-puh atau nyaris tidak berfungsi. Kadang-kadang pula, pre-siden terpaksa membubarkan parlemen dan menyeleng-garakan pemilu yang baru dalam rangka mengubah perim-bangan kekuatan politik agar dia dapat menyusun kabinet-nya yang baru.
Krisis-krisis tersebut sering terjadi berulang-ulang sehingga pemerintah selalu tidak stabil; aktivitas politiknya pun terus diguncang dan nyaris tidak terurus. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, dan sejumlah negara demokrasi yang lain. Negara-negara tersebut memiliki banyak partai politik, sementara tidak ada satu partai politik pun yang besar dan menguasai mayoritas mutlak di par-lemen. Kondisi semacam ini sering mendorong terjadinya proses tawar-menawar di antara partai-partai tersebut. Akibatnya, partai-partai kecil acapkali mampu mendikte partai-partai lain yang lebih besar—yang mengajak berkoalisi untuk membentuk kabinet—dengan cara mengajukan syarat-syarat yang sulit sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partai-partai kecil, yang hanya mewakili minoritas rakyat itu, dapat mengendalikan partai lain dan mendikte kegiatan politik negeri tersebut, termasuk penetapan kebijakan-kebijakan kabinetnya.

****

Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia ialah ide kebebasan yang berlaku umum yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah meng-akibatkan berbagai malapetaka global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negara-negara penganut demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.
Ide kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, misalnya, sebe-narnya telah mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka jelas membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk indus-trinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bang-sabangsa yang terbelakang, menguasai harta benda mereka, memonopoli kekayaan alam mereka, sekaligus menghisap darah mereka dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai keruhanian, akhlak, dan kema-nusiaan.
Keserakahan dan kerakusan negara-negara kapitalis yang luar biasa; kekosongan jiwa mereka dari nilai-nilai keruhanian, akhlak, dan kemanusiaan; serta persaingan di antara mereka untuk mencari harta yang haram telah cukup membuat darah bangsa-bangsa terjajah menjadi barang dagangan. Faktor-faktor tersebut juga telah mengakibatkan berkobarnya bencana dan peperangan di antara bangsa-bangsa terjajah. Dengan begitu, negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan produk-produk industrinya, se-kaligus mengembangkan industri militernya yang bisa meng-hasilkan keuntungan besar.
Sungguh, betapa banyak hal yang menggelikan, sekaligus memuakkan, yang selalu menjadi bahan bualan negara-negara demokrasi penjajah yang tidak tahu malu. Amerika, Inggris, dan Prancis, misalnya, selalu saja meng-gembar-gemborkan nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Ma-nusia (HAM) di mana-mana. Padahal, pada waktu yang sama, mereka telah menginjak-injak seluruh nilai kema-nusiaan dan akhlak, mencampakkan seluruh hak asasi manusia, dan menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia. Berbagai krisis di Palestina, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam (Afrika Tengah), dan Afrika Selatan adalah bukti paling nyata yang akan menampar wajah mereka dan akan membeberkan sifat mereka yang sangat pendusta dan tidak tahu malu.

****

Sementara itu, ide kebebasan berperilaku sesung-guhnya telah memerosotkan martabat masyarakat yang mempraktekkan demokrasi sampai pada derajat binatang yang sangat rendah. Ide semacam ini juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya hidup serba-boleh (permis-siveness) yang najis, yang bahkan tidak dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Mahabenar Allah Swt. yang berfirman:






Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau mema-hami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (QS al-Furqân [25]: 43-44).

Dalam masyarakat penganut demokrasi, hubungan seksual menjadi aktivitas yang sah-sah saja—seperti halnya minum air—karena telah disahkan oleh undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen di negaranya, dan malah direstui oleh para tokoh gerejanya. Peraturan tersebut membolehkan hubungan seksual dan pergaulan lelaki-perempuan dengan sebebas-bebasnya jika masing-masing telah berumur 18 tahun. Negara dan orangtua tidak ber-wenang sedikit pun untuk melarang segala perilaku seksual tersebut.

Undang-undang yang ada ternyata tidak sekadar membenarkan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi juga telah membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan, beberapa negara penganut demokrasi telah mengesahkan perkawinan antara dua orang yang memiliki kelainan seksual: pria dibolehkan mengawini sesamanya dan wanita pun dibolehkan mengawini sesamanya.
Oleh karena itu, di antara fenomena yang dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat demokrasi ialah ketika Anda menyaksikan—di jalan-jalan, taman-taman, bus-bus, dan di gerbong-gerbong kereta api—para pemuda dan pemudi saling berciuman, berangkulan, berpelukan, serta saling mengisap bibir dan bercumbu. Semua ini mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun. Perilaku semacam itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar saja. Para wanita Barat juga sudah terbiasa menunggu matahari terbit pada musim panas dengan cara berbaring di taman-taman dengan tubuh telanjang—persis seperti keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu mereka—tanpa penutup, kecuali secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling vital. Mereka pun sudah terbiasa, jika pada musim panas, berjalan-jalan dengan tubuh nyaris bugil dan tidak menutupi tubuh mereka, kecuali hanya sekadarnya saja.
Berbagai perilaku seksual yang menyimpang dan abnormal seperti di atas telah memenuhi masyarakat demokrasi yang bejat. Perilaku homoseksual antar lelaki, lesbianisme di kalangan wanita, dan pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah banyak terjadi. Demikian pula perilaku seksual kolektif (orgy), yakni beberapa pria dan wanita melakukan hubungan seksual bersama-sama. Padahal, perilaku seperti ini bahkan tidak akan dijumpai di dalam kandang-kandang binatang ternak sekalipun.
Sensus sebuah koran AS pernah menyebutkan bahwa 25 juta pelaku seksual yang menyimpang di AS telah menuntut pengesahan perkawinan di antara mereka dan menuntut hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal. Sebuah koran lain juga mempublikasikan data bahwa satu juta orang di AS telah melakukan hubung-an seksual dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak perempuan, maupun saudara perempuan mereka. Perilaku serba boleh gaya binatang inilah yang telah menyebarluaskan berbagai penyakit kelamin—yang paling mematikan adalah AIDS—dan juga telah meng-hasilkan banyak anak zina, hingga sebuah koran bahkan menyebutkan bahwa 75 persen orang Inggris adalah anak zina.
Dalam masyarakat demokrasi, institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan; tidak ada lagi yang namanya rasa kasih sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara lelaki, dan saudara perempuan. Oleh karena itu, sudah merupakan pemandangan biasa jika terdapat puluhan—bahkan ratus-an—pria dan wanita tua bangka yang berjalan-jalan di taman hanya bertemankan anjing-anjing. Hewan inilah yang menemani kaum lanjut usia itu di rumah, di meja makan, dan bahkan di tempat tidur mereka. Anjing-anjing itu menjadi sahabat dalam kesendirian mereka, sebab masing-masing memang hanya hidup sebatang kara; tidak ada sahabat lain lagi selain anjing.

****

Itulah beberapa contoh kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai demokrasi, khususnya ide kebebasan yang berlaku umum bagi setiap individu yang selalu mereka dengung-dengungkan. Itu pula yang menjadi salah satu bentuk dan penampilan peradaban mereka yang senantiasa dibangga-banggakan, digembar-gemborkan, dan disebar-luaskan ke seluruh pelosok dunia. Tujuannya adalah agar seluruh dunia ikut terjerumus ke dalam peradaban mereka yang sangat buruk itu. Kebejatan-kebejatan tersebut tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali menunjukkan keru-sakan, keburukan, dan kebusukan demokrasi.
Beberapa kerusakan dan keburukan demokrasi terse-but dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Masyarakat penganut demokrasi di Barat telah bejat sedemikian rupa hingga terperosok ke derajat binatang yang kotor, yang bahkan tidak pernah ada dalam komunitas binatang ternak. Hal ini diakibatkan oleh adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide kebebasan berperilaku.
2. Penjajahan Barat dengan demokrasinya telah nyata menimbulkan berbagai krisis, bencana, dan penghisapan bangsa-bangsa yang terjajah dan terbelakang. Mereka telah mencuri sumberdaya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk, dan menistakan rak-yat-rakyatnya, serta menjadikan negeri-negeri mereka sebagai pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.
3. Demokrasi dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin diterapkan (utopis); dalam pengertiannya yang baru sesudah ditakwilkan pun tetap tidak sesuai dengan fakta dan tidak akan terwujud dalam kenyataan (a-historis).
4. Pernyataan para penganut demokrasi hanyalah omong-kosong dan menyesatkan belaka ketika mereka meng-klaim bahwa: parlemen adalah wakil dari kehendak umum masyarakat, perwujudan politis kehendak umum mayoritas rakyat, dan mewakili pendapat mayoritas; hukum-hukum yang dibuat oleh parlemen ditetapkan ber-dasarkan mayoritas suara wakil rakyat yang mengekspre-sikan kehendak mayoritas rakyat; dan para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasa-annya dari rakyat.
5. Kecacatan dalam sistem demokrasi telah jelas, khususnya dalam aspek-aspek yang berhubungan dengan kekua-saan dan para penguasa, jika tidak terdapat partai-partai besar di suatu negeri yang akan menjadi golongan mayo-ritas di dalam dewan perwakilan.

Akan tetapi, anehnya, meskipun semua keburukan tersebut telah nyata, Barat yang kafir ternyata mampu me-wujudkan pasar bagi ide-ide demokrasi yang rusak itu di negeri-negeri Islam.

****

Bagaimana Barat yang kafir itu berhasil memasarkan ide-ide demokrasi yang kufur—yang tidak berhubungan sama sekali dengan hukum-hukum Islam itu—di negeri-negeri Islam?
Sebagaimana diketahui, negara-negara Eropa yang kafir telah lama memendam kedengkian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslim. Di dalam hati mereka terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan kaum Mus-lim sebagaimana yang mereka tampakkan. Mahabenar Allah dengan firman-Nya:


Telah nyata kebencian dari mulut mereka, sementara apa yang disembunyikan di dalam hati mereka adalah lebih besar lagi. (QS Ali ‘Imrân [3]: 118).

Negara-negara Barat yang kafir itu pun telah mema-hami bahwa rahasia kekuatan kaum Muslim terletak pada ajaran Islam itu sendiri, sebab akidah Islam adalah sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam. Oleh karena itu, mereka segera menyusun strategi jahanam untuk memerangi Dunia Islam. Hal itu mereka wujudkan dengan jalan melan-carkan serangan misionaris (kristenisasi) dan serangan kebu-dayaan (westernisasi).
Serangan kebudayaan (westernisasi) ternyata telah mengusung kebudayaan dan ide-ide Barat—termasuk de-mokrasi—serta peradaban dan pandangan hidup mereka ke Dunia Islam. Negara-negara Eropa segera menyerukan ide-ide tersebut kepada kaum Muslim. Tujuannya adalah agar kaum Muslim menjadikannya sebagai asas cara berpikir dan pandangan hidup mereka. Dengan begitu, negara-negara Eropa akan dapat menyimpangkan kaum Muslim, sekaligus menjauhkan mereka dari keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya. Tujuan akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah menghan-curkan Negara Islam, yakni Negara Khilafah, dan kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, kaum Muslim selanjutnya akan mudah didorong untuk me-ngambil berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kafir sebagai pengganti Islam. Dengan begitu pula, Barat akan dapat menjauhkan kaum Muslim dari Islam dan dapat menguatkan cengkeramannya atas mereka. Mahabenar Allah Swt. yang telah berfirman:









Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petun-juk (yang benar). Sesungguhnya jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan (bukti yang nyata) datang kepadamu, maka Allah tidak akan lagi menjadi Pelindung dan Penolongmu.” (QS al-Baqarah [2]: 120).

Serangan misionaris dan kebudayaan Barat semakin sengit ketika kemerosotan kaum Muslim di bidang pemikiran dan politik semakin parah pada masa akhir Khilafah Uts-maniyah (pada paruh kedua Abad ke-19 M). Pada saat itu, terjadilah perubahan dalam perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negara-negara Eropa. Perubahan ini berlangsung setelah terjadinya revolusi pemikiran dan revolusi industri di Eropa serta setelah terwujudnya berbagai kreativitas dan penemuan ilmiah yang dengan cepat mampu mengantarkan Eropa menuju ketinggian dan kemajuan. Sementara itu, dari hari ke hari, Khilafah Utsmaniyah tetap jumud dan semakin lemah. Kondisi inilah yang akhirnya mengakibatkan berbagai kebudayaan, ide, peradaban, dan peraturan Barat mengalir deras ke negeri-negeri Islam.
Dalam serangan misionaris dan kebudayaannya yang ditujukan ke negeri-negeri Islam, negara-negara Eropa menggunakan cara merendahkan ajaran Islam, menjelek-jelekkan hukum-hukumnya, menyebarkan keraguan kepada kaum Muslim terhadap kebenaran ajaran Islam, membang-kitkan kebencian kaum Muslim terhadap Islam, serta menya-takan bahwa Islamlah yang menjadi sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya, negara-negara Eropa mengagung-agungkan Barat dan peradabannya, membang-gabanggakan ide dan sistem demokrasi, serta meng-gembar-gemborkan kehebatan peraturan dan undang-undang demo-krasi.
Selain itu, negara-negara Eropa juga menggunakan cara penyesatan, yakni menyebarkan prasangka di tengah-tengah kaum Muslim bahwa peradaban Barat tidak ber-tentangan dengan peradaban Islam, dengan alasan, pera-daban Barat sebenarnya berasal dari Islam juga; peraturan dan undang-undangnya pun tidak menyalahi hukum-hukum Islam.
Mereka juga melekatkan sifat Islam pada ide dan peraturan demokrasi, serta menyatakan bahwa demokrasi tidak menyalahi atau bertentangan dengan Islam. Bahkan, mereka mengatakan bahwa demokrasi berasal dari Islam itu sendiri; atau demokrasi identik dengan musyawarah, amar makruf nahi mungkar, dan aktivitas mengoreksi penguasa.
Propaganda mereka ternyata sangat mempengaruhi kaum Muslim sehingga akhirnya mereka dapat dikendalikan oleh ide-ide dan peradaban Barat. Propaganda tersebut juga berhasil mendorong kaum Muslim untuk mengambil bebe-rapa peraturan dan undang-undang Barat pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Setelah Negara Khilafah hancur, kaum Muslim malah mengambil sebagian besar peraturan dan undang-undang Barat.
Propaganda Barat itu berhasil pula mempengaruhi kaum terpelajar, para politikus, para pengemban tsaqâfah Islamiyah, sebagian pengemban dakwah Islam, dan mayo-ritas kaum Muslim.
Kaum terpelajar, misalnya, sesungguhnya banyak yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat—yang telah dija-dikan asas pendidikan mereka—tatkala mereka mempelajari kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negeri-negeri Islam sendiri. Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negeri-negeri Islam setelah Perang Dunia I telah disusun atas dasar falsafah dan pandangan hidup Barat. Kondisi ini mengaki-batkan banyak kaum terpelajar yang akhirnya menggemari, menggandrungi, dan bahkan mengagung-agungkan kebudayaan Barat. Sebaliknya, pada saat yang sama, mereka mengingkari tsaqâfah Islam dan hukum-hukumnya jika bertentangan dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang Barat. Mereka pun akhirnya membenci Islam, sebagaimana halnya orang-orang kafir Eropa. Mereka pun sangat memusuhi kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam; sebagaimana juga orang-orang Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar ini akhirnya menjadi corong-corong propaganda bagi peradaban, ide, dan peraturan Barat; sekaligus menjadi alat penghancur dan penghina bagi peradaban, hukum, dan peraturan Islam.
Sementara itu, karena propaganda Barat pula, para politikus sesungguhnya telah benar-benar mengikhlaskan diri mereka untuk mengabdi kepada Barat dan peraturannya, mengikatkan diri dengan Barat, dan menjadikan Barat sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri mereka sebagai penjaga berbagai undang-undang dan peraturan Barat. Bahkan, dengan suka rela, mereka meng-angkat diri mereka sebagai budak-budak yang bertugas melestarikan kepentingan Barat dan menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat. Dengan begitu, mereka benar-benar telah menyatakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka pun telah mengumumkan perang terhadap “Islam politik” beserta segenap pengemban dak-wahnya yang ikhlas. Mereka senantiasa mencurahkan segala potensi yang mereka miliki untuk menghalang-halangi berdirinya Negara Khilafah dan kembalinya hukum yang diturunkan Allah ke tampuk kekuasaan. Mereka pasti dilaknati Allah. Bagaimana mereka sampai berpaling dari kebenaran?
Di pihak lain, para pengemban tsaqâfah Islam juga tidak lagi memiliki kesadaran terhadap Islam dan hakikat atau realitas hukum-hukumnya. Mereka juga tidak me-nyadari hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain itu, mereka tidak mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan pandangan hidup Barat dengan akidah, hukum, peradaban, dan pandangan hidup Islam.
Kondisi tersebut terjadi karena taraf pemikiran kaum Muslim telah anjlok. Mereka sangat lemah dalam memahami Islam dan hukum-hukumnya. Mereka pun telah salah dalam memahami cara penerapan syariat Islam di tengah masya-rakat. Akibatnya, Islam ditafsirkan dengan pengertian yang tidak sesuai dengan kandungan nash-nash syariat; sementara hukum-hukum Islam pun ditakwilkan agar sesuai dengan kondisi yang ada, bukan sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum yang tidak ada dasarnya dalam syariat, atau dasarnya lemah, dengan hujjah yang didasarkan pada kaidah yang sangat keliru:


Perubahan hukum tidak mungkin dipungkiri karena adanya faktor perubahan zaman.

Dengan berpedoman pada kaidah semacam ini, wajar jika kemudian Islam ditakwilkan oleh banyak orang dalam rangka disesuaikan dengan setiap aliran, gagasan, dan ideologi; walaupun penakwilan mereka bertentangan dengan hukum-hukum dan pandangan hidup Islam. Mere-ka lantas mengatakan bahwa peradaban dan ide-ide Barat tidak bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya, karena semua itu justru diambil dari peradaban Islam. Mere-ka mengatakan bahwa sistem pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme juga tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam—meskipun pada faktanya kedua sistem tersebut adalah sistem kufur. Mereka mengatakan pula bahwa ide demokrasi dan kebe-basan umum yang berlaku bagi setiap individu juga berasal dari Islam—meski-pun kedua ide itu pada hakikatnya sangat bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, muncullah ketidakjelasan dalam benak mereka di seputar apa saja yang boleh diambil oleh kaum Muslim dari bangsa dan umat lain dengan apa yang haram diambil oleh mereka. Yang boleh diambil dari bangsa dan umat lain misalnya: ilmu kedokteran, farmasi, teknik, kimia, pertanian, industri, peraturan lalu lintas, transportasi, dan perkara mubah lainnya yang tidak menyalahi Islam; sementara yang haram untuk diambil dari bangsa dan umat lain adalah segala sesuatu yang terkait (baca: bertentangan) dengan akidah Islam dan hukum-hukumnya. Semua perkara yang berasal dari bangsa-bangsa dan umat lain haram diambil, kecuali jika bersumber dari al-Quran dan Sunnah serta dalil-dalil syariat yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Qiyas dan Ijma Sahabat.
Keadaan semacam ini akhirnya memberikan peluang kepada Barat untuk menjajakan peradaban dan pandangan hidup mereka, ide demokrasi dan kapitalisme, serta ide kebebasan umum ke negeri-negeri Islam.

****

Sebelum menjelaskan pertentangan demokrasi de-ngan Islam sekaligus menerangkan hukum syariat dalam pe-ngambilan demokrasi, kami ingin mengupas tentang hal-hal yang boleh dan yang haram diambil oleh kaum Muslim dari umat dan bangsa lain, sesuai dengan nash-nash dan hukum-hukum syariat. Dalam hal ini, kami berpendapat se-bagai berikut:
1. Sesungguhnya hukum asal seluruh perbuatan manusia dan seluruh benda yang digunakannya atau yang ber-hubungan dengan perbuatan manusia adalah mengikuti Rasulullah saw. dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawanya. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk pada—dan terikat dengan—syariat Islam. Allah Swt. berfirman:


Apa saja yang diperintahkan oleh Rasulullah kepada kalian, laksanakanlah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).


Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus atas apa saja yang mereka perselisihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).


Dalam hal apa saja kalian berselisih, maka putusannya harus dikembalikan kepada Allah. (QS asy-Syûrâ [42]: 10).


Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah). (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka dia tidak diterima. (HR Muslim).


Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak. (HR al-Bukhârî).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya mengikuti sekaligus terikat dengan syariat adalah wajib, baik dalam konteks perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya. Dengan demikian, seorang Muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah menge-tahui hukum Allah yang terkait dengan perbuatan tersebut; apakah wajib atau mandûb (sunnah) sehingga dia dapat melakukan perbuatan itu; apakah haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya; ataukah mubah sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Atas dasar inilah, dalam konteks perbuatan manusia, berlaku kaidah, “Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.”
Sementara itu, berkaitan dengan benda-benda yang berhubungan dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah; selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Dalam hal ini, berlaku kaidah, “Hukum asal benda adalah mubah.” Artinya, benda apa pun tidak diharamkan, kecuali jika ada dalil syariat yang menunjukkan keharamannya. Prinsip ini didasarkan pada nash-nash syariat yang bersifat umum yang memang telah membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua benda yang ada di alam sekitarnya.
Allah Swt. berfirman:





Tidakkah kalian memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi. (QS Luqmân [31]: 20).

Kalimat yang artinya menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi bermakna bahwa Allah Swt. telah membolehkan semua yang ada di dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Allah Swt. juga berfirman:


Dialah (Allah) Yang telah menciptakan segala yang ada di bumi seluruhnya untuk kalian. (QS al-Baqarah [2]: 29).


Wahai manusia, makanlah oleh kalian apa saja yang halal dan baik yang terdapat di bumi. (QS al-Baqarah [2]: 168).




Dialah (Allah) Yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu, berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah rezeki-Nya. (QS al-Mulk [67]: 15).

Demikianlah beberapa ayat yang bersifat umum yang telah membolehkan segala sesuatu (baca: benda). Keumuman lafalnya menunjukkan kebolehan untuk me-manfaatkan segala sesuatu yang ada. Artinya, kebolehan untuk memanfaatkan semua benda yang ada memang telah ditunjukkan oleh khithâb (seruan) Allah Swt. yang bersifat umum. Dengan demikian, jika suatu benda diha-ramkan, maka keharamannya harus ditetapkan oleh nash syariat. Dengan kata lain, harus ada nash lain yang meng-khususkan keumuman nash-nash di atas. Pengkhususan tersebut akan menunjukkan pengecualian benda tersebut dari kemubahannya yang bersifat umum. Dalam hal ini, Allah Swt., misalnya, berfirman:






Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah; binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian sembelih; serta hewan apa saja yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala. (QS al-Mâ’idah [5]: 3).

Walhasil, dari sini dapat dipahami bahwa hukum asal benda-benda yang digunakan manusia adalah mubah.

2. Syariat Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, semua problem yang sedang di-alami, dan berbagai peristiwa yang mungkin bakal terjadi pada masa mendatang. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi—baik pada masa lalu, saat ini, maupun pada masa yang akan datang—kecuali ada hukumnya dalam syariat Islam. Dengan kata lain, syariat Islam telah men-jangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.
Allah Swt. berfirman:




Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelas segala sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat, dan pemberi kabar gembira bagi kaum Muslim. (QS an-Nahl [16]: 89).


Tidak ada sesuatu pun yang Kami alpakan di dalam Kitab (al-Quran) ini. (QS al-An‘âm [6]: 38).




Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (QS al-Mâ’idah [5]: 3).

Walhasil, syariat Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia; bagaimana pun bentuknya. Syariat Islam, dalam hal ini, pasti akan menetapkan dalil untuk menghukumi suatu perbuatan; baik melalui suatu nash al-Quran dan Hadis Nabi ataupun dengan mene-tapkan suatu amârah (tanda/isyarat) dalam al-Quran dan Hadis Nabi sehingga hukum yang ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan tersebut. Dengan demikian, secara syar ‘î, tidak mungkin ada satu perbuatan manusia pun yang tidak ada dalil yang menjelaskan hukumnya atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Hal ini didasarkan pada adanya keumuman firman Allah Swt. yang berbunyi:



....sebagai penjelas segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).

Hal di atas juga didasarkan pada adanya nash yang tegas yang menunjukkan bahwa Allah Swt. telah menyempurnakan agama Islam ini (QS al-Mâ’idah [5]: 3).

3. Berdasarkan dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil oleh kaum Mus-lim—dari apa saja yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain—dan mana saja yang haram mereka ambil.
Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semi-salnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangun-an yang bercorak kebudayaan material yang dihasilkan dari kemajuan sains dan teknologi boleh diambil oleh kaum Muslim. Akan tetapi, jika dalam semua itu terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, kaum Muslim haram untuk mengambilnya. Sebab, semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidak bertentangan dengan akidah Islam dan hukum-hukum syariat yang berkedudukan sebagai solusi atas problematika manusia dalam kehidupan. Semua itu dapat dikategorikan ke dalam perkara-perkara yang mubah yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalilnya adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan tentang kebolehan untuk memanfaatkan seluruh benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia. Kebolehan tersebut juga didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:






Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu yang termasuk ke dalam urusan agama kalian, maka laksanakanlah perintah itu. Akan tetapi, jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu yang termasuk ke dalam urusan dunia kalian, maka ketahuilah bahwa aku ini hanyalah manusia biasa. (HR Muslim).

Nabi saw. juga bersabda dalam kaitannya dengan peristiwa penyerbukan kurma sebagai berikut:


Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian. (HR Muslim).
Hal yang sama didasarkan pada tindakan Nabi saw. tatkala mengutus beberapa sahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari teknik pembuatan senjata perang.
Atas dasar ini, setiap perkara yang tidak termasuk ke dalam masalah akidah atau syariat boleh untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat dalil khusus yang mengha-ramkannya.
Berdasarkan uraian di atas, kaum Muslim boleh mengambil semua ilmu yang berhubungan dengan ke-dokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika, pertanian, industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ataupun ilmu ekonomi—sebatas yang membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan sarana-sarana produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu-ilmu semacam ini bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk umat penganut Islam, Kapitalisme, atau Sosialisme. Semua ilmu tersebut boleh diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Oleh karena itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera tidak boleh diambil karena teori ini bertentangan dengan firman Allah Swt.:


Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. (QS ar-Rahmân [55]: 14).




(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina (mani). (QS as-Sajdah [32]: 7-8).


Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men-ciptakan kalian dari tanah. (QS ar-Rûm [30]: 20).

Sebagaimana kaum Muslim boleh mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami sebutkan di atas, mereka juga boleh mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti produk-produk industri, alat-alat, mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda hasil kebu-dayaan material. Mereka juga boleh mendirikan pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala macam produknya—kecuali pabrik-pabrik yang memproduksi patung, minuman keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya; baik produk-produk kemi-literan maupun bukan; baik industri berat—seperti tank, pesawat tempur, peluru kendali, satelit, bom atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta api, kapal api—maupun industri ringan seperti industri konsumtif, senjata-senjata ringan, alat-alat laboratorium, alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian, furniture, karpet, dan barang-barang konsumtif.
Semua yang telah disebutkan di atas boleh diambil karena semuanya termasuk kategori benda-benda yang mubah dan terdapat dalil umum yang menunjukkan ke-mubahannya. Upaya untuk mengambil dan memanfaat-kannya pada dasarnya berstatus mengamalkan hukum Islam, yaitu mubah, dan mengikuti syariat Rasulullah saw. Sebab, semua itu termasuk mubah, sedangkan mubah merupakan salah satu dari lima jenis hukum taklif, yaitu: wajib, mandûb, haram, makruh, dan mubah.

4. Ide-ide yang berkaitan dengan akidah dan syariat Islam, juga ide-ide yang berhubungan dengan peradaban Islam, pandangan hidup Islam, dan hukum-hukum yang men-jadi solusi bagi seluruh problem manusia wajib disesuai-kan dengan ketentuan syariat. Semua itu tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari syariat Islam saja; yakni dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, serta Ijma Sahabat dam Qiyas yang memang ditunjukkan oleh keduanya; sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Bebe-rapa dalil syariat yang berkaitan dengan ketentuan di atas adalah sebagai berikut:
a. Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dila-rang oleh beliau. Allah Swt. berfirman :


Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul kepada kalian, laksanakanlah, dan apa yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Kata mâ (apa saja) dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum. Artinya, ayat tersebut menunjukkan adanya kewajiban untuk mengambil semua hukum yang dibawa oleh Nabi saw. untuk kita dan menjauhi semua yang dilarangnya atas kita. Mafhûm mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh mengambil hukum apa pun selain hukum yang dibawa oleh Nabi saw. untuk kita.

b. Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).


Menaati Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan meng-ambil syariat yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

c. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum Muslim untuk berpegang teguh pada apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali—atau merujuk pada—hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Allah Swt. berfirman:




Tidaklah patut seorang Mukmin maupun Mukminat—jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan—mempunyai pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. (QS al-Ahzab [33]: 36).




Kemudian, jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

d. Allah Swt. telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah diturunkan-Nya dan memperingatkan beliau agar waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum-Nya. Allah Swt. berfirman:






Kami telah menurunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran; sebagai pembenar atas kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) sekaligus sebagai penghapus kitab-kitab tersebut. Oleh karena itu, putuskanlah perkara mereka menurut wahyu yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah sampai kepadamu. (QS al-Mâ’idah [5]: 48).

e. Sesungguhnya Allah Swt. telah melarang kaum Muslim untuk mengambil hukum apa pun selain hukum Islam. Allah Swt. berfirman:





Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Mu-hammad) sebagai hakim (pemutus) atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).




Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nûr [24]: 63).




Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. (QS an-Nisâ’ [4]: 60).

Selain itu, Rasulullah saw. telah bersabda:


Setiap perbuatan yang bukan termasuk perintah kami adalah tertolak. (HR Muslim).

Nash-nash syariat di atas menunjukkan dengan jelas tentang kewajiban untuk terikat dengan seluruh hukum yang dibawa oleh Rasulullah saw. untuk kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh menghalalkan apa pun kecuali yang memang telah dihalalkan oleh Allah, dan tidak boleh mengharamkan apa pun kecuali yang telah diharamkan oleh Allah. Begitu pula, apa saja yang tidak dibawa oleh Rasul untuk kita tidak boleh kita ambil, dan apa saja yang tidak beliau haramkan atas kita, kita tidak boleh mengharamkannya.
Di satu sisi, ada kata mâ (apa saja) dalam firman-Nya, “wa mâ âtâkum ar-rasûl” dan “wa mâ nahâkum ‘anhu” (QS al-Hasyr [59]: 7). Sementara itu, di sisi lain, Allah Swt. berfirman sebagai berikut:




Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nûr [24]: 63).

Jika kata mâ pada surah al-Hasyr ayat 7 sebelumnya dikaitkan dengan ayat 63 surah an-Nûr di atas, akan tampak jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasulullah saw. semata, dan bahwa mengambil hukum di luar hukum yang dibawa oleh Rasulullah saw. adalah dosa yang pelakunya akan mendapatkan azab yang pedih; bahkan Allah Swt. tidak mengakui keimanan dari orang yang dalam berbagai tindakannya, tidak berhakim kepada Rasulullah saw. Allah Swt. berfirman:




Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Mu-hammad) sebagai hakim (pemutus) atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).

Hal ini menunjukkan secara tegas tentang wajibnya berhukum hanya terbatas pada apa saja yang dibawa oleh Rasul saja, apalagi Allah Swt. telah memperingatkan Rasul-Nya untuk waspada supaya tidak dipalingkan oleh manusia dari seba-gian wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah Swt. berfirman:



Berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang diturunkan Allah kepadamu. (QS al-Mâ’idah [5]: 49).

Di samping itu, al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhukum pada hukum yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw., yakni pada hukum-hukum kufur. Allah Swt. berfirman:








Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim telah beriman pada apa saja yang ditu-runkan kepadamu dan pada apa saja yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 60).

Hal ini menunjukkan bahwa berhukum pada hukum yang tidak dibawa oleh Rasul adalah suatu kesesatan, karena tindakan demikian berarti berhakim kepada thâghût, yakni kekufuran. Padahal, Allah Swt. telah memerintah kaum Muslim untuk mengingkari thâghût itu.

****

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kaum Muslim berarti haram untuk mengambil peradaban (kultur) Barat beserta segala peraturan dan undang-undang yang dilahir-kannya. Sebab, peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Di luar itu, seperti peraturan dan undang-undang administratif, adalah mubah dan boleh diambil, seba-gaimana ‘Umar ibn al-Khaththâb telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.
Peradaban Barat berdiri di atas akidah pemisahan agama dari kehidupan serta pemisahan agama dari negara. Sebaliknya, peradaban Islam mendasarkan dirinya pada akidah Islam yang telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum Islam.

Peradaban Barat berdiri di atas asas manfaat yang sekaligus dijadikan sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan mereka. Peradaban Barat adalah peradaban yang hanya mempertimbangkan nilai manfaat saja. Mereka tidak mem-perhitungkan nilai apa pun selain nilai manfaat yang bersifat materialistik. Walhasil, dalam peradaban Barat tidak akan dijumpai nilai keruhanian, nilai akhlaq, maupun nilai kema-nusiaan. Sebaliknya, peradaban Islam berdiri di atas lan-dasan ruhani (spiritual), yakni: keimanan kepada Allah; sikap untuk menjadikan prinsip halal-haram sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan; serta tindakan untuk mengendalikan seluruh aktivitas dan nilai berdasarkan perintah dan larangan Allah.
Lebih dari itu, peradaban Barat menganggap keba-hagiaan identik dengan upaya memberikan kenik-matan jasmaniah yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya. Sebaliknya, pera-daban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridha Allah Swt.
Atas dasar itulah, kaum Muslim haram mengambil sistem pemerintahan demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem kebebasan individu yang ada di negara-negara Barat. Dengan demikian, kaum Muslim tidak boleh meng-ambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank ribawi, serta sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum Muslim haram mengambil semua peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.

****

Sebagaimana halnya kaum Muslim haram mengam-bil peradaban Barat beserta segenap ide-ide dan peraturan yang dilahirkannya, maka mereka pun haram mengambil peradaban (kultur) Komunisme, karena peradaban ini, secara keseluruhan, juga bertentangan dengan peradaban Islam.
Peradaban Komunisme berdiri di atas suatu akidah yang menyatakan bahwa: tidak ada pencipta alam semesta ini; materi merupakan asal segala benda; dan seluruh benda di alam semesta ini berasal dari materi yang lahir melalui jalan evolusi. Sebaliknya, peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa: Allahlah yang menjadi Pencipta alam semesta ini; seluruh benda yang ada di alam semesta meru-pakan makhluk-Nya; Allah telah mengutus para nabi dan para rasul dengan membawa agama-Nya kepada umat manusia; dan Allah mewajibkan manusia untuk mengikuti perintah dan larangan-Nya yang telah diturunkan kepada mereka.
Peradaban Komunisme menganggap bahwa pera-turan hanya diambil dari alat-alat produksi. Masyarakat feodal yang menggunakan kapak sebagai alat produksinya akan mengambil peraturan feodalisme yang diilhami dari faktor alat-alat tersebut. Jika masyarakat tersebut ber-kembang menjadi masyarakat kapitalisme dan menjadikan mesin sebagai alat produksinya, maka mereka pun me-ngambil peraturan Kapitalisme dengan didasarkan pada faktor mesin. Walhasil, peraturan Komunisme diambil dari evolusi materi. Sebaliknya, peradaban Islam menganggap bahwa Allah Swt. telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan dalam hidup mereka dan mengutus Muhammad saw. untuk membawa peraturan ini, sementara beliau telah menyampaikan peraturan tersebut kepada manusia dan mewajibkan mereka untuk melaksana-kannya.
Peradaban Komunisme memandang bahwa perat-uran yang bersumber dari faktor materi adalah tolok ukur dalam kehidupan. Dengan berkembangnya materi, maka berkembang pula tolok ukur manusia dalam kehidupan. Sebaliknya, peradaban Islam memandang halal-haram—yakni perintah dan larangan Allah—sebagai tolok ukur perbuatan manusia dalam kehidupan. Yang halal dikerja-kan, sementara yang haram ditinggalkan. Hukum-hukum Islam tidak akan berevolusi dan atau berubah. Prinsip halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan asas manfaat ataupun materialisme, melainkan ditetapkan atas dasar syariat semata. Dari sini, jelas bahwa ada perbedaan yang sangat mencolok antara peradaban Komunisme dan peradaban Islam.
Dengan demikian, kaum Muslim haram untuk meng-ambil peradaban Komunisme beserta segala ide dan peraturan yang berasal darinya. Oleh karena itu, kaum Muslim haram untuk mengambil ide evolusi materi, peng-hapusan kepemilikan individu, penghapusan kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan penghapusan kepemilikan tanah bagi individu. Mereka pun haram untuk mengambil ide mempertuhankan manusia, penyembahan manusia, dan seluruh ide atau peraturan dari peradaban yang ateistik ini. Sebab, semua itu adalah ide dan peraturan kufur yang bertentangan dengan akidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukum Islam.

****

Sekarang, kami akan menjelaskan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam, baik dari segi sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang berwenang untuk mengeluarkan hukum (al-hâkim) atas berbagai perbuatan ataupun benda, apakah baik (terpuji) ataukah buruk (tercela), adalah akal manusia. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa. Mereka muncul tatkala berlangsung pertarungan atau konfrontasi sengit antara para kaisar dan raja-raja di Eropa dengan rakyat mereka. Walhasil, demokrasi jelas merupakan produk buatan manusia, dan yang ber-wenang untuk menetapkan hukum atas segala hal adalah akal manusia.
Dalam hal ini, Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi. Islam berasal dari Allah yang telah diwahyukan-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad ibn ‘Abdillâh saw. Allah Swt. berfirman:


Tiadalah yang diucapkannya itu bersumber dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu Allah yang diwahyukan. (QS an-Najm [53]: 3-4).


Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. (QS al-Qadr [97]: 1).

Dalam Islam, yang berwenang mengeluarkan atau menetapkan berbagai hukum adalah Allah atau syariat Islam, bukan akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash hukum yang diturunkan oleh Allah Swt. Allah Swt. berfirman:


Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An‘âm [6]: 57).


Kemudian, jika kalian (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah). (QS an-Nisâ’ [4]: 59).


Tentang apa pun kalian berselisih, maka putusannya harus dikembalikan kepada Allah. (QS asy-Syûrâ [42]: 10).

****

Akidah yang melahirkan ide demokrasi adalah akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Akidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniawan Kristen—yang diperalat oleh para raja dan kaisar serta dijadikan tunggangan untuk mengeksplotasi dan menzalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama—dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Akidah ini tidak mengingkari eksistensi agama; ia hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Konsekuensinya, akidah ini otomatis memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan kehidupannya sendiri. Akidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (qâ’idah fikriyyah) ide-ide Barat. Akidah ini lantas melahirkan peraturan kehidupan manusia. Di atas dasar akidah ini, orang-orang Barat kemudian menentukan orien-tasi pemikiran dan pandangan hidup. Dari akidah ini pula selanjutnya lahir ide demokrasi.
Sementara itu, Islam sangat berbeda secara diametral dengan Barat. Islam dibangun di atas landasan akidah Islam. Akidah ini mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah—yakni hukum-hukum yang lahir dari akidah Islam—dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Akidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan kehidupannya sendiri. Manusia hanya berkewa-jiban untuk menjalani kehidupannya menurut peraturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. untuk manusia. Akidah Islam inilah yang menjadi asas peradaban (kultur) dan pandangan hidup Islam.

****

Dalam hal itu, ada dua ide pokok yang menjadi landasan demokrasi, yakni: (1) kedaulatan di tangan rakyat; (2) rakyat adalah sumber kekuasaan.
Demokrasi menetapkan bahwa rakyat alah pemilik sekaligus pelaksana kehendaknya sendiri, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang secara praktis menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, sekaligus pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum sebagai realisasi dari pelak-sanaan kehendak rakyat dan kehendak umum mayoritas rakyat. Dalam hal ini, rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil mereka.
Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apa pun berdasarkan per-timbangan mereka sesuai dengan kemaslahatan yang ada. Oleh karena itu, rakyat berhak mengubah sistem pemerin-tahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidentil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya, di Prancis, Italia, Spanyol, dan Yunani. Di negara-negara tersebut, rakyat telah meng-ubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan. Dalam sistem demokrasi pula, rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Rakyat pun, melalui para wakilnya, dianggap berhak menetapkan hukum tentang kebolehan untuk murtad dari satu agama dan beralih pada agama lain, atau bahkan pada keyakinan non-agama (animisme/paganisme). Rakyat juga dianggap berhak menetapkan hukum yang membolehkan perzinaan, tindakan homoseksual, serta mencari nafkah melalui kedua jalan tersebut.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, rakyat dapat memilih penguasa yang diingin-kannya untuk menerapkan hukum yang dibuat oleh mereka dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan meng-gantinya dengan penguasa lain. Artinya, rakyatlah yang me-miliki kekuasaan, sedangkan penguasa mengambil kekuasa-annya dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan syariat, bukan di tangan umat. Allah Swt. sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri‘ (Pembuat Hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Sekiranya seluruh umat Islam berkumpul, lalu mereka menyepakati berbagai hal yang bertentangan dengan Islam—seperti memboleh-kan riba dalam rangka meningkatkan kondisi pereko-nomian; membolehkan adanya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat; menghapus kepemilikan individu; menghapus puasa Ramadhan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja; atau mengadopsi ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang Muslim untuk meyakini akidah apa saja yang diinginkannya, memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara (meskipun haram), memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamar dan berzina—maka seluruh kesepa-katan ini tidak ada artinya. Bahkan, dalam pandangan Islam, seluruh kesepakatan semacam ini tidak ada nilai sama sekali, walaupun jika dibandingkan dengan harga sehelai sayap nyamuk. Jika ada sekelompok kaum Muslim yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
Tindakan demikian didasarkan pada alasan bahwa kaum Muslim, dalam seluruh aktivitas hidup mereka, wajib senantiasa terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka haram melakukan suatu perbuatan yang berten-tangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka haram untuk membuat satu hukum pun, karena memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri‘. Dalam konteks ini, Allah Swt. berfirman:




Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) atas perkara apa saja yang mereka perseli-sihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).



Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An‘âm [6]: 57).






Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu (al-Quran) dan pada apa saja yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. Setan sesungguhnya hendak menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 60).

Berhakim kepada thâghût artinya berhakim pada hukum yang tidak diturunkan Allah, atau, dengan kata lain, berhakim pada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.
Allah Swt. juga berfirman:




Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin. (QS al-Mâ’idah [5]: 50).

Hukum jahiliah adalah hukum yang tidak dibawa oleh Muhammad saw. dari Tuhannya, yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia. Allah Swt. berfirman:




Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nûr [24]: 63).

Yang dimaksud dengan menyalahi perintah Rasul—suatu hal yang harus diwaspadai—adalah mengikuti hukum yang dibuat oleh manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak termasuk perintah kami adalah tertolak. (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan kata amrunâ (perintah kami) dalam hadis di atas adalah Islam.
Masih ada puluhan ayat dan hadis lain dengan penger-tian yang qath’‘î (pasti) yang menegaskan bahwa: kedaulatan adalah di tangan syariat, yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri‘; manusia tidak boleh membuat hukum; dan manusia wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum Muslim, semen-tara pelaksanaannya membutuhkan suatu kekuasaan. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan harus ada di tangan umat Islam. Artinya, umat memiliki hak untuk me-milih penguasa agar penguasa itu dapat menegakkan pe-laksanaan perintah dan larangan Allah atas mereka.
Prinsip demikian diambil dari sejumlah hadis menge-nai baiat. Hadis-hadis tersebut pada dasarnya menetapkan bahwa hak mengangkat khalifah berada di tangan kaum Muslim. Pengangkatan ini dilakukan dengan jalan baiat dalam rangka mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang mati sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada khalifah), berarti dia mati dengan kematian jahiliah. (HR Muslim).
‘Abdullâh ibn ‘Amr r.a. menuturkan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian:




Siapa saja yang membaiat seorang imam (khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya (bertekad bulat untuk menaatinya), maka hen-daklah dia menaatinya sekuat kemampuannya. Jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka hendaklah mereka memenggal batang lehernya. (HR Muslim).

‘Ubâdah ibn ash-Shâmit r.a. juga bertutur demikian:




Kami telah membaiat Nabi saw. untuk mendengar dan menaatinya, baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai.

Di samping itu, masih banyak hadis lain yang mene-rangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Meskipun syariat telah menetapkan bahwa kekuasa-an itu berada di tangan umat—yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi baiat, tetapi syariat tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, sebagaimana halnya dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada sejumlah hadis yang mewajibkan umat taat kepada khalifah, meskipun dia ber-buat zalim, selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Dalam hal ini, Ibn ‘Abbas r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda demikian:




Siapa saja yang melihat sesuatu yang dia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah dia bersabar, karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jama-ah, walau sejengkal, lalu mati, maka dia mati jahiliah.

Sementara itu, ‘Auf ibn Mâlik r.a. telah bertutur demikian:
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:










....Sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.
‘Auf ibn Mâlik lalu berkata, “Kami lantas bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu?” Rasulullah saw. menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang—yang menjadi rakyat seorang penguasa—menyaksikan penguasa itu melakukan tindakan kemaksiatan. Hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya.’”

Yang dimaksud dengan mendirikan shalat dalam hadis di atas ialah melaksanakan hukum-hukum Islam, karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan majâzî (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan.
Umat tidak boleh pula memberontak terhadap penguasa, kecuali jika penguasa tersebut menampakkan kekufuran secara terang-terangan, sebagaimana dipahami dari hadis ‘Ubâdah ibn ash-Shâmit mengenai baiat. Dalam hadis tersebut terdapat keterangan demikian:








Kami membaiat beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa saja yang harus kami lakukan, yakni bahwa kami membaiat beliau untuk mendengar dan menaatinya—dalam hal apa saja yang kami sukai dan apa saja yang kami benci, dalam apa saja yang sukar dan yang mudah bagi kami; untuk tidak lebih mengutamakan diri kami sendiri (daripada orang lain); dan untuk tidak merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali—Rasullah menga-takan—jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang di dalamnya kalian mempunyai bukti yang kuat dari sisi Allah.

Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhâlim, karena terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah merupakan suatu jenis kezaliman yang harus dilenyapkan. Kasus semacam ini juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan putusan (itsbât) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mahkamah Mazhâlim merupakan lembaga yang ber-wenang untuk memberikan putusan pelenyapan kezaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakim dalam mahka-mah ini memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezaliman dan memberikan putusannya. Oleh karena itu, Mahkamah Mazhâlim-lah yang berhak memutuskan apakah kasus kezaliman di atas telah terjadi atau tidak; Mahkamah Mazhâlim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.

***

Demokrasi dapat dianggap sebagai “pemerintahan mayoritas” dan “hukum mayoritas”. Pemilihan para pe-nguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota ber-bagai lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan “suara bulat (mayoritas)”. Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan, pengambilan kepu-tusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan orga-nisasi; seluruhnya dilaksanakan ber-dasarkan “pendapat mayoritas”.
Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi, pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa ataupun bukan. Sebab, “pendapat mayoritas” dipandang sebagai ekspresi dari kehendak rakyat. Oleh karena itu, pihak minoritas tidak mempunyai pilihan selain tunduk dan mengikuti “pendapat mayoritas”.
Sementara itu, dalam Islam, permasalahannya sangat-lah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum, kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syariat. Sebab, yang menjadi Musyarri’ hanyalah Allah Swt., bukan umat. Pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syariat yang menjadi ke-harusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan roda pemerintahan adalah khalifah saja. Khalifah mengambil hukum dari nash-nash syariat yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Pengambilan hukum tersebut dida-sarkan pada kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn di masa lalu pernah meminta pendapat para saha-bat ketika mereka hendak mengadopsi suatu hukum syariat. Hal semacam ini pernah dilakukan oleh ‘Umar ibn al-Khaththâb. Ia, misalnya, pernah meminta pendapat kaum Muslim tatkala hendak mengadopsi hukum syariat mengenai masalah tanah-tanah taklukkan di Syam, Mesir, dan Irak.
Kalaupun khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syariat yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Hal semacam ini didasarkan pada realitas bahwa Rasulullah saw. pernah mengesampingkan pendapat kaum Muslim yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah, padahal pendapat kaum Muslim waktu itu me-rupakan pendapat mayoritas. Akan tetapi, kendati demikian, Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menye-pakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka:


Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.

Selain itu, para sahabat yang mulia telah bersepakat bahwa seorang imam (khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukum-hukum Islam tertentu sekaligus meme-rintahkan rakyat untuk mengamalkannya. Dalam hak ini, kaum Muslim wajib menaatinya dan meninggalkan pen-dapat mereka. Dari adanya Ijma Sahabat inilah di-istinbâth (diambil dan ditetapkan) kaidah-kaidah syariat yang terkenal:


Perintah (keputusan) imam (khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat.



Perintah (keputusan) imam wajib dilaksanakan secara lahir maupun batin.




Penguasa (khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru sesuai dengan perkembangan problem yang terjadi.

Di samping itu, Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menaati ulil amri, sebagaimana firman-Nya:




Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kalian. (QS an-Nisâ’ [4]: 59)

Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa Muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam.
Sementara itu, dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya; bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas; artinya, masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fikih dikem-balikan kepada para fukaha dan para mujtahid. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide atau gagasan dikem-balikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya. Dengan demikian, yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Pendapat yang tepat ini diambil dari pihak yang ber-kompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.
Patut dicatat bahwa para anggota majelis perwakilan rakyat (parlemen), baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu me-mahami setiap permasalahan secara tepat. Konse-kuensinya, suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majelis hanyalah formalitas belaka; tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan yang tepat. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat. Dalil dalam kaitannya dengan ketentuan semacam ini adalah realitas bahwa Rasulullah saw. pernah mengikuti pendapat al-Hub¬âb ibn al-Mundzir pada Perang Badar—ia merupakan pakar yang memahami benar tempat-tempat yang dianggap strategis—yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al-Hubâb pada saat itu memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Rasulullah mengikuti pendapat al-Hubâb dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh al-Hubab. Dengan demikian, Rasulullah saw. telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para sahabat lainnya dalam masalah tersebut.
Sementara itu, dalam masalah-masalah yang langsung berkaitan dengan amalan praktis yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas. Sebab, mayoritas orang dipandang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah dan gampang sesuai dengan pertimbangan kemaslahatan yang ada. Contoh dalam masalah ini antara lain: apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya, penerj.); apakah kita akan keluar kota atau tidak; apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari; apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pen-dapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini, suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah saw. ketika Perang Uhud. Pada saat itu, Rasulullah saw. dan para sahabat senior berpen-dapat bahwa kaum Muslim tidak perlu keluar dari kota Madinah, sedangkan mayoritas sahabat—khususnya para pemudanya—berpendapat bahwa kaum Muslim hendak-nya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy. Artinya, pada saat itu, pendapat yang ada ber-kisar di antara dua pilihan: keluar kota Madinah atau tidak. Karena mayoritas sahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi saw. mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para sahabat senior. Setelah itu, beliau dan para sahabat kemudian berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.

***

Dalam pada itu, ide kebebasan umum bagi setiap individu sesungguhnya merupakan salah satu ide yang paling menonjol dalam demokrasi. Ide ini dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi. Dengan ide ini, tiap-tiap individu akan dapat melaksanakan dan menja-lankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa tekanan atau paksaan. Rakyat dianggap tidak akan dapat mengekspresikan kehendak umumnya, kecuali dengan terpenuhinya kebebasan individu yang berlaku umum bagi seluruh rakyat.
Kebebasan individu merupakan suatu ajaran suci dalam sistem demokrasi sehingga negara ataupun individu tidak dibenarkan melanggarnya. Sistem demokrasi kapitalis menganggap bahwa adanya peraturan yang bersifat individualistik serta pemeliharaan dan penjagaan terhadap kebebasan individu merupakan salah satu tugas utama negara.
Kebebasan umum yang berlaku bagi setiap individu yang dibawa demokrasi tidak dapat diartikan sebagai pembebasan bangsa-bangsa terjajah dari negara-negara penjajahnya yang telah mengeksploitasi dan merampas kekayaan alamnya. Alasannya, ide penjajahan tidak lain merupakan salah satu buah dari ide kebebasan kepemilikan yang justru dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Kebebasan ini juga tidak berarti pembebasan dari perbudakan, sebab budak saat ini sudah tidak ada lagi.
Kebebasan umum bagi setiap individu mencakup empat hal sebagai berikut:
1. Kebebasan beragama.
2. Kebebasan berpendapat.
3. Kebebasan kepemilikan.
4. Kebebasan berperilaku.

Keempat macam kebebasan ini tidak ada dalam kamus Islam, karena seorang Muslim wajib mengikatkan diri dengan hukum syariat dalam seluruh perbuatannya. Seorang Muslim tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Dalam Islam, tidak ada yang disebut kebebasan, kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedangkan perbudakan itu sendiri sudah lenyap sejak lama.
Keempat macam kebebasan tersebut sangat berten-tangan dengan Islam dalam segala aspeknya—sebagaimana yang akan kami jelaskan.

***

Kebebasan beragama berarti bahwa seseorang berhak meyakini suatu akidah yang dikehendakinya atau memeluk agama yang disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan akidah dan agamanya, berpindah pada akidah atau agama baru, atau bahkan berpindah pada kepercayaan non-agama (ani-misme/paganisme). Dia berhak melakukan semua itu sebe-bas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan. Oleh kare-na itu, seorang Muslim, misalnya, berhak mengganti agama-nya untuk kemudian memeluk agama Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya; tanpa ada larangan atas dirinya dari negara atau pihak lain untuk mengerjakan semua itu.
Hal semacam ini bertentangan dengan Islam. Islam telah mengharamkan seorang Muslim untuk meninggalkan akidah Islamnya atau murtad dari Islam untuk kemudian memeluk agama Yahudi, Kristen, Budha, Komunisme, atau Kapitalisme. Siapa saja yang murtad dari agama Islam, dia akan diminta untuk bertobat. Jika dia kembali pada Islam, itulah yang diharapkan. Akan tetapi, jika tidak, dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari istrinya. Dalam konteks ini, Rasulullah saw.:


Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), jatuhkanlah hukuman mati atasnya. (HR Muslim dan Ashhâb as-Sunan)

Jika yang murtad adalah sekelompok orang, semen-tara mereka tetap bersikeras untuk murtad, maka mereka akan diperangi hingga mereka kembali pada Islam atau dibinasakan. Realitas semacam ini pernah terjadi pada orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah, yakni tatkala Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian orang yang tidak terbunuh kembali pada Islam.

***
Sementara itu, kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi mempunyai arti bahwa setiap individu berhak untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagai-mana pun bentuknya. Dia berhak menyatakan atau menye-rukan ide atau pendapat itu dengan sebebas-bebas-nya tanpa ada syarat atau batasan apa pun dan bagaimana pun bentuknya. Dia berhak pula mengungkapkan ide atau pen-dapatnya itu dengan cara apa pun, tanpa ada larangan bagi-nya untuk melakukan semua itu, baik dari negara ataupun pihak lain, selama dia tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh karena itu, setiap larangan untuk mengembang-kan, mengungkapkan, dan menyebarluaskan pendapat akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan.
Ketentuan ajaran Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang Muslim dalam seluruh perbuatan dan perkataannya wajib terikat dengan apa yang terkandung dalam nash-nash syariat. Dengan demikian, dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan, kecuali jika dalil-dalil syariat telah memboleh-kannya.
Atas dasar ini, seorang Muslim berhak mengem-bangkan, menyatakan, dan menyerukan pendapat apa pun, selama dalil-dalil syara telah membolehkannya. Akan tetapi, jika dalil-dalil syariat telah melarangnya, maka seorang Muslim tidak boleh mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut. Jika dia tetap melakukannya, dia akan dikenai sanksi. Dengan demikian, seorang Muslim itu wajib terikat dengan hukum-hukum syariat dalam mengembangkan, menyatakan, dan menye-rukan suatu pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan semaunya.
Islam sendiri telah mewajibkan seorang Muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap waktu dan tem-pat. Dalam hadis ‘Ubâdah ibn ash-Shâmit r.a. disebutkan demikian:




...dan kami akan mengatakan kebenaran di mana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela.

Islam juga telah mewajibkan kaum Muslim untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa sekaligus mengawasi dan mengoreksi tindakan mereka. Ummu ‘Athiyah menuturkan riwayat dari Abu Sa‘îd r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda demikian:


Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa zalim.

Abû Umâmah r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya oleh seseorang pada saat melempar Jumrah ‘Aqabah, “Jihad apa yang paling utama, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. lalu menjawab:


Yaitu menyampaikan perkataan yang haq kepada penguasa zalim.

Rasululah saw. juga pernah bersabda:




Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim, lalu dia menasihatinya, dan kemudian penguasa itu membu-nuhnya.

Tindakan semacam ini tidak dipandang sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, melainkan justru realisasi dari keterikatan dengan hukum-hukum syariat, yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan dan kewajiban menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.

***
Sementara itu, kebebasan kepemilikan—yang telah melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme, yang selanjutnya melahirkan ide penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia serta perampokan kekayaan alamnya—bermakna bahwa seseorang boleh memiliki harta (modal) dan boleh mengem-bangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Seorang pe-nguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembang-kannya melalui imperialisme, perampasan, dan pencurian harta kekayaan alam dari bangsa-bangsa yang dijajah. Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengem-bangkan harta melalui usaha-usaha seperti: penimbunan dan mudhârabah (usaha-usaha komanditen/trustee); mengambil riba; menyembunyikan cacat barang dagangan; berlaku curang dan menipu; menetapkan harga tinggi secara tidak wajar; mencari uang melalui judi, zina, homoseksual, dan mengeksploitasi tubuh wanita; mempro-duksi dan menjual khamr; menyuap; atau menempuh cara-cara lainnya.
Ajaran Islam, dalam hal ini, sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan tersebut. Islam telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide peram-pokan dan penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam juga menentang praktik riba, baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh macam riba dilarang. Di samping itu, Islam telah menetapkan adanya sebab-sebab kepemilikan harta, sebab-sebab pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya. Islam meng-haramkan ketentuan di luar itu semua. Islam mewajibkan seorang Muslim untuk terikat dengan hukum-hukum Islam dalam usahanya untuk memiliki, mengem-bangkan, dan mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola harta sekehendaknya, tetapi Islam telah mengikatnya dengan hukum-hukum syariat. Islam mengharamkan seseorang untuk memiliki dan mengembangkan harta secara batil, misalnya dengan cara merampas, merampok, mencuri, me-nyuap, mengambil riba, berjudi, berzina, berhomoseksual, menutup-nutupi kecacatan barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi dengan tidak wajar, memproduksi dan menjual khamar, mengeksploitasi tubuh wanita, dan cara-cara lain yang telah diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan mengembangkan harta.
Semua itu merupakan sebab-sebab pemilikan dan pengembangan harta yang dilarang Islam. Setiap harta yang diperoleh melalui jalan-jalan itu adalah haram dan tidak boleh dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kebebasan kepe-milikan harta tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan, sebalik-nya, Islam mewajibkan setiap Muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syariat dalam hal kepemilikan, pengem-bangan, dan pengelolaan harta. Dia tidak boleh melanggar hukum-hukum itu.

***


Kebebasan bertingkah laku artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai keruhanian, akhlak, dan kemanusiaan. Kebebasan bertingkah laku juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga. Kebebasan ini merupakan jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala sesuatu yang telah diharamkan. Kebebasan inilah yang telah menjerumuskan masyarakat Barat menjadi “masyarakat binatang” yang sangat memalukan dan membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang lebih hina daripada binatang ternak. Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya; sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan, baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamar, bertelanjang, dan melakukan perbuatan apa saja—walaupun sangat hina—dengan sebebas-bebasnya; tanpa ada ikatan atau batasan, tanpa tekanan atau paksaan.
Hukum-hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku semacam ini. Tidak ada kebebasan bertingkah laku dalam Islam. Seorang Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Ia haram melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Jika seorang Muslim mengerjakan suatu perbuatan yang diharamkan, dia dipandang telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.
Islam telah mengharamkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, minuman keras, telanjang, dan hal-hal lain yang merusak. Atas setiap perbuatan tersebut, Islam telah menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat pelakunya jera.
Islam pun memerintah kaum Muslim untuk berakhlak mulia dan terpuji. Islam juga telah memerintah kaum Muslim untuk menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai yang mulia.

***

Dari seluruh penjelasan di atas, tampak jelas bahwa peradaban, nilai-nilai, pandangan hidup, dan demokrasi Barat, serta kebebasan umum bagi setiap individu berten-tangan secara total dengan hukum-hukum Islam; selu-ruhnya merupakan ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang kufur. Oleh karena itu, tindakan yang bodoh dan menyesatkan jika ada orang yang mengatakan bahwa: demokrasi adalah bagian dari ajaran Islam; demokrasi identik dengan sistem syûrâ (permusyawa-ratan) dalam Islam; atau demokrasi identik dengan amar makruf nahi mungkar dan tindakan mengoreksi tingkah laku penguasa.
Syûrâ, amar makruf nahi mungkar, dan mengoreksi penguasa, adalah hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan Allah Swt. Kaum Muslim telah diperintahkan untuk mengambil dan melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah hukum-hukum Islam. Sebaliknya, demo-krasi bukanlah termasuk bagian dari hukum-hukum Islam dan tidak berasal dari peraturan Allah. Demokrasi adalah buatan manusia dan peraturan manusia. Demokrasi bukan syûrâ, karena syûrâ artinya adalah memberikan pendapat. Sebaliknya, demokrasi sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan peraturan yang telah dibuat oleh manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka mene-tapkan ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kemasla-hatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.
Atas dasar itu semua, kaum Muslim haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Kaum Muslim haram pula menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Sebaliknya, kaum Muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thâghût. Demokrasi adalah sistem kufur yang mengandung berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.
Walhasil, kaum Muslim wajib menerapkan dan melak-sanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan bermasya-rakat dan bernegara.






Siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas ke-benaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, niscaya Kami membiarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami memasukkannya ke dalam Jahanam, semen-tara Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS an-Nisâ’ [4]: 115).


Telah selesai dengan pertolongan dan karunia Allah Swt., pada hari Ahad tanggal 3 Dzulqa’dah 1410 H,
bertepatan dengan tanggal 17 Mei 1990 M.

‘Abdul Qadîm Zallûm

0 komentar: