Jumat, 10 April 2009


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Janganlah engkau menilai kebenaran itu dari orangnya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka engkau akan mengenal orang yang mengembannya. (Imam Ali bin Abi Thalib kw)

Kelahiran dan pertumbuhan

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dilahirkan di Iljim, masuk wilayah Haifa. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthofa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani. Ayah beliau adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina. Pendidikan awal beliau diterima dari ayah beliau. Dibawah bimbingan sang ayah, beliau sudah hafal Al Qur’an seluruhnya sebelum menginjak usia 13 tahun. Beliau juga mendapat pengajaran fikih dan Bahasa Arab. Beliau menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya. Ibunda beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An-Nabhani.

Beliau juga dibimbing dan diasuh oleh kakek beliau ini, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Hasan bin Muahammad Nashiruddin an-Nabhani; seorang qadhi, penyair, sastrawan, dan ulama besar. Sekembali dari menuntut ilmu di Al Azhar, Syaikh Yusuf kembali ke kota asal dan memberikan pengajaran agama di Aka. Beliau lalu menjabat qadhi di Qushbah Jenin, masuk wilayah Nablus. Beliau lalu pindah ke Konstantinopel dan kemudian diangkat menjabat qadhi di Sinjiq, masuk wilayah Mosul. Beliau pernah menjabat kepala Mahkamah Al-Jaza di Ladzikiqiyah, kemudian di al-Quds. Selanjutnya, beliau menjabat ketua Mahkamah al-Huquq di Beirut.

Beliau termasuk pelaku sejarah masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Beliau berpendapat bahwa Khalifah Utsmaniyah merupakan penjaga agama dan akidah, symbol kesatian kaum Muslim, dan mempertahankan institusi umat. Beliau berseberangan dengan Muhammad Abduh dalam metode tafsir; Abduh menyerukan perlunya penakwilan nash dan agar tafsir merujuk pada tuntutan kondisi. Beliau juga bersebrangan dengan Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya, yang menyerukan reformasi. Menurut beliau, tuntutan reformasi itu meniru protestan. Dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman protestan) itu. Beliau juga menentang gerakan misionaris dan sekolah-sekolah misionaris yang mulai tersebar pada masa beliau.

Karena itu, di samping seorang ulama yang faqih, Syaikh Yusuf an-Nabhani juga seorang politikus yang selalu memperhatikan dan mengurus urusan umat.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani banyak diasuh dan dibimbing oleh sang kakek ini. Beliau banyak menimba ilmu syariat dari sang kakek. Beliau banyak belajar dan memahami masalah-masalah politik yang penting dari sang kakek, yang mengalami langsung dan memiliki hubungan erat dengan penguasa Utsmaniyah. Beliau juga sering mengikuti ceramah dan diskusi yang dibawakan oleh sang kakek.

Walhasil, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tumbuh dan berkembang dalam suasana keagamaan yang kental. Beliau juga sejak usia sangat dini telah bergelut dengan masalah-masalah politik. Semua itu memiliki pengaruh besar dalam membentuk kepribadian beliau.

Melihat bakat kemampuan yang sangat besar dalam diri Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sang kakek meyakinkan sang ayah agar mengirimkan Taqiyuddin remaja ke al-Azhar untuk melanjutkan studi dalam ilmu-ilmu syariat.

Pendidikan Beliau

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menamatkan pendidikan dasar di sekolah dasar negeri di Ijzim. Beliau kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di Akka. Lalu beliau melanjutkan studi di Tsanawiyah Syariah di Haifa. Sebelum menyelesaikannya beliau pindah ke Kairo; melanjutkan studi di Tsanawiyah al-Azhar (setingkat SMU) pada tahun 1928. Pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Kemudian beliau melanjutkan studi di kulliyah Dar al-Ulum yang merupakan cabang al-Azhar dan secara bersamaan beliau juga belajar di Universitas al-Azhar.

Dengan system al-Azhar waktu itu, mahasiswa dapat memilih beberapa syaikh al-Azhar dan menghadiri halaqoh-halaqoh mereka mengenai bahasa Arab, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, tauhid dan ilmu-ilmu syariat lainnya. Saat itu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani memilih dan mengikuti halaqoh para syaikh al-Azhar seperti yang dianjurkan sang kakek, Syaikh Yusuf an-Nabhani; diantaranya mengikuti halaqoh Syaikh al-Hidhir (al-Akhdar) Husain.

Pada tahun 1932 beliau lulus dari kulliyah Dar al-‘Ulum dan juga menamatkan studi di al-Azhar as-Syarif.

Selama studi di dua Universitas ini beliau tampak menonjol dan istimewa dalam kecerdasan dan kesungguhan. Beliau dikenal oleh teman sesama mahasiswa dan para pengajarnya sebagai sosok yang memiliki kedalaman pemikiran, pendapat yang kuat, serta kekuatan argumentasi dalam setiap diskusi dan forum pemikiran; juga memiliki keistimewaan dalam ketekunan, kesungguhan, dan besarnya perhatian untuk memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.

Ijazah yang beliau raih diantaranya adalah: Ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah; Ijazah al-Ghuroba’ dari al-Azhar; Diploma Bahasa dan Sastra Arab dari Dar al-‘Ulum; Ijazah dalam peradilan dari Ma’had al ‘Ali li al-Qadha’ (Sekolah Tinggi Peradilan), salah satu cabang al-Azhar. Pada tahun 1932 beliau meraih Syahaadah al Alamiyah (Ijazah Internasional) syariah dari Universitas al-Azhar as Syarif dengan predikat excellent.

Aktivitas-aktivitas Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Setelah menyelesaikan studi di Dar al-‘Ulum dan al-Azhar, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani kembali ke Palestina dan mulai mengajar di Sekolah Tsanawiyah Negeri (setingkat SMU) dan di sekolah-sekolah Islam di Haifa. Aktivitas mengajar ini beliau lakoni dari tahun 1932-1938. Pada tahun 1938 beliau beralih profesi dengan berkarya di lapangan peradilan. Hal itu karena beliau memandang bahwa pendidikan dan semua aktivitas yang terkait dengan kurikulum telah banyak dipengaruhi barat sehingga telah banyak menyimpang. Sebaliknya, bidang peradilan relatif lebih terjaga. Karenanya, beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah.

Banyak sejawat beliau semasa di al-Azhar yang bekerja di peradilan. Dengan bantuan mereka, pada tahun 1938 beliau mulai menjabat Sekretaris Mahkamah di Bissan, lalu pindah ke Taberriya. Sesuai dengan pendidikannya, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengajukan permohonan untuk menjadi qadhi. Majelis al-Islami al-A’la lalu menyetujuinya dan memindahkan beliau ke Mahkamah Syariah di Haifa untuk menjabat Kepala Sekretaris (Baasy Kaatib).

Pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai asisten (musyaawir) qadhi sampai tahun 1945. Pada tahun ini beliau diangkat sebagai qadhi di Ramalah sampai tahun 1948. Pada tahun ini pula beliau terpaksa eksodus ke Syiria akibat Palestina jatuh ke tangan Yahudi.

Tidak lama, pada tahun ini pula, sejawat beliau, Ustadz Anwar al Khatib, mengirim surat meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk menjabat qadhi di al-Quds (Yerusalem). Dengan demikian, sejak tahun 1948 ini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjabat qadhi di Mahkamah Syariah di al-Quds (Yerusalem).

Selanjutnya, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Isti’naf saat itu, Syaikh Abd al-Hamid as-Sa’ih, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf. Beliau terus menduduki jabatan ini sampai mengundurkan diri tahun 1950 (1951).

Pada tahun 1951 beliau pindah ke Amman dan mengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Islam (Al-Kulliyah al-’Ilmiyyah al-Islamiyyah) sampai tahun 1953. Beliau mengajar mata pelajaran Tsaqaafah al-Islamiyyah sesuai dengan izin Dekan waktu itu. Ustadz Basyir Shiba’. Buku beliau, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah cetakan tahun 1952, menjadi buku ajar.

Aktivitas Politik

Sejak usia dini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah bergelut dengan masalah-masalah politik ketika dibimbing oleh sang kakek. Begitu pula ketika beliau kuliah di Dar al-’Ulum dan al Azhar, teman-teman beliau semasa kuliah menceritakan aktivitas beliau yang tanpa lelah dalam diskusi politik dan keilmuan. Mereka juga sangat menghargai kontribusi beliau dalam sejumlah diskusi politik. Di dalamnya beliau senantiasa mengkritisi kemunduran umat serta mendorong aktivitas politik dan intelektual untuk membangkitkan umat dan mewujudkan kembali Daulah Islam. Beliau juga menggunakan kesempatan itu untuk mendorong dan mendesak para ulama al-Azhar dan lembaganya memainkan peran aktif dalam membangkitkan umat.

Setelah kembali dari studi di al Azhar, beliau sangat memperhatikan upaya pembaratan umat Islam yang dilakukan oleh para penjajah semisal Inggris dan Prancis. Beliau juga banyak menjalin kontak dan diskusi dengan para ulama tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat seputar upaya membangkitkan kembali umat Islam.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pernah beberapa saat menghabiskan waktu bersama Mujahid masyhur Syaikh Izzuddin al-Qasam. Beliau membantu merancang rencana untuk sebuah pergolakan revolusioner menentang Inggris dan Yahudi.

Jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi tahun 1948 memberikan keyakinan kepada beliau bahwa hanya aktivitas yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam.

Karena itu, beliau mulai melakukan persiapan yang sesuai untuk struktur partai, rujukan pemikiran dan sebagainya; setidaknya sejak 1949 ketika beliau masih menjabat qadhi di al-Quds. Pada tahun 1950 beliau merilis buku beliau yang pertama, yaitu Inqaadz Filisthin (membebaskan Palestina). Beliau menunjukkan akar yang sangat dalam, bahwa Islam telah hadir di Palestina sejakabad VII, dan bahwa sebab utama kemunduran yang mendera Arab adalah karena umat ini telah menarik diri dan menyerahkan diri pada kekuasaan penjajah; dan ini adalah fakta.

Pada tahun 1950, beliau hendak menghadiri KTT kebudayaan Liga Arab di Alexandria, Mesir, namun beliau dilarang pergi. Padahal, Menteri Pendidikan dan Qadhi Qudhat (Hakim Agung) waktu itu, yaitu Syaikh Muhammad al-Amin as-Sanqaythi, telah menyetujui untuk menghadiri KTT.

Akhirnya, beliau mengirimkan surat yang sangat panjang kepada para peserta KTT dan kemudian dikenal sebagai Risalah al-Arab. Beliau menekankan bahwa misi yang benar dan hakiki dari Arab adalah Islam; hanya di atas asas Islam sajalah pemikiran dan kebangkitan kembali politik umat Islam akan bisa dicapai.

Tidak ada respon sama sekali dari para anggota KTT. Hal itu lebih menguatkan keyakinan beliau sebelumnya, bahwa pendirian partai politik menjadi perkara yang sangat urgen dan mendasar. Karena itu, pada akhir 1952 dan awal 1953, seluruh persiapan diwujudkan dalam tataran praktis, lalu Hizbut Tahrir (HT) didirikan di al-Quds.

UU Kepartaian Utsmani yang saat itu masih diterapkan di Palestina menyatakan, bahwa cukup dengan telah disampaikannya permintaan pendirian partai ke lembaga tertentu, dan cukup dengan publikasi bahwa permintaan itu telah diterima dan publikasi pendirian partai, maka itu sudah dinilai sebagai lisensi resmi bagi partai dan izin bagi partai untuk melaksanakan aktivitasnya. Saat itu belum ditetapkan aturan kepartaian yang baru.

Karena itu, HT mengirimkan permohonan pendirian partai ke Departemen Dalam Negeri Yordania dan mempublikasikan pendirian Hizbut Tahrir di Harian Ash-Sharih edisi 14 Maret 1953, dengan susunan pengurus: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai ketua partai; Dawud Hamdan, wakil ketua merangkap sekretaris; Ghanim Abduh, bendahara; Munir Syaqir, anggota; dan Dr. ’Adil an-Nablusi, anggota.

Surat balasan dari Departemen Dalam Negeri Yordania adalah sebagai berikut:

No : ND/70/52/916

Tanggal : 14 Maret 1953



Kepada Yth.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan seluruh pendiri Hizbut Tahrir

Saya telah meneliti berita yang telah dilansir Surat Kabar Ash-Shariih nomor hari ini dengan judul, “Hay’at at-Tahrir, Tasjiil al Hizo Rasmillan fii al-Quds.”

Saya berharap dapat memberi pengertian kepada Anda, bahwa apa yang dirilis mengenai pendirian partai secara resmi di al-Quds tidak bisa dibenarkan, dan bahwa sampainya apa yang Anda sekalian tarima dari kepala kantor saya secara resmi diterimanya permintaan Anda sekalian, dalam pandangan Undang-undand Dasar, tidak dinilai sebagai izin bagi Anda sekalian. Hal itu karena izin pendirian partai dan pengakuan terhadapnya bergantung pada kepentingan negara seperti yang telah saya tunjukkan kepada Anda sekalian dalam beberapa tulisan yang dikirimkan kepada Anda sekalian mengenai tidak adanya persetujuan atas pendirian partai

Wakil Departemen Dalam Negeri

Ali Hazanah

Atas dasar ini, pemerintah Yordania mengeluarkan larangan berdirinya HT dan menyatakan aktivitasnya sebagai ilegal. Namun, HT mengabaikan hal itu dan terus beraktivitas hingga Sekarang.

Pada tahun 1953, pada masa kabinet Tawfiq ‘Abdul Hadi (alm), Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bersama Ustadz Dawud Hamdan di tangkap di al-Quds; sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh di tangkap di Amman; lalu beberapa hari berikutnya, Dr. Abd al-Azis al-Khiyath juga ditangkap; semuanya dijebloskan ke penjara.

Pada waktu itu HT berhasil meyakinkan sejumlah wakil rakyat dan pejabat kabinet di Amman. Akhirnya, sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis, dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan mengirimkan petisi yang menuntut lembaga berwenang agar membebaskan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan colega beliau. Petisi ditandatangani sebanyak 37 orang.

Dr. Abd al-‘Azis al-Khiyath bertutur:

Tiga hari setelah saya masuk penjara, di kantor kepala penjara, seorang yang Sangay baik, H. Salim, terjadi diskusi antara kami dan utusan ketua kabinet, Muhammad Ali Batir, Rasyid al-Khiyath, dan seorang wakil rakyat Rasyad Thawqan. Diskusi membahas dakwah islamiyah dan aktivitas Hizbut Tahrir, bahwa dalam aktivitas Hizbut Tahrir tidak ada yang menyalahi perundang-undangan; tidak ada seruan pada kekerasan. Kami tidak lain menyerukan pemikiran kami dengan metode yang damai dan hal itu dijamin UUD. Mereka sepaham dengan kami. Hari berikutnya, kami dibebaskan.

Glubb Pasya, seorang pejabat Inggris yang kala itu menjadi Staff Angkatan Bersenjata Jordania, yang ironisnya disebut Arab Legion of British Army (Legion Arab Tentara Inggris)—dialah yang secara real berkuasa di Yordania—mendesak pemerintahan boneta di Yordan untuk menggunakan semua alat yang diperlukan untuk ‘mencekik’ HT dan aktivitasnya. Tahun 1954 dikeluarkan Qaanuun al-Wa’zhu wa al-Irsyad. Isinya, seseorang tidak boleh menyampaikan ceramah, khutbah atau pengajaran di masjid kecuali mendapatkan lisensi resma dari Qadhi Qudhat. Atas dasar UU ini, sejumlah tokoh HT ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Pada November 1953, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus dan menyebarkan dakwah di sana. Namur, satu saat intelijen Siria membawa beliau ke perbatasan Syiria-Lebanon. Atas bantuan Mufti Lebanon, Syaikh Hasan al-’Alaya, akhirnya beliau diizinkan untuk masuk ke Lebanon yang sebelumnya tidak boleh.

Beliau lalu menyebarkan pemikiran beliau ke Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupan beliau karena merasakan bahaya dari pemikiran yang beliau emban. Akhirnya, beliau berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT.

Selama itu beliau terus memegang Qiyadah (Kepemimpinan) HT. Beliau juga terus memantau berita baik dari koran, berbagai media, radio, dan sebagainya; kemudian menulis analisis politik dan disebarkan atas nama HT.

Beliau wafat pada 1 Muharram 1398 H atau 11 Desember 1977 M. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Syuhada’ al-Auza’i, Beirut.

Peninggalan Beliau

Peninggalan beliau adalah sesuatu yang sangat bernilai. Beliau telah meninggalkan sebuah partai (Hizbut Tahrir) yang solid dengan seluruh pemikiran yang diembannya. Beliaulah yang menulis hampir seluruh pemikiran dan pemahaman HT.

Namun, beliau juga melibatkan komponen HT dalam menulis kitab-kitab beliau. Beliau menulis rancangan buku dan garis-garis besarnya, kemudian beliau mempercayakan kepada salah seorang intelektual HT yang menonjol di sekeliling beliau untuk menulis lengkapnya hingga mewujud dalam bentuk pemikiran yang mengkristal (jernih dan kokoh), baru kemudian di cetak.

Beliau sering menyodorkan buku-buku beliau kepada intelektual dan ulama HT sekaligus mendiskusikannya sebelum memutuskan akhirnya. Dengan begitu, pemikiran yang keluar merupakan pemikiran yang jelas, gamblang, dan shahih; dengan argumentasi yang kuat dan disertai keyakinan atas setiap hurufnya.

Karya-karya beliau istimewa karena bersifat menyeluruh dan mencakup berbagai bidang yang luas dan solusi atas problematika manusia. Karya-karya politis beliau juga istimewa karena didasarkan pada kesadaran, kedalaman, kejelasan, dan kesatuan sistematika sehingga mampu mendeskripsikan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan menyeluruh yang digali dari dalil-dalil syariat –al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Hal ini bisa dikatakan sebagai hasil pertama dari usaha yang sungguh-sungguh dari seorang pemikir Muslim pada zaman ini.

Kehidupan politik beliau termasuk yang paling menonjol pada era ini dan mungkin sampai ke depan nanti. Beliau memiliki kemampuan yang tinggi dalam melakukan analisis politik, sebagaimana tampak dalam berbagai selebaran politik HT. Beliau memiliki keluasan telaah atas berbagai peristiwa politik; memiliki kedalaman pemahaman dan kesadaran yang linuwih atas masalah-masalah dan ide-ide politik. Siapa yang mendalami berbagai selebaran dan buku politik HT, garis-garis besar politik yang beliau susun untuk membina para syabab (aktivis) HT secara politik, akan dapat mengerti bahwa beliau memiliki kemampuan politik yang luar biasa. Beliau benar-benar merupakan salah seorang pemikir sekaligus politikus ulung abad ke 20.

Semoga kita dapat melestarikan peninggalan beliau yang sangat bernilai itu. Semoga kita diberikan kekuatan oleh Allah untuk melanjutkan dan tetap istiqamah memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah—yang menerapkan syariat Islam sekaligus mendakwahkan Islam ke seluruh dunia—yang menjadi dambaan beliau dan kita semua. Wallaahu Muwaffiq ilaa Aqwaam ath-Thariiq. [YA]

(Sumber: Majalah al-Wa’ie No.55 Edisi Khusus Maret 2005)

baca selanjutnya..

MASA KEKHILAFAHAN HANYA BERLANGSUNG SELAMA 30 TAHUN: BENARKAH DEMIKIAN ?

Oleh
Ust. Abdur Rozaq Al-Jemberi

Rasulullah SAW bersabda:
االخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا بعد ذلك
Artinya: “Masa kekhilafahan yang ada pada umat sepeninggalku adalah 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan” (HR. Ahmad jilid 5\hal 221\No. 21973, Tirmidzi jilid 4\hal. 503\No. 2226, Abu Ya’la, dengan sanad hasan shahih).
Rasulullah SAW bersabda:
االخلافة ثلاثون سنة وسائرهم ملوك والخلفاء والملوك اثنا عشر
Artinya: “Masa kekhilafahan itu akan berlangsung selama 30 tahun, setelah itu adalah para raja, kemudian para khalifah, kemudian para raja sebanyak 12 orang” (HR. Ibnu Hibban jilid 15\hal. 35\No. 6657).
Rasulullah SAW bersabda:
إن أول دينكم بدأ نبوة و رحمة ثم كائن خلافة ورحمة ثم تكون ملكا وجبرية , وفسادا في الأمة يستحلون الحرير والخمور والفروج والفساد في الأمة , ينصرون على ذلك ويرزقون أبدا حتى يلقوا الله عز وجل
Artinya:“Sesungguhnya awal agama kalian dimulai dengan masa-masa kenabian dan rahmat, kemudian masuk masa kekhilafahan dan rahmat, kemudian masuk masa monarki dan diktator, dan kerusakan pada umatku terjadi karena dihalalkannya sutera, khamr,dan pengrusakan dalam diri umat. Walaupun demikian Allah tetap akan menolong dan memberi rizqi kepada mereka (sebagai bentuk kemurahan Allah SWT kepada hambanya walaupun mereka banyak berbuat dosa dan kerusakan –pent) sampai kemudian mereka bertemu dengan Allah SWT (untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka –pent) (HR. Abu Dawud Ath-Thoyalisi jilid 1\hal. 31\no. 228; HR. Ath-Thobroni jilid 20\hal. 53\No.91 dalam Mu’jam Al-Kabir; HR. Abu Ya’la dan Al-Bazar dengan sanad hasan -- Lihat Majmu’ Az-Zawaid jilid 5\hal.189).

Hadits-hadits ini oleh sebagian kelompok cendekiawan digunakan sebagai dalil bahwa keberadaan daulah Khilafah tidak berlangsung lama, yaitu hanya berlangsung sampai pada masa Khalifah ar-Rasyidun saja. Sehingga sistem kekhilafahan setelah mereka telah berubah menjadi sistem kerajaan-kekaisaran. Mereka melontarkan pendapat ini guna mencabut ide khilafah dalam diri umat Islam, sehingga kaum Muslimin tidak berusaha lagi untuk mengembalikannya. Tuduhan-tuduhan miring ini ditujukan untuk menyerang sistem kekhilafahan dan umat Islam seluruhnya. Bahkan tidak cukup dengan ini, mereka menyerukan agar umat Islam menghentikan upaya-upaya untuk mengembalikan sistem kekhilafahan dan kemudian meninggalkannya. Mereka telah berjalan terlalu jauh, dengan menuduh bahwa sistem kekhilafahan itu bukanlah sistem yang diberikan oleh syara’ dan juga bukan merupakan sistem yang wajib dipegangi oleh kaum Muslim karena sistem tersebut adalah buatan para shahabat (menurut versi mereka –pent). Selain itu seiring dengan perkembangan zaman, sistem ini tidak cocok lagi diterapkan pada era demokrasi seperti sekarang ini.
Benarkah hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa keberadaan sistem khilafah tidak berlangsung lama dan setelah masa Khalifah Ar-Rasyidun, kemudian sistem ini berubah menjadi sistem kerajaan yang dapat diwariskan ?
Barangkali sebagian diantara mereka ini berpegang pada perkataan seorang perawi hadits yang pertama yaitu Safinah maulanya Rasulullah SAW, tatkala seorang tabi’in, yaitu Said bin Jahman ra., bertanya kepadanya: ”Sesungguhnya bani Umayyah mengklaim bahwa kekhilafahan itu adalah untuk mereka”. Safinah menjawab: ”Bani Zarqa berdusta, bahkan bani Umayyah itu adalah raja yang paling jelek”. Zarqa adalah salah seorang ibu dari bani Umayyah. Benarkah bahwa bani Umayyah adalah para raja bukan Khalifah ? Dan benarkah bahwa kekuasaan kekhilafahan bani Umayyah diperoleh secara paksa (ghashab) sehingga mereka tidak berhak untuk menduduki tampuk kekhilafahan ?


Jawabannya bahwa makna hadits pertama yaitu sabda Rasulullah SAW:
االخلافة بعدي ثلاثون سنة
bahwa kekhilafahan yang sebenarnya yang dimaksud itu adalah untuk Rasul, tidak mencakup kekhilafahan secara keseluruhan. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fath Al- Bari mengatakan: “Yang dimaksud kata khilafah (dalam hadis ini –pent) adalah Khilafah Nubuwwah, sedangkan Muawiyah dan orang-orang setelahnya secara praktis mereka menggunakan metode kerajaan, sekalipun demikian mereka tetap disebut Khalifah”.
Makna ini sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadits:
االخلافة نبوة ثلاثون سنة
Artinya: “Masa Khilafah Nubuwwah adalah 30 tahun”. (HR. Abu Dawud no. 4646, 4647 dalam Sunan Abi Dawud).
Hadits ini menunjukkan masa kekhilafahan empat Khalifah ar-Rasyidun, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum. Mereka itulah khalifah secara nyata sebagaimana Rasulullah SAW, bukan hanya sebatas sebagai Hukkam (penguasa pemerintahan). Selain itu banyak juga penjelasan (syarah) hadits yang memasukkan Hasan ra. ke dalam jajaran keempat khalifah tersebut. Bahkan para pensyarah hadits tersebut menganggapnya sebagai khalifah ar-rasyidun yang kelima. Adapun setelah itu, yaitu dari kalangan bani Umayyah, bani ‘Abbasiyah, dan bani Utsmaniyah, diantara mereka ada juga yang menjalankan kekhilafahan sebagaimana Khilafah Nubuwwah, seperti Khalifah ar-Rasyidun yang ketujuh yaitu ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz yang dibaiat pada bulan Shafar 99 Hijriyah. Demikian juga terdapat seorang Khalifah yang mendekati Khilafah Nubuwwah dalam menjalankan kekhilafahannya, yaitu Adh-Dhahir Bi Amrillah yang dibaiat tahun 622 Hijriyah. Dalam hal ini Ibnu Atsir mengatakan: “Ketika Adh-Dhahir bi Amrillah memerintah nampak sekali dalam kekhilafahannya keadilan dan kebaikannya, seolah-olah keadaan itu kembali pada masa dua ‘Umar. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada khalifah yang menyamai ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz setelahnya selain Adh-Dhahir, dimana dia selalu berkata benar dan jujur”.
Demikian juga para Khalifah yang lain setelahnya hingga pada masa-masa kemundurannya, mereka tidak pernah mengunakan sistem kerajaan dan merubahnya ke sistem lain yang telah dikenal didunia. Bahkan sistem kekhilafahan ini, merupakan sistem pemersatu yang agung sepanjang masa dan sistem ini terus diterapkan pada masa mereka (yaitu mulai masa para Kholifah Ar-Rasyidun sampai pada masa Khalifah Abdul Hamid II di Turki pada tahun 1924 –pent).

Adapun sabda Rasulullah SAW:
االخلافة ثلاثون سنة وسائرهم ملوك والخلفاء والملوك اثنا عشر
dan
االخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم تكون ملكا بعد ذلك
dimana kata [ملوك] yang dimaksud dalam hadis ini adalah mereka menjalankan sistem pemerintahan dengan menggunakan metode kerajaan pada sebagian urusan, bukan menunjukkan bahwa mereka adalah raja secara hakiki. Fakta sejarah menunjukkan hal itu. Karena itu tidak ada satupun dari para Khalifah, baik Khalifah dari bani Umayyah, bani 'Abbasiyah, ataupun bani 'Utsmaniyah yang berani untuk mengganti sistem kekhilafahan ini. Masing-masing Khalifah menerapkan sistem baiat yang sesuai manhaj Nubuwwah, sekalipun ada juga yang mengangkat putra mahkota untuk menjadi Khalifah ketika Khalifah sebelumnya masih hidup. Sekalipun demikian hal itu tidak menjadikannya sebagai Khalifah dengan pengangkatannya itu, tetapi ia menjadi kholifah karena adanya baiat dari umat atas putra mahkota tersebut. Dan baiat itu ada kalanya dilakukan oleh Ahlu Halli wal ‘Aqdi atau Syaikhul Islam pada masa-masa tertentu.
Demikian juga apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW :
ثم تكون ملكا بعد ذلك
yang dimaksud di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara istilah yaitu pemerintahan, kekuasaan, bukan sistem kerajaan.
Hal ini menunjukkan bahwa Rasul SAW dalam sebagian riwayat menyebut mereka dengan umaro’ dan dalam riwayat yang lain disebut khulafa’ (para Kholifah –pent). Dalam riwayat Thabrani, Beliau bersabda:
سيكون من بعدي خلفاء ومن بعد الخلفاء أمراء ومن بعد الأمراء ملوك ومن بعد الملوك جبابرة ثم يخرج رجل من أهل بيتي يملأ الأرض عدلا كما ملئت جورا
Artinya: “Akan ada setelahku nanti para Khalifah, setelah Khalifah itu akan ada para umaro’, setelah umaro’ itu akan ada para raja, kemudian setelah itu para raja yang otoriter, kemudian akan ada dari kalangan ahli baitku yang akan memenuhi bumi ini dengan keadilan sebagaimana penuhnya penyimpangan” (HR. Al-Haitsami jilid 5\hal. 190 dalam Majma’ Az-Zawaid) .
Dalam riwayat Ibnu Hibban, beliau SAW bersabda:
سيكون بعدي خلفاء يعملون بما يعلمون ويفعلون ما يؤمرون وسيكون من بعدهم خلفاء يعملون بما لا يعلمون ويفعلون ما لا يؤمرون فمن أنكر برىء ومن أمسك سلم ولكن من رضي وتابع
Artinya: “Akan ada setelah para Khalifah yang mengerjakan dengan apa yang mereka ketahui dan mengerjakan apa yang mereka perintah. Setelah masa itu akan ada para Khalifah yang mengerjakan sesuatu dengan apa yang mereka tidak mengetahuinya dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepadanya. Maka siapa saja yang mengingkari perbuatan mereka akan terbebas, dan siapa saja yang menahan dirinya akan selamat, tetapi siapa saja yang ridha dan mengikuti akan selaka” (HR. Al-Haitsami jilid 1\hal. 374 dalam Mawarid Adz-Dzomman, jilid 7\hal. 270\Bab Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahi anil Munkar dalam Majma’ Az-Zawa’id; HR. Al-Baihaqi jilid 8\hal. 157 dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro) .

Hadits-hadits ini merupakan penjelas dari maksud sabda rasul SAW :
االخلافة ثلاثون سنة وسائرهم ملوك والخلفاء والملوك اثنا عشر
bahwa mereka itu mengerjakan sesuatu sebagaimana yang dikerjakan oleh para raja. Dan apa yang mereka kerjakan ini bukan dalam semua persoalan tetapi hanya sebagian persoalan saja. Seperti pembaiatan putra mahkota, bermegah-megahan dalam pemerintahannya seperti gelas, pakaian, hijab milik para Khalifah, dan sebagainya.
Tetapi yang dimaksud oleh rasul SAW bahwa sistem khilafah yang ada itu berjalan sebagaimana sistem kerajaan, dan para Khalifah berlaku sebagaimana para raja. Sehingga beliau menyebut mereka dengan sebutan umaro’ dan khalifah.
Adapun orang-orang yang oleh rasul SAW disebut sebagai raja yang otoriter, maka kondisi itu terjadi setelah masa para Khalifah itu berkuasa dan berakhirnya masa kekhilafahan. Inilah yang bisa difahami dari penggabungan dua hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Imam Ibnu Hibban diatas. Demikian juga telah diketahui dalam sejarah bahwa sistem Khilafah itu terus berlangsung, walaupun pernah terjadi kekosongan selama 3,5 tahun (ketika pusat daulah di Kota Baghdad kala itu –pent) dikuasai kaum Tartar. Dan sistem ini baru benar-benar hilang ketika Inggris bersama kaki tangan yang seorang Yahudi yaitu Musthafa Kamal telah bersepakat untuk menghancurkan sistem khilafah.
Tidak ada raja yang menduduki dan menggantikan posisi para Khalifah kecuali pada awal abad 20 ini; seperti raja Faishal bin Husain yang diangkat oleh Inggris untuk menjadi raja di Suriah pada tahun 1920 M., Winston T mencalonkannya juga untuk menduduki Irak pada tahun 1921 M. Demikian pula pencalonan Winston T terhadap Abdullah bin Husain untuk menjadi Amir di wilayah Yordania Timur pada tahun 1921 M, kemudian pada tahun 1936 M dia dipanggil dengan sebutan raja. Demikian juga raja Ahmad Fuad yang memerintah Mesir tahun 1917 M dibawah perlindungan Inggris dan diberi gelar raja pada tahun 1922 M setelah sebelumnya bergelar Sulthan. Kemudian digantikan oleh raja Farouq bin Fuad pada tahun 1936 M. Sebelumnya juga , Inggris telah mengangkat keluarga Sa’ud untuk menjadi penguasa Najed dan Hijaz. Dan raja yang pertama dari keluarga ini adalah Ali bin Husain yang dipilih untuk menjadi raja di Hijaz pada tahun 1925 M. Di Maroko juga ada raja Muhammad V pada tahun 1955 M, yang kemudian dilanjutkan oleh raja Hali Al-Hasan II pada tahun 1961 M yang mendapat dukungan Inggris. Demikian juga muncul di Libya raja Muhammad Idris As -Sanusi , kemudian dia mengumumkan bahwa Libya adalah negara kerajaan dan diwariskan pada tahun 1963 M dan dia juga mendapat dukungan dari Inggris. Demikianlah bahwa sebenarnya para raja itu tidak memegang tampuk kekuasaan di negeri kaum Muslim kecuali setelah daulah khilafah hancur bukan pada masa sebelumnya.
Sedangkan para penguasa otoriter itu telah nampak pada masa kita sekarang seperti para penguasa di Suria, Irak, Mesir, Libya, dan lain-lain yang mereka telah sepakat untuk menyusun kekuatan militer. Dan jadilah kekuasaan mereka bersifat kekuasaan militer yang memerintah kaum muslimin dengan kekuatan, teror, intimidasi, pemaksaan, penumpahkan darah, dan mengurusi urusan mereka berdasarkan pemahaman doktrin-doktrin militer yang menimbulkan ketakutan dan kesengsaraan dalam diri kaum Muslimin.
Semua kedzoliman itu akan hilang dengan munculnya khilafah yang baru di dunia Islam yang akan mengembalikan kemuliaan umat yang telah hilang karena bayang-bayang sistem militer yang menakutkan, serta akan menyelamatkan mereka dari kehinaan, teror yang ditimpakan oleh para penguasa otoriter itu atas mereka. Rasulullah SAW yang mulia telah memberi kabar gembira kepada kita dengan kembalinya kekhilafahan yang tegak dengan metode kenabian setelah masa-masa suram ini. Rasul SAW telah bersabda: "Kenabian akan ada pada diri kalian sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian masa otoriter akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan manhaj kenabian sesuai dengan yang dikehendakiNya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan Mulkan Adhan sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada pemerintahan otoriter sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan diangkat masa itu sesuai dengan yang dikehendaki-Nya, kemudian akan ada kekhilafahan yang sesuai dengan Manhaj Kenabian”. (HR. Imam Ahmad no. 17.680\ Musnad Kufiyin, hadis Marfu’ dalam Kitab Musnadnya). Dan ditambahkan lafadznya oleh Al-Hafidz Al-Bazzar rahimahullah …. “ Dimana Institusi ini akan menerapkan Sunnah kepada Umat manusia. Maka penghuni langit dan bumipun meridhoinya. Hingga tidak ada bagian dari langitpun yang tersisa selain diturunkan kepadanya. Dimana kenikmatan dan juga tanaman di bumi pun tidak tersisa kecuali dikeluarkan untuknya “. Dan tatkala hadis ini disampaikan oleh Ibn Nu’man (yaitu salah seorang perawi hadis ini) kepada Umar bin Abdul Aziz ra. maka Umar-pun ta’jub terhadapnya (yaitu hadis yang disampaikan oleh Ibn Nu’man) (HR. Al-Bazzar jilid 7\hal. 224 dalam kitab musnad Al-Bazzar)”.
Kemudian Syeikh Ishom Amirah dalam makalahnya yang beliau sampaikan di Univeristas An-Najah di kota Nablus --- Palestina tentang keruntuhan Daulah Khilafah sbb: “ Sungguh keruntuhan Daulah Khilafah telah membawa pada penolakan berbagai hukum Islam dan terhentinya banyak aktivitas yang dituntut untuk dilaksanakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sbb. :
وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم وحذرهم أن يفتنوك بما أنزل الله اليك
Artinya : “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu “ (Surat Al-Maidah - ayat 49). Hal ini saja sudah cukup untuk memberikan isyarat akan kemurkaan Allah SWT kepada kita, dan karenanya ia seakan-akan telah menyiapkan Malaikat Adzab untuk menyambar kita, serta menyiapkan neraka jahannam bagi tempat tinggal kita, karena banyaknya dosa yang telah kita lakukan. Disebabkan dengan keruntuhan Institusi ini telah membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkaran yang dilakukan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum muslimin itu sendiri. Orang-orang kafir itu mengusai dan menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Serta membunuh jiwa, menjarah harta kekayaan mereka dan merampas hak dan kehormatannya. Laksana binatang ternak yang disantap oleh srigala karena ia tidak dijaga oleh penggembalanya. Sedangkan kaum muslimin ditimpa oleh berbagai kerusakan karena tidak mau mengambil syariat Islam, seperti hukum Had, Qishos, Ta’zir dan lain sebagainya “. Oleh karena itu para Imam telah sepakat bahwa Imamah (Kholifah) adalah wajib, dan kaum muslimin harus memiliki seorang Imam menegakkan syiar-syiar agama dan melindungi orang-orang yang didzolimi. Dan tidak juga diperkenankan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam satu waktu mempunyai dua imam (Lihat Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah jilid 5\hal. 416). Lalu Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menambahkan sbb :
يجب أن يعرف أن ولاية ألامر الناس من أعظم واجبات الدين لا قيام الدين الا بها
Artinya: “Wajib diketahui bahwa hal memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pengaturan urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama tidak akan tegak kecuali dengannya yaitu institusi Islam yang dipimpin oleh seorang kholifah “ (Lihat kitab Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 160-161 dan Majmu Al-Fatawa jilid 28\hal. 320).Oleh karena itu kami menyerukan kepada kaum muslimin seluruhnya untuk bersegera menyongsong masa depan yang lebih baik, dengan terlibat dalam aktifitas untuk mewujudkan kehidupan Islam dibawah naungan Daulah Al-Islamiyah yang akan segera tegak dalam waktu dekat dengan Izin serta pertolongan dari Allah SWT. Wallahu a’lam bi showab .
Kemudian Syeikh Ishom Amirah dalam makalahnya yang beliau sampaikan di Univeristas An-Najah di kota Nablus --- Palestina tentang keruntuhan Daulah Khilafah sbb: “ Sungguh keruntuhan Daulah Khilafah telah membawa pada penolakan berbagai hukum Islam dan terhentinya banyak aktivitas yang dituntut untuk dilaksanakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan firman Allah SWT sbb. :
وأن احكم بينهم بما أنزل الله ولا تتبع أهواءهم وحذرهم أن يفتنوك بما أنزل الله اليك
Artinya : “ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah engkau terhadap fitnah mereka yang hendak memalingkan engkau dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu “ (Surat Al-Maidah - ayat 49).
Hal ini saja sudah cukup untuk memberikan isyarat akan kemurkaan Allah SWT kepada kita, dan karenanya ia seakan-akan telah menyiapkan Malaikat Adzab untuk menyambar kita, serta menyiapkan neraka jahannam bagi tempat tinggal kita, karena banyaknya dosa yang telah kita lakukan. Disebabkan dengan keruntuhan Institusi ini telah membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkaran yang dilakukan baik oleh orang-orang kafir maupun kaum muslimin itu sendiri. Orang-orang kafir itu mengusai dan menjajah negeri-negeri kaum muslimin. Serta membunuh jiwa, menjarah harta kekayaan mereka dan merampas hak dan kehormatannya. Laksana binatang ternak yang disantap oleh srigala karena ia tidak dijaga oleh penggembalanya. Sedangkan kaum muslimin ditimpa oleh berbagai kerusakan karena tidak mau mengambil syariat Islam, seperti hukum Had, Qishos, Ta’zir dan lain sebagainya “. Oleh karena itu Syeikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah menegaskan sbb :
يجب أن يعرف أن ولاية ألامر الناس من أعظم واجبات الدين لا قيام الدين الا بها
Artinya: “Wajib diketahui bahwa hal memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pengaturan urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling besar, bahkan agama tidak akan tegak kecuali dengannya yaitu institusi Islam yang dipimpin oleh seorang kholifah “(Lihat kitab Siyasah Asy-Syar’iyah hal. 160-161 dan Majmu Al-Fatawa jilid 28\hal. 320).
Kami menyerukan kepada kaum muslimin seluruhnya untuk menjadi bagian aktif dari proses perubahan untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang Islami yang sangat kita damba-dambakan. Karena terbukti sistem selain Islam telah gagal untuk mengatasi krisis di negeri ini, dan sudah tiba saatnya bagi Islam dan Umat Islam untuk mengambil peran dalam menyelamatkan bangsa ini dari kehancurannya dengan penerapan Syariat Islam . Maka tidak ada kemuliaan bagi umat Islam kecuali mentaati Allah SWT, dengan berjuang sepenuh tenaga bersama kelompok-kelompok pejuang Islam di seluruh penjuru dunia untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam melalui penerapan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam salah satu firman-Nya sbb:
عن قتادة قوله--- )من كان يريد العزة فلله العزة جميعا اليه( --- يقول فليتعزز بطاعة الله
Artinya : “Barang siapa menghendaki kemulian maka bagi Allah-lah segala kemuliaan” (Surat Al-Fathir – ayat 10) . Imam Qotodah ra. menjelaskan maksud dari ayat ini bahwa maka dapatkan kemuliaan dengan mentaati Allah SWT (Tafsir Thobari\jilid 22\hal. 120).
Dan takutlah anda sekalian dengan adzab Allah SWT yang sangat pedih diakhirat kelak seandainya anda berada dalam kelompok orang yang menolak syari’atnya. Allah SWT telah berfirman sbb:
ومن أعرض عن ذكري فإن له معيشة ضنكا ونحشره يوم القيامة أعمى
ِArtinya : “Barang siapa berpaling dari peringatan kami maka baginya kehidupan yang sempit dan kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta “.
1- Ibn Abbas dan Mujahid ra. tentang (kehidupan yang sempit) adalah kehidupan yang susah\sempit dan penuh kemalangan ( ( ضيقة و الشقاء dan Abi Sa’id Al-Khudri menambahkan : baginya adzab kubur (عذاب القبر).
2- Imam Abi Sholih rahimahullah menjelaskan maksud (dari kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta) adalah kami akan membangkitkannya pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah (ليس له حجة) (Tafsir Thobari\jilid 16\hal. 226-230) .

Maka yakinlah anda sekalian dengan pertolongan Allah SWT bagi hamba-hambanya yang mau menolong agamanya, seperti telah ia janjikan dalam sebuah firman-Nya :
( يا أيها الذين آمنوا إن تنصروا لله ينصركم ) --الآية --إنا لننصر رسلنا والذين آمنوا في الحياة الدنيا ويوم يقوم الأشهاد ثم يوم لا ينفع الظالمين معذرتهم ولهم اللعنة ولهم سوء الدار
Yang artinya: “ Al-Hafidz Abu Fida’ Ibn Katsier ra. menjelaskan maksud dari firman Allah SWT ini : Kami akan menolong risalah kami (yaitu Al-Islam) dan juga orang-orang beriman dalam kehidupan dunia dan pada kehidupan di hari kiamat, dimana tidak diterima udzur dari orang-orang yang dzalim dan bagi mereka laknat dan tempat kembali yang buruk (Tafsier Ibn Katsier jilid 1\hal. 432) . Kalau demikian faktanya wahai kaum muslimin bersegeralah kalian untuk menyongsong masa depan kalian dengan mewujudkan kehidupan Islam dibawah naungan Daulah Al-Islamiyah yang akan segera tegak dalam waktu dekat dengan Izin serta pertolongan dari Allah SWT. Wallahu a’lam bi showab .

baca selanjutnya..

BAHTERA DAKWAH SALAFIYYAH DI LAUTAN INDONESIA

Disusun Oleh: Muhammad Arifin Badri, Lc, MA
(Alumni S-2 Universitas Islam Madinah, KSA dan Mahasiswa S-3 Universitas
Islam Madinah, KSA)


 
Alhamdulillah, washsholatu wasallamu `alaa asyrofil anbiyaai nabiyyinaa
muhammadin wa `alaa aalihi wa ashhaabihi ...

Adalah sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu
mengevaluasi setiap perbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna
mengembangkan keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari
kita selalu bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan
pada kesempatan ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan
dengan dakwah salafiyyah di Indonesia untuk sedikit menoleh ke belakang,
guna menilik kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah
ini.
Umar bin Khaththab pernah berkata: Artinya: bermuhasabahlah (intropeksi
dirilah) sebelum kalian dihisab. (HR. At tirmidzi dan Ibnu Syaibah)

Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak untuk bersama-sama kita
lakukan, karena saya merasa, dan setiap orang telah merasakan adanya
berbagai aral dan berbagai badai yang sedang menerpa bahtera dakwah ini.


Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa,
bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan
tenggelam.

Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh
Rasulullah Shollollohu `Alaihi Wa sallam bahtera dakwah ini tatkala
beliau bersabda:
Artinya: Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan
(syariat) Allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum
yang berbagi-bagi tempat di sebuah kapal / bahtera, sehingga sebagian
dari mereka ada yang mendapatkan bagian atas kapal tersebut, dan
sebagian lainnya mendapatkan bagian bawahnya, sehingga yang berada
dibagian bawah kapal bila mengambil air, maka pasti melewati orang-orang
yang berada diatas mereka, kemudian mereka berkata: seandainya kita
melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya kita tidak akan mengganggu
orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila mereka semua membiarkan
orang-orang tersebut melaksanakan keinginnanya, niscaya mereka semua
akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang tersebut, niscaya
mereka telah menyelamatkan orang-orang tersebut, dan mereka semuapun
akan selamat. (HR Bukhori)

Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negri kita, kita
akan melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut
hemat saya, ada enam permasalahan yang sepatutnya kita pikirkan bersama,
kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam
permasalahan tersebut adalah:
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar.
2. Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri.
3. Kedudukan uang transport bagi seorang da'i.
4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran) yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama'ah.
5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan.
6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para
ulama'.
Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan tersebut
satu demi satu:
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar
Bila kita membaca nasehat-nasehat para ulama' -baik ulama'- terdahulu
maupun ulama' zaman sekarang- dalam perihal menuntut ilmu, maka kita
akan dapatkan mereka menganjurkan kita untuk memulai mempelajari
ilmu-ilmu yang paling penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang
kurang penting dan seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin
berhasil dalam menuntut ilmu, maka dengan ilmu itulah ia memulai
belajar.
Dan setelah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus
bisa memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu tersebut, sehingga ia
harus mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu tersebut, sebelum ia
mempelajari hal-hal lainnya.
Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim,
adalah ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan
ketika kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu,
dari bagian ilmu tauhid yang mana kita harus memulai? Apakah kita mulai
dari mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid
rububiyyah, atau tauhid asma' wa shifat? Mungkin ada yang berkata:
Bagaimana, saya bisa melakukan hal ini, sedangkan saya adalah pemula
atau orang awam, yang belum tahu apa-apa ?
Nah... inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai
tholibul ilmi pemula, terlebih-lebih masyarakat awam, tentunya ia tidak
akan mampu melakukan hal ini sendiri, oleh karena itu, disini datanglah
peran para asatidzah dab du'at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan
membimbing murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan
kemampuannya. Nah... kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak
dilalaikan oleh para asatidzah dan du'at-du'at kita, sehingga terjadilah
kekacauan, dan berbagai fitnah di masyarakat.
Artinya: Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang
mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya
didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan
Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al Baghdady dalam
kitab Al Jami', keduanya dengan menyebutkan sanadnya)
Sebagai contoh nyata: Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi
muqabalah (test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami'ah Al
Islamiyyah), berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah
pesantren, lalu beberapa asatidzah -termasuk saya sendiri- menghubungi
beberapa syekh yang sedang menjalankan test muqobalah tersebut, guna
memohon agar sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren tersebut diatas
dan kemudian menguji ke 50 thullab tersebut. Alhamdulillah, salah
seorang syekh yang ada kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh
tersebut bernama:"Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil" (Penulis
buku Manhaj dan Aqidah
Imam Syafi'iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'I). Dan ketika
beliau sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung
mengetest / menguji ke-50 thullab, satu demi satu. Dan diantara
pertanyaan yang beliau lontarkan kepada mereka:"Sebutkan rukun-rukun
sholat?"

Sangat memalukan, dari ke 50 orang tersebut, tidak satupun yang berhasil
memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan ada
salah satu dari mereka yang memeberanikan diri untuk menjawab, dan
berkata :"Diantara rukun sholat adalah berwudhu sebelumnya".

 Lalu syekh tersebut bertanya kepada salah seorang mereka: "Siapakah yang
lebih kafir, ahlul bid'ah ataukah yahudi ?" maka dengan sekonyong-konyong
orang tersebut berkata: Ahlul bid'ah lebih kafir dibanding yahudi.
Tatkala syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban tersebut,
beliau terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat
memalukan ini dan berkata: "Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj
salaf?! Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!

Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah
seorang ustadz yang berceramah dan berkata: "Sesungguhnya Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang
sururiyyin, sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan
yang rumit".

Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz tersebut, apakah
pertanyaan tentang rukun sholat rumit ? Apakah tidak ada yang tahu bahwa
yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid'ah banyak dari mereka
tidak sampai kepada kekufuran ?!?!?!

Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara masyarakat
dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan
diluar masjid, iqomah tanpa menggunakan pengeras suara, menentukan
waktu-waktu shalat dengan menggunakan matahari, mengenakan pakaian gamis
di lingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.

Contoh lain: Setiap kali sampai ke Indonesia sebuah kitab baru, terutama
yang ditulis oleh ulama'-ulama' zaman sekarang, seperti Syekh Rabi' bin
Hadi Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya,
kita langsung ramai-ramai membacakan kitab tersebut, dan marak diadakan
dauroh-dauroh membahas kitab tersebut, dan tatkala ada kitab baru lagi,
maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab tersebut, dan begitulah
seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab tersebut,
akan tetapi, sistematis dalam belajar dan mengajar harus tetap dijaga.

Contoh lain: Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da'i yang
sedang ditahdsir, maka di setiap kota, dan setiap majlis, pembicaraan
dan materi kajiannyapun berhubungan dengan ustadz tersebut, baik yang
pro ataupun kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan tersebut, dan
melalaikan ilmu.

Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang
diombang-ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka ke sanalah
buih menuju. Oleh karena itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk
dari cara pendidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana
lemahnya buih lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian.

Sebagai wujud lain dari permasalahan ini adalah: Sering kali kita merasa
cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak mengenal
hakikat.

Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat
islam ini, adalah merupakan istilah syar'i, sehingga defiinisi dan
maknanya-pun harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat
islam, tidak cukup untuk dipahami secara bahasa.

Sebagai contoh: kata "sholat" secara bahasa kata ini bermakna "doa",
akan tetapi dalam syariat kata tersebut memiliki definisi lain, sehingga
kalau kita membaca ayat atau hadits yang menyebutkan kata "sholat", maka
kita fahami secara istilah syariat, bukan secara bahasa. Begitu juga
halnya dengan istilah -istilah syariat lainnya, kecuali kalau ada dalil
yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata "sholat" di situ adalah
makna secara bahasa, bukan secara syariat.

Nah... sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai
istilah dalam syariat, akan tetapi yang menjadi permasalahan, apakah
kita sudah mengenal makna istilah tersebut secara syariat, sebagaimana
kita mengenal definisi kata "sholat", lengkap dengan mengenal syarat,
rukun, wajibat, dan sunnah-sunnahnya ? Untuk lebih jelasnya, kita kenal
kata "tasyabbuh", apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini
dengan benar, syarat-syarat, rukun-rukun, dan hukumnya ? Atau kita baru
tahu namanya saja? Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits
berikut ini:

Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata: "Tatkala
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam hendak menuliskan surat ke
romawi, (para sahabat berkata kepada beliau): Sesungguhnya orang-orang
Romawi tidak mau membaca surat, kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah
Shalllallahu 'Alaihi Wassalam membuat stempel dari perak". (HR Bukhori
dan Muslim)

Bukankah Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam dalam kisah ini meniru
kebiasaan orang-orang kafir? Bukankah ini tasyabbuh? Ini menunjukkan
bahwa tidak semua perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli
bid'ah diharamkan, akan tetapi ada beberapa kriteria / syarat (tasyabuh)
yang harus diperhatikan, diantaranya:

1. Perbuatan tersebut merupakan ciri khas mereka.
2. Perbuatan tersebut tidak mendatangkan manfaat.
3. Adanya niat meniru, berdasarkan hadits (Innal a'malu binniyaati /
sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat...)

Sebagai contioh lain: Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang,
berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, adalah
dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang
mengharamkannya hal-hal tersebut dengan alasan tasyabbuh ?

Yang lebih memilukan adalah nasib istilah "manhaj salaf", betapa sering
kita mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan
berdakwah sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik
bertanya kepada diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj
salaf, bagaimana rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam
manhaj salaf, sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami
manhaj salaf...dst ?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang -menurut hemat saya- sampai
saat ini di negeri kita Indonesia, belum mendapatkan jawaban dan
penjelasan yang semestinya. Oleh karena itu, setiap kali kita mengenal
atau mendengar sebuah nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya
kita jangan merasa puas, sebelum mengenal dan memahami segala
permasalahan yang berhubungan dengan istilah tersebut. Dengan cara kita
tanyakan kepada para `ulama atau kita baca kitab-kitab yang menjelaskan
istilah tersebut hingga tuntas.
 

Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini: adalah sikap
meremehkan peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
berbagai ilmu syariat.

Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang
menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul
fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu
ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata: "Yang
penting bagi kita adalah mengetahui, bahwa amalan tersebut diamalkan
oleh Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam, maka kita amalkan, tidak
perlu tahu, apakah hal tersebut merupakan syarat, rukun, atau wajib,
atau sunnah dalam suatu sebuah ibadah.

Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang
mengaku dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang
tersebut adalah seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih
memilukan lagi bila ternyata yang mengucapkan itu adalah seorang yang
menyandang gelar (Lc) yang ia peroleh dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di
Madinah Munawwarah.

Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan: Artinya: Barangsiapa
yang tidak memperoleh hal-hal yangh prinsip, maka dia tidak akan
mencapai ilmu.

Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang
mengatakan ungkapan ini: "Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang
berhasil menjadi ulama', tanpa mempelajari ilmu-ilmu tersebut ?"

Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi setelah
saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang
tersebut, rasa heran saya menjadi sirna, hal ini dikarenakan saya
berkesimpulan, bahwa orang-orang tersebut hanya ingin menutupi ketidak
pahamannya tentang ilmu-ilmu tersebut.

Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu
tersebut, dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan
sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi
kita semua.

Ahlis sunnah wal jama'ah telah sepakat dalam mendefinisikan "iman",
bahwa iman adalah keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota
badan.

Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu
yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama (apabila ilmu
tentang hal tersebut telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima
waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll), maka dihukumi telah
kafir (keluar dari agama islam), walaupun ia masih tetap menjalankan
sholat, puasa, mandi janabah dll.

Imam An Nawawi berkata: "Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah
menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang
kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus
dan orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka
tidak diberikan uzur bagi siapapun, karena sebuah alasan yang ia
pegangi, untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan
orang yang mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin
dari urusan agama, apabila ilmu tentang hal tersebut telah menyebar,
seperti halnya sholat lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah,
haramnya zina, khomer, menikahi mahram dan hukum-hukum yang serupa,
(kecuali orang yang baru masuk Islam dan tidak mengetahui norma-norma
agama islam), maka bila orang seperti ini mengingkari salah satu dari
hal-hal tersebut, karena kebodohannya tentang hal tersebut, ia tidak
kafir." (Syarah Shohih Muslim 1/250)

Ibnu Taimiyyah berkata: "Sesungguhnya beriman dengan wajibnya
kewajiban-kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang dan
haramnya hal-hal yang diharamkan telah jelas dan diketahui oleh setiap
orang adalah salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah
satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah
disepakati akan kekafirannya". (Majmu' Fatawa 12/496)

Oleh karena itu, orang yang menjalankan sholat -misalnya- dengan
sempurna, akan tetapi ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram adalah
rukun, maka sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram.
Dan barangsiapa yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum shalat,
maka sholatnya tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelum sholat.
Inilah salah satu wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah
Wal Jama'ah. Untuk lebih jelas lagi. Silahkan baca buku-buku fiqih yang
yang menjelaskan syarat- syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.

 
2. Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri
Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam bersabda: Artinya: Tidaklah
salah seorang dari kalian dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai
untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori
dan Muslimah)


Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan
pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam
bergaul dan bermasyarakat, yaitu: sebelum kita mengucapkan perkataan
atau bersilap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada
hati nurani kita sendiri "apakah saya suka bila diperlakukan dengan
perlakuan yang akan saya lakukan ini?" Bila jawabannya adalah "Ya, saya
suka", maka silahkan untuk dilakukan, dan bila ternyata jawabannya
adalah "Tidak", maka jangan lakukan hal tersebut. Betapa indahnya
pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya.

Seandainya para da'i, dan ustadz yang ada di negeri kita, -terutama mrk
yang mengaku bermanhaj salaf- mengamalkan prinsip ini, saya yakin,
banyak permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya.

Akan tetapi kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan.
Sebagai contoh: Yayasan "AL HARAMAIN" yang ada dikota Riyadh, dalam
beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang lulus
dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah -tanpa terkecuali-, sumbangan
berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada
kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya
sumbangan tersebut dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal,
dan kadang 500 reyal.

Nah... Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan
berkata, kalo demikian... alumni jami'ah yang sekarang sudah malang
melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain, juga menerima
sumbangan tersebut ???!! Maka jawaban pertanyaan ini -dan saya tahu
sendiri- adalah: "Ya, mereka menerima itu semua dengan kedua tangan
terbuka, dan tanpa sedikit ada keragu-raguan".

Pasa beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami'ah -yang sekarang
ini dengan lantang mentahdzir setiap orang yang menerima sumbangan dari
yayasan Al Haramain- setelah menerima sumbangan sebesar: 1.000 Reyal,
mereka ditanya oleh salah seorang kawan: Kenapa kok mau menerima
sumbangan tersebut, bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan
sangat lugu berkata: "Lho...kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain".

Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, karena sumbangan macam ini
sudah berjalan beberapa periode sebelumnya. Dan yang mengherankan pula,
setelah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu berasal dari Al Haramain,
keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi sumbangan tersebut, dengan
harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang jatuh dari sakunya.

Contoh lain: Pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin Indonesia di Al
Jami'ah Al Islamiyyah, mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal
pengiriman kitab ke negara mereka Indonesia, yaitu dengan dikirimkan
secara kolektif dengan menggunakan kontainer (ini adalah awal pengiriman
kitab dengan cara ini di Al Jami'ah Al Islamiyyah). Pengiriman tersebut
didanai oleh Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkas-kan di negara Kuwait.


Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami'ah Al
Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan Yayasan
Ihya `ut Turots: "Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri
antum; karena telah menerima sumbangan dari Al Haramain dan Ihya'ut
Turots ? Apakah Al Haramain & Ihya' at Turots menjadi yayasan salafy,
bila yang menerima sumbangan adalah antum sendiri, dan menjadi yayasan
kholafy / surury, bila yang menerima adalah anak-anak yatim, atau orang
selain antum ??! Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?"

Contoh lain: Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada
salah seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat
untuk bertanya akan hukum hal ini kepada Syekh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan, maka fatwa syekh tersebut, lenyap entah kemana....,
Saya tidak tahu, apakah fatwa tersebut telah ditelan bumi, atau ditelan
ambisi.

Oleh karena itu -menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri
sendiri adalah penting perannya dalam kehidupan seorang muslim.

Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam'an, beliau berkata: Aku
pernah bertanya kepada Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wassalam tentang
Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm (perbuatan dosa), maka beliau
bersabda:"Al Birru adalah akhlaq / budi pekerti yang baik, dan Al Itsmu
adalah segala yang engkau merasakan adanya kejanggalan dan keragu-raguan
dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa tidak suka bila diketahui oleh
orang lain. (HR. Muslim)

3. Kedudukan uang transportasi bagi seorang da'i
Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya
yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama Islam, yaitu
keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan
balasan bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta'ala. Pada
kesempatan ini, saya tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas;
karena hal itu sudah diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam
kesempatan ini, adalah ajakan kepada seluruh du'at dan asatidzah, agar
mengkaji ulang hukum kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah kita, yaitu
kebiasaan menerima uang transportasi.

Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi,
apakah uang transportasi yang kita terima, setelah kita memberikan
pengajian/ ceramah/ dauroh dll, benar-benar uang transportasi ? Ataukah
uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat ganda ? dan menurut
yang saya ketahui- alternatif terakhir inilah yang terjadi, Uang
transportasi pulang pergi yang seharusnya hanya- misalnya Rp. 50.000,-
akan tetapi amplop yang diterima berisikan- minimal Rp. 100.000,-

Hal kedua yang harus kita kaji ulang adalah hukum menerima uang
tersebut, sebab para ulama' semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat
dalam menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang
memakruhkan, dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah
yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani
rahimahullah.

Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa
ustadz yang- Alhamdulillah -telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren,
dan -Alhamdulillah pula- telah memiliki santri yang cukup banyak, lebih
mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren
-terlebih-lebih undangan dari luar kota- dibandingkan mengajar di
pesantren yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering
tidak mendapatkan pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz tersebut, bila
sudah keluar kota untuk berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrenya,
kecuali bla sudah kecapekan, dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh
sakit.

Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban
mengajar diesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota?
Bukankah para santri telah -walaupun sedikit- membayar SPP, sehingga
telah menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah
dicanangkan oleh pesantren ?

Lalu, apakah yang memotivasi ustadz tersebut untuk keluar kota? Bukankah
keluar kota lebih melelahkan? Membutuhkan transportasi? Bukankah
kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua ? Yaitu mengajar di
pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah di masyarakat sekitar
lokasi pesantren ?

Diantara kisah yang sampai kepada saya: Bahwa daerah-daerah yang
masyakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf)
berperekonomian / berpenghasilan rendah / tidak memiliki donatur yang
kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di
tempat-tempat tersebut, terlebih-lebih pengajian rutin.

Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A)
bermusuhan dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan
berbagai alasan. Pada suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A)
-dikarenakan beberapa hal- menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan
menghadiri pengajian Ustadz (A), maka Ustadz (A) berang seakan sedang
kebakaran kumis, lalu mengatakan bahwa Ustadz (B) telah mencuri
muridnya. Usut punya usut, ternyata dahulunya anak murid tersebut
biasanya selalu memberikan sumbangan kepada Ustadz (A), dan setelah
menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi mengucurkan sumbangan
tersebut.

4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh
(aliran-aliran) yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal
dakwah salaf, manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang
memiliki manhaj yang bersebrangan dengan manhaj salaf. Ada dari kita
yang dahulunya seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula
yang sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang
mu'tazili dll.


 

Hal ini adalah kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain
agar kita bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta'ala, yang telah memberi
hidayah kepada kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita
selalu berhati-hati, dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap
kita, jangan sampai pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih
terpengaruh dengan pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan
firqoh-firqoh tersebut.

Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih
sabar dan bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, karena
kita akan selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu -karena
kebodohan- saya juga telah berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa
iba, dan kasihan terhadap orang tersebut, akibatnya, kita akan lebih
gigih untuk menjalankan segala daya dan upaya agar orang tersebut bisa
mendapatkan hidayah, sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah. Marilah
kita renungkan bersama ayat berikut:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan
Allah, maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kpdmu: "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,
karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu
dahulu, lalu Allah menganugerahkan ni'mat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. An
Nisaa': 94)


 
Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin -ketika dalam keadaan
peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh, yang menampakkan
keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin: "Engkau
bukanlah seorang muslim, engkau mengucapkan salam hanya sekedar takut
dibunuh" lalu dibunuh, karena sangat dimungkinkan bahwa orang tersebut
adalah orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk
menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan orang-orang
Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana didapatkan dari
mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan tetapi takut untuk
menampakkan keislamannya.

Nah...pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da'i, dan ustadz,
bahwasannya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah
pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih
lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih
bila terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran.

 

5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan

Allah Ta'ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran,
masing-masing kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang
berbeda-beda, ini adalah sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan
harus selalu kita ingat, tatkala kita berbicara dengan orang lain.

 Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit
penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal tersebut. Akan
tetapi, ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali,
baru akan bisa memahami apa yang kita inginkan. Bahkan ada orang yang
tidak bisa memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah
berpuluh-puluh kali, akan tetapi, bila ia mendengarkan penjelasan dari
orang lain, dengan cara lain, ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa
yang kita maksudkan.

Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain,
kecuali setelah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal
pikiran, maka begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat
kita, sampai seluruh pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal
pikirannya terjawab dengan tuntas. Hal ini sering kita lalaikan,
sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa memperdulikan pendapat
dan alasan kita.


Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini,
sehingga tatkala orang lain tidak atau blm bisa menerima pendapat kita
maka... mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya
berkobarlah api amarah, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari
klaim: "Keras kepala, aqlani, menolak hadits, ...hingga vonis mubtadi'."


 

Sebagai contoh: Sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir
ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz tersebut telah dinasehati, dan
tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang
belum tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan
pendapatnya dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan
dengan gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang
mungkin saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah
didengar dan dibaca, belum tentu ustadz tersebut memahaminya dengan
baik.

Oleh karena itu, saya mengajak para da'i, dan asatidzah untuk lebih
banyak belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara
berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara
mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan
banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan
ahlul bid'ah.

6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur'an dan As Sunnah
tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan
perantara penjelsan dan penafsiran para ulama'. Merekalah yang yang
mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang
telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.

Oleh karena itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman,
agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran
dan As Sunnah, yaitu:
1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai dengan
pemahaman salafush sholih.

2. Pemahaman yang benar dan sempurna thd kasus dan permasalahan yang
hendak ia hukumi.

Bila seorang ulama telah memiliki kedua jenis pemahaman tersebut, maka
-Insya Allah- fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan tetapi,
bila salah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi
kesalahpahaman padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik
dan benar.

Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki
pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang
pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang
akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak
paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter.
Sehingga jatuhlah korban karenanya. Bahkan menurut beliau, bahaya
seorang yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa
paham terhadap realita yang ada pada zamannya, adalah lebih besar
dibanding dokter gadungan tersebut, karena kesalahan yang ia timbulkan
ada hubungannya dengan nasib manusia di akhirat.

 
Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da'i,
dan asatidzah, agar extra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa
atau sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan
masyarakat kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa
tersebut?

Sebagai contoh nyata; Ada dari kalangan ulama' salaf yang menegaskan:
bahwa lebih baik bertetangga dengan kera-kera dan babi, dibanding
bertetangga atau duduk dengan dengan ahlul bid'ah. Seharusnya sebelum
kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah masyarakat kita
sama dengan masyarakat ulama tersebut, masyarakat yang mayoritasnya
memahami manhaj salaf ?

Contoh lain: Para ulama telah sepakat, bahwa: Barangsiapa yang
menyatakan Al quran adalah makhluk, maka ia kafir. Nah...apakah setiap
orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan tersebut,
langsung kita hukumi sebagai orang kafir??

Imam Ahmad (beliau langsung menghadapi fitnah tentang hal ini) tatkala
mengetahui bahwa Al Makmum (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan
bahwa Al Quran adalah makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang
ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan tetapi Imam Ahmad
tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad malah
berkata: "Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do'a yang
mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan pemimpin
kaum muslimin (kholifah)".

Contoh lain: Beberapa bulan yang lalu, Syekh Muhammad bin Hadi Al
Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon
kepada asatidzah di Indonesia. Pada hari dan waktu yang telah
disepakati, beliau menyampaikan tausiyyahnya, dan setelah selesai, maka
beliau memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang
sebelumnya telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan
adalah berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid'ah, maka
beliau berfatwa: "Tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid'ah", tentunya
dengan berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.

Setelah acara tersebut selesai, fatwa tersebut langsung diterapkan oleh
beberapa glintir ustadz, yaitu dengan menunjukkan kepada salah seorang
ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala
ustadz tersebut tidak menuruti apa yang mereka inginkan, mulailah mereka
mengeluarkan senjata pemungkas, yaitu tahdzir dan hajr, bahkan bukan
hanya itu saja, ustadz tersebut juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan
SD itu yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah.

Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan
saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan:
bahwa penjelasan saya tersebut, adalah hukum yang bersifat umum, tidak
boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. Karena menerapkan hukum
kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tata cara tersendiri.
Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan
mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz tersebut.

Apalagi, setelah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang
terjadi akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata: Semoga Allah
tidak memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka.

 
Sikap ini -sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan,
bila ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka
ustadz pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua
tersebut, yaitu dengan cara menelpon salah seorang syekh, kemudian
ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh tersebut
memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi
pada kisah yang lalu. Dan setelah ia mendapatkan jawaban yang ia
inginkan, ia langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang
ustadz yang tidak ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.

Oleh karena itu para ulama telah meletakkan sebuah qaidah yang
berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus
tertentu, yaitu "Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar'i,
sesuai dengan perubahan adat atau keadaan pada orang tersebut".

 Oleh karena itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama salaf dalam
berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala,
bak katak dalam tempurung.

Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah menimbulkan
berbagai fitnah di negri kita. Dan akhir tulisan ini, saya ingin
menekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga
saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan
alasan serta dalil, bahkan saya sangat mengharapkan kritikan dan saran
dari kawan-kawan demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah di
negri kita.

baca selanjutnya..

Jumat, 03 April 2009

DEMOKRASI SISTEM KUFUR HARAM MENGAMBILNYA, MENYEBARLUASKANNYA, DAN MENERAPKANNYA

"Hai orang-orang yang beriman, ta‘atilah Allah dan ta‘atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu"

(QS. an-Nisa [4]: 89-91)



Demokrasi, yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam, sesungguhnya merupakan sistem kufur; tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara global (garis besar) maupun secara partikular (rinci). Kontra-diksi demokrasi dengan Islam tampak dalam sumber kemun-culannya, akidah yang melahirkannya, asas yang menda-sarinya, serta dalam berbagai ide dan aturan yang dihasil-kannya. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil—apalagi menerapkan dan menye-barluaskan—demokrasi.

****

Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang dibuat oleh manusia dalam rangka “membebaskan manusia” dari kezaliman dan penindasan para penguasa atas nama agama. Demokrasi adalah suatu sistem yang bersumber dari manusia dan tidak ada hubungannya dengan wahyu atau agama.
Demokrasi lahir dilatarbelakangi oleh keberadaan para penguasa di Eropa yang mengklaim bahwa seorang pe-nguasa adalah wakil Tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat berdasarkan kekuasaan-Nya. Mereka beranggapan bahwa Tuhan telah memberi mereka kewenangan untuk membuat hukum sekaligus menerapkannya. Dengan kata lain, seorang penguasa dianggap memiliki kewenangan mutlak untuk memerintah rakyat dengan pera-turan yang dibuatnya sendiri, karena kekuasaan mereka berpijak pada kekuasaan yang bersumber dari Tuhan, bukan dari rakyat. Akibatnya, mereka secara leluasa menzalimi dan menguasai rakyat—sebagaimana halnya pemilik budak secara leluasa menguasai budaknya—atas nama anggapan yang mereka dakwakan.
Pada gilirannya, timbullah pergolakan dan konflik antara para penguasa Eropa dengan rakyatnya. Keadaan semacam ini membangkitkan kesadaran para filosof dan pemikir. Mereka mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat, yaitu sistem demokrasi. Sistem ini menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekua-saannya dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat dipandang sebagai pemilik kehendak yang melaksanakan sendiri kehendaknya dan menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Artinya, tidak ada satu kekuasaan pun yang berkuasa atas rakyat, karena rakyat itu sendiri ibarat pemilik budak. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan yang akan mereka terapkan serta menjalankannya sesuai dengan keinginannya. Rakyat pula yang berhak mengangkat pe-nguasa—dalam posisinya sebagai wakil mereka—untuk me-merintah mereka dengan peraturan yang juga dibuat oleh mereka.
Walhasil, sumber kemunculan sistem demokrasi selu-ruhnya adalah manusia, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan wahyu atau agama.

***

Demokrasi merupakan kata dan istilah Barat yang digunakan untuk menunjukkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Rakyat dianggap sebagai penguasa mutlak dan pemilik kedaulatan. Rakyat berhak mengatur sendiri urusannya serta melaksanakan dan menjalankan sendiri kehendaknya. Rakyat tidak bertanggung jawab pada kekuasaan siapa pun selain kepada dirinya sendiri. Rakyat berhak membuat sendiri peraturan dan undang-undang—karena mereka adalah pemilik kedaulatan—melalui para wakil mereka yang mereka pilih. Rakyat berhak pula menerapkan peraturan dan undang-undang yang telah mereka buat itu melalui tangan para penguasa dan hakim yang mereka pilih. Keduanya mengambil-alih kekuasaan dari rakyat karena rakyat adalah sumber kekuasaan. Setiap individu rakyat, sebagaimana individu lainnya, berhak menyelenggarakan pemerintahan negara, mengangkat penguasa, serta membuat peraturan dan undang-undang.
Menurut konsep dasar demokrasi, yaitu pemerintahan yang diatur sendiri oleh rakyat, seluruh rakyat harus ber-kumpul di suatu tempat umum. Mereka kemudian membuat peraturan dan undang-undang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta memberikan keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan.
Namun demikian, karena seluruh rakyat tidak mungkin dikumpulkan di satu tempat hingga masing-masing memerankan diri sebagai “lembaga” legislatif, maka mereka kemudian memilih para wakilnya, sehingga para wakil inilah yang menduduki lembaga legislatif. Lembaga inilah yang disebut dengan dewan perwakilan. Dalam sistem demokrasi, dewan perwakilan diklaim merupakan representasi dari kehendak umum rakyat, dan sekaligus merupakan penjel-maan politis dari kehendak umum mayoritas rakyat. Dewan ini kemudian memilih pemerintah dan kepala negara yang akan menjadi penguasa sekaligus wakil rakyat dalam pelaksanaan kehendak umum rakyat. Kepala negara mengambil kekuasaan dari rakyat yang telah memilihnya. Ia lantas memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang yang dibuat atas nama rakyat. Walhasil, rakyatlah yang memiliki kekuasaan secara mutlak; rakyatlah yang berhak menetapkan undang-undang; dan rakyat pula yang memilih penguasa yang akan melaksanakan undang-undang tersebut.
Selanjutnya, agar rakyat dapat menjadi penguasa bagi dirinya sendiri serta dapat melaksanakan kedaulatan dan menjalankan kehendaknya sendiri secara sempurna—baik dalam pembuatan undang-undang, peraturan hidup, maupun dalam pemilihan penguasa—tanpa disertai tekanan atau paksaan, maka berbagai kebebasan yang bersifat umum atau universal merupakan prinsip yang harus diwujudkan dalam sistem demokrasi. Kebebasan umum ini berlaku bagi setiap individu rakyat. Dengan begitu, rakyat akan dapat mewujudkan kedaulatannya, sekaligus merealisaikan dan menjalankan kehendaknya sendiri sebebas-bebasnya tanpa tekanan atau paksaan.
Kebebasan individu yang bersifat umum ini tampak dalam empat aspek berikut ini:
1. Kebebasan beragama.
2. Kebebasan berpendapat.
3. Kebebasan kepemilikan.
4. Kebebasan berperilaku.

****

Demokrasi lahir dari akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme. Akidah sekularisme merupakan jalan tengah yang tidak tegas. Akidah ini lahir karena pergolakan atau konflik yang terjadi di antara para raja dan kaisar di Eropa dan Rusia dengan para filosof dan pemikir. Saat itu, para raja dan kaisar telah memanfaatkan agama sebagai alat untuk mengeksploitasi, menzalimi, dan menghisap darah rakyat. Tindakan demikian lebih disebabkan karena adanya suatu anggapan bahwa raja dan kaisar adalah wakil Tuhan di muka bumi. Para raja dan kaisar lalu memanfaatkan para rohaniawan sebagai tunggangan untuk menzalimi rakyat. Akibatnya, berkobarlah pergolakan sengit antara para pe-nguasa tersebut dengan rakyatnya sendiri. Pada saat itulah, para filosof dan pemikir bangkit. Sebagian dari mereka mengingkari keberadaan agama secara mutlak. Sebagian lagi mengakui keberadaan agama, tetapi memprasyaratkan adanya pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara dan pemerintahan.
Pergolakan ini berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu pemisahan agama dari kehidupan yang dengan sendirinya akan menyebabkan pemisahan agama dari negara. Gagasan sekularisme inilah sesungguhnya yang merupakan akidah yang menjadi asas bagi ideologi Ka-pitalisme. Sekularisme pula yang menjadi landasan pemi-kiran (qâ‘idah fikriyyah) bagi Kapitalisme. Sekularisme menjadi dasar bagi seluruh bangunan pemikirannya, seka-ligus menentukan orientasi pemikiran dan pandangan hidup (weltanschauung) mereka. Di atas dasar sekularisme inilah para penganut ideologi Kapitalis memecahkan seluruh problem kehidupan mereka. Di samping itu, sekularisme menjadi pengarah pemikiran (qiyâdah fikriyyah) yang diemban dan selalu dipropagandakan Barat ke seluruh penjuru dunia.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akidah sekularisme telah menjauhkan agama dan gereja dari kehidupan ber-negara. Akidah ini selanjutnya menjauhkan agama dari proses pembuatan peraturan dan undang-undang, dari pengangkatan penguasa, dan dari pemberian kekuasaan ke-pada penguasa. Oleh karena itu, rakyat kemudian dituntut untuk memilih sendiri peraturan hidup bagi mereka, membuat peraturan dan undang-undang, dan mengangkat penguasa. Penguasa inilah yang akan memerintah rakyat dengan peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh mereka serta mengambil kekuasaannya berdasarkan kehendak umum mayoritas rakyat. Dari sinilah sistem demo-krasi lahir.
Walhasil, ide sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) adalah akidah yang telah melahirkan demokrasi, sekaligus merupakan landasan pemikiran yang mendasari seluruh ide yang dikandungnya.

***

Demokrasi dilandaskan pada dua gagasan besar:
1. Kedaulatan di tangan rakyat.
2. Rakyat merupakan sumber kekuasaan.
Kedua gagasan tersebut dicetuskan oleh para filosof dan pemikir di Eropa ketika mereka melawan para kaisar dan raja untuk menghapuskan ide tentang Hak Ketuhanan (Divine Rights) yang menguasai Eropa waktu itu. Melalui gagasan ini, para raja dipandang memiliki Hak Ketuhanan atas rakyat sekaligus dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berhak membuat peraturan serta menyelenggarakan pemerintahan dan peradilan. Ringkasnya, kaisar atau raja adalah negara itu sendiri.
Sebaliknya, melalui gagasan ini pula, rakyat dianggap sebagai pihak yang harus diatur. Mereka dianggap tidak memiliki hak; baik dalam pembuatan peraturan, dalam ke-kuasaan, dalam peradilan, atau dalam hal apa pun. Rakyat, dengan demikian, berkedudukan sebagai “budak” yang tidak memiliki hak untuk berpendapat ataupun melontarkan kehendak. Mereka hanya memiliki kewajiban untuk taat kepada penguasa dan melaksanakan perintahnya.
Kedua gagasan yang menjadi landasan demokrasi ini kemudian disebarluaskan dalam rangka menghancurkan ide tentang Hak Ketuhanan secara menyeluruh, sekaligus memberikan hak pembuatan peraturan dan pemilihan penguasa kepada rakyat. Kedua ide tersebut didasarkan pada anggapan bahwa rakyat adalah ibarat tuan pemilik budak, bukan budak yang dikuasai tuannya. Artinya, rakyat adalah tuan bagi dirinya sendiri, tidak ada satu pihak pun yang dapat menguasainya. Rakyat memiliki kehendaknya sendiri dan melaksanakan sendiri kehendaknya itu. Jika tidak demikian, rakyat akan menjadi budak, sementara hakikat perbudakan itu sendiri terjadi ketika salah satu pihak—yakni rakyat—dikendalikan oleh kehendak pihak lain. Dengan kata lain, jika rakyat tidak menjalankan kehendaknya sendiri, berarti mereka akan tetap merupakan budak.
Oleh karena itu, untuk membebaskan rakyat dari perbudakan semacam ini, mereka harus dianggap sebagai satu-satunya pihak yang berhak menjalankan kehendaknya sendiri. Dengan begitu, rakyat memiliki hak untuk mene-tapkan peraturan yang dikehendakinya, atau sebaliknya, menghapus dan membatalkan peraturan yang tidak dike-hendakinya. Dalam hal ini, rakyat adalah pemilik kedaulatan mutlak. Rakyat pula yang merupakan satu-satunya pihak yang berhak melaksanakan peraturan yang ditetapkannya, memilih penguasa (badan eksekutif) dan hakim (badan yudi-katif) yang dikehendakinya untuk menerapkan peraturan yang dikehendakinya. Sebab, rakyat adalah sumber seluruh kekuasaan, sementara penguasa hanya mengambil kekua-saannya dari rakyat.
Dengan berhasilnya revolusi melawan para kaisar dan raja serta gugurnya ide tentang Hak Ketuhanan, maka kedua ide yang menjadi landasan demokrasi tersebut—yakni bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat merupakan sumber kekuasaan—dapat diterapkan dan dilaksanakan. Dua ide inilah yang menjadi asas bagi sistem demokrasi.
Walhasil, dalam sistem demokrasi, rakyat bertindak sebagai musyarri‘ (pembuat hukum) dalam kedudukannya sebagai pemilik kedaulatan, sekaligus sebagai munaffidz (pelaksana hukum) dalam kedudukannya sebagai sumber kekuasaan.

****

Demokrasi adalah sistem pemerintahan berdasarkan “suara mayoritas”. Anggota-anggota lembaga legislatif dipilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan peraturan dan undang-undang serta pemberian mosi percaya atau tidak percaya kepada peme-rintah dalam dewan perwakilan ditetapkan pula berda-sarkan “suara mayoritas”. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan perwakilan, kabinet, bahkan dalam seluruh lembaga dan organisasi lainnya. Pemilihan penguasa oleh rakyat, baik langsung maupun melalui para wakilnya, ditetapkan pula berdasarkan “suara mayoritas” pemilih dari rakyat. Oleh karena itu, “suara mayoritas” adalah ciri yang menonjol dalam sistem demokrasi. Pen-dapat mayoritas, menurut demokrasi, merupakan tolok ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.

****

Demikianlah penjelasan ringkas mengenai demokrasi dari segi pengertian, sumber, dan latar belakangnya; dari segi akidah yang melahirkannya dan asas-asas yang melan-dasinya; serta dari aspek-aspek yang harus diwujudkannya agar rakyat dapat melaksanakan demokrasi.
Dari penjelasan ringkas tersebut, tampak jelas beberapa poin berikut ini:
1. Demokrasi adalah bagian dari produk akal manusia, bukan berasal dari Allah Swt. Demokrasi tidak disandarkan sama sekali pada wahyu Allah dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan agama mana pun yang pernah diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.
2 Demokrasi lahir dari akidah pemisahan agama dari kehidupan yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dari negara.
3. Demokrasi dilandaskan pada dua ide: (a) kedaulatan di tangan rakyat; (b) rakyat merupakan sumber kekuasaan.
4. Demokrasi adalah sistem “pemerintahan mayoritas”. Pemilihan penguasa dan anggota dewan perwakilan diselenggarakan berdasarkan “suara mayoritas” para pemilih. Semua keputusan dalam lembaga-lembaga tersebut juga diambil berdasarkan “pendapat mayoritas”.
5. Demokrasi menyatakan adanya empat macam kebe-basan yang bersifat umum, yaitu: (a) kebebasan beragama (freedom of religion); (b) kebebasan berpendapat (fredom of speech); (c) kebebasan kepemilikan (freedom of ownership); (d) kebebasan berperilaku (personal freedom).

Dalam sistem demokrasi, kebebasan harus diwu-judkan bagi setiap individu rakyat. Dengan itu, mereka dapat melaksanakan kedaulatannya dan menjalankannya sendiri, sekaligus dapat melaksanakan haknya untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga per-wakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan.
Dengan memperhatikan poin kesatu di atas, sebe-narnya sudah jelas bahwa demokrasi adalah sistem kufur, tidak berasal dari Islam, dan tidak memiliki hubungan apa pun dengan Islam.
Namun demikian, sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan atau kontradiksi demokrasi dengan Islam serta pandangan hukum syariat tentang demokrasi, kami ingin menjelaskan terlebih dulu dua hal: (1) demokrasi sebe-narnya belum pernah diterapkan secara real di negara-nega-ra asal demokrasi (a-historis); (2) praktek demokrasi sesung-guhnya didasarkan pada omong-kosong dan penyesatan belaka.
Di samping itu, kami ingin menjelaskan pula tentang kerusakan dan kebusukan demokrasi, berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat penerapan demokrasi, serta sejauh mana kebobrokan terjadi pada masyarakat yang telah menerapkan demokrasi.

****

Demokrasi dalam maknanya yang sesungguhnya adalah gagasan utopis (ide khayali) yang tidak mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum pernah, bahkan tidak akan pernah bisa diwujudkan sampai kapan pun. Sebab, ber-kumpulnya seluruh rakyat di satu tempat secara terus-menerus untuk memberikan pertimbangan dalam berbagai urusan adalah hal yang mustahil. Demikian pula keharusan seluruh rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya. Oleh karena itu, para penggagas demokrasi lantas melakukan manipulasi dan penakwilan ter-hadap ide demokrasi, sekaligus mengada-adakan apa yang disebut dengan “kepala negara”, “pemerintah”, dan “dewan perwakilan”. Namun demikian, pengertian demokrasi yang telah ditakwilkan pun tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak pernah pula terwujud dalam kenyataan.
Kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen yang diklaim dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat; dewan perwakilan yang diklaim sebagai penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan majelis perwakilan yang juga diklaim sebagai representasi (wakil) mayoritas rakyat, pada hakikatnya sangat tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari minoritas rakyat, bukan mayoritas rakyat. Alasannya, seorang anggota wakil rakyat yang duduk di parlemen sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan oleh satu orang. Oleh karena itu, jumlah suara para pemilih di suatu daerah harus dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang meraih “suara mayoritas” para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah tersebut. Kon-sekuensinya, para wakil rakyat yang terpilih sebenarnya hanya mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan suara mayoritas rakyat. Artinya, mereka sesungguhnya merupakan orang-orang yang mendapat kepercayaan sekaligus wakil dari minoritas rakyat, dan bukan orang-orang yang men-dapat kepercayaan sekaligus wakil mayoritas rakyat.
Demikian pula dengan seorang kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara langsung maupun oleh para anggota parlemen. Seorang kepala negara sebenarnya juga tidak dipilih berdasarkan suara mayoritas rakyat, tetapi berdasarkan suara minoritas rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota parlemen tersebut di atas. Apalagi para kepala negara dan anggota parlemen di beberapa negara asal demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili kehendak kaum kapitalis—yaitu para konglomerat dan orang-orang kaya—dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi semacam ini lebih disebabkan karena para kapitalis raksasalah yang mendudukkan mereka pada berbagai posisi di pemerintahan dan lembaga perwakilan yang akan merealisasikan kepen-tingan para kapitalis itu. Kaum kapitalislah yang membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen. Dengan begitu, mereka memiliki pengaruh kuat atas presiden mau-pun anggota parlemen. Fakta semacam ini sudah sangat dikenal di Amerika.
Sementara itu, di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari Partai Konservatif. Partai Konservatif juga mewakili para kapitalis raksasa yaitu para konglomerat, para pengu-saha dan tuan tanah, serta golongan bangsawan (aristokrat). Partai Buruh tidak dapat menduduki pemerintahan, kecuali jika ada kondisi politis yang mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan. Oleh karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili kehendak rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.
Dengan demikian, pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri demokrasi merupakan representasi dari pendapat mayoritas adalah omong-kosong dan menye-satkan. Demikian pula pernyataan bahwa para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat dan mengambil kekuasaan mereka dari rakyat.
Di samping itu, sejumlah peraturan yang ditetapkan dalam parlemen serta berbagai kebijakan yang diambil oleh negara sering diputuskan dengan pertimbangan bahwa: berbagai kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat atau mayoritas rakyat.
Sementara itu, pernyataan bahwa penguasa atau presiden bertanggung jawab kepada parlemen—yang merupakan penjelmaan kehendak umum rakyat serta ber-bagai keputusan yang penting tidak dapat diambil kecuali dengan persetujuan mayoritas anggota parlemen—juga tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden, seorang mantan PM Inggris di masa lalu, misalnya, pernah mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu dulu parlemen ataupun para menterinya yang memiliki andil dalam pemerintahannya. Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. Pada saat Perang Suez pula, John Foster Dulles telah diminta oleh Kongres untuk menye-rahkan laporan mengenai Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan pembiayaannya. Akan tetapi, dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan tersebut kepada Kongres. Hal yang sama dilakukan Charles de Gaulle, penguasa Prancis. Ia pernah mengambil sejumlah keputusan tanpa diketahui para menterinya. Raja Hussein pun sering mengambil berbagai keputusan yang penting dan berbahaya tanpa diketahui oleh para menterinya atau anggota parlemen.
Walhasil, baik parlemen di negeri-negeri demokrasi, yang diklaim mewakili pendapat mayoritas, maupun para penguasa, yang juga diklaim dipilih berdasarkan suara mayo-ritas serta menjalankan pemerintahan menurut peraturan yang ditetapkan dan dikehendaki oleh mayoritas, ternyata tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang sebenarnya. Klaim demikian jelas dusta dan menyesatkan.

****
Penjelasan di atas terkait dengan realitas di sejumlah negara asal demokrasi. Sementara itu, realitas berbagai parlemen di Dunia Islam lebih buruk lagi. Di dunia Islam, parlemen tidak lebih dari sekadar istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada satu parlemen pun di Dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang penguasa dan sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania, misalnya, yang dipilih dengan slogan, “Mengembalikan Demokrasi dan Mewu-judkan Kebebasan,” ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein ataupun mengkritik rezim pemerintahannya sendiri. Padahal, semua anggota parlemen tahu bahwa krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tidak lain disebabkan oleh kebobrokan rezim keluarga kerajaan yang telah merampok harta kekayaan negara. Kendatipun demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani mengkritik rezim tersebut. Mereka hanya berani mengkritik Zayd ar-Rifâ‘î dan beberapa menteri Hussein. Padahal, mereka tahu bahwa Zayd ar-Rifâ‘î dan para menteri itu hanyalah pegawai bawahan; mereka tidak akan berani mengambil satu tindakan pun tanpa mendapat izin dan restu dari rajanya. Ini dari satu sisi.
Di sisi lain, undang-undang yang ada umumnya justru dibuat oleh pemerintah dalam bentuk rancangan undang-undang. Rancangan undang-undang tersebut kemudian dikirim oleh pemerintah kepada parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi khusus yang akan memberikan pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan kemudian menyetu-juinya. Padahal, pada faktanya, banyak anggota parlemen yang tidak memahami isi undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan dalam undang-undang tersebut bukan bidang keahlian mereka.
Walhasil, pernyataan bahwa peraturan yang ditetap-kan oleh parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi merupakan ungkapan kehendak umum rakyat, juga bahwa kehendak umum tersebut mewakili kedaulatan rakyat, adalah pernyataan yang juga bertentangan dengan hakikat dan kenyataan yang ada.

****

Cacat lain yang menonjol dalam sistem demokrasi, yang berkaitan dengan pemerintahan dan kabinet, sangat tampak antara lain jika di dalam suatu negara demokrasi tidak terdapat partai politik besar yang menguasai mayoritas mutlak di parlemen dan dapat menyusun kabinetnya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan negara tersebut biasanya akan selalu tidak stabil dan kabinetnya akan terus diguncang oleh berbagai tekanan krisis politik yang silih berganti. Hal ini terjadi karena pemerintah negara yang bersangkutan sulit mendapatkan kepercayaan dari mayoritas parlemennya. Kondisi semacam ini bisa memaksa pemerintah untuk meletakkan jabatannya. Kadang-kadang, selama berbulan-bulan presiden tidak mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga pemerintah menjadi lum-puh atau nyaris tidak berfungsi. Kadang-kadang pula, pre-siden terpaksa membubarkan parlemen dan menyeleng-garakan pemilu yang baru dalam rangka mengubah perim-bangan kekuatan politik agar dia dapat menyusun kabinet-nya yang baru.
Krisis-krisis tersebut sering terjadi berulang-ulang sehingga pemerintah selalu tidak stabil; aktivitas politiknya pun terus diguncang dan nyaris tidak terurus. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, dan sejumlah negara demokrasi yang lain. Negara-negara tersebut memiliki banyak partai politik, sementara tidak ada satu partai politik pun yang besar dan menguasai mayoritas mutlak di par-lemen. Kondisi semacam ini sering mendorong terjadinya proses tawar-menawar di antara partai-partai tersebut. Akibatnya, partai-partai kecil acapkali mampu mendikte partai-partai lain yang lebih besar—yang mengajak berkoalisi untuk membentuk kabinet—dengan cara mengajukan syarat-syarat yang sulit sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan demikian, partai-partai kecil, yang hanya mewakili minoritas rakyat itu, dapat mengendalikan partai lain dan mendikte kegiatan politik negeri tersebut, termasuk penetapan kebijakan-kebijakan kabinetnya.

****

Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia ialah ide kebebasan yang berlaku umum yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah meng-akibatkan berbagai malapetaka global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negara-negara penganut demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.
Ide kebebasan kepemilikan dan oportunisme yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan, misalnya, sebe-narnya telah mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang bermodal. Mereka jelas membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk indus-trinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bang-sabangsa yang terbelakang, menguasai harta benda mereka, memonopoli kekayaan alam mereka, sekaligus menghisap darah mereka dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai keruhanian, akhlak, dan kema-nusiaan.
Keserakahan dan kerakusan negara-negara kapitalis yang luar biasa; kekosongan jiwa mereka dari nilai-nilai keruhanian, akhlak, dan kemanusiaan; serta persaingan di antara mereka untuk mencari harta yang haram telah cukup membuat darah bangsa-bangsa terjajah menjadi barang dagangan. Faktor-faktor tersebut juga telah mengakibatkan berkobarnya bencana dan peperangan di antara bangsa-bangsa terjajah. Dengan begitu, negara-negara kapitalis tersebut dapat menjajakan produk-produk industrinya, se-kaligus mengembangkan industri militernya yang bisa meng-hasilkan keuntungan besar.
Sungguh, betapa banyak hal yang menggelikan, sekaligus memuakkan, yang selalu menjadi bahan bualan negara-negara demokrasi penjajah yang tidak tahu malu. Amerika, Inggris, dan Prancis, misalnya, selalu saja meng-gembar-gemborkan nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Ma-nusia (HAM) di mana-mana. Padahal, pada waktu yang sama, mereka telah menginjak-injak seluruh nilai kema-nusiaan dan akhlak, mencampakkan seluruh hak asasi manusia, dan menumpahkan darah berbagai bangsa di dunia. Berbagai krisis di Palestina, Asia Tenggara, Amerika Latin, Afrika Hitam (Afrika Tengah), dan Afrika Selatan adalah bukti paling nyata yang akan menampar wajah mereka dan akan membeberkan sifat mereka yang sangat pendusta dan tidak tahu malu.

****

Sementara itu, ide kebebasan berperilaku sesung-guhnya telah memerosotkan martabat masyarakat yang mempraktekkan demokrasi sampai pada derajat binatang yang sangat rendah. Ide semacam ini juga telah menyeret mereka untuk mengambil gaya hidup serba-boleh (permis-siveness) yang najis, yang bahkan tidak dijumpai dalam pergaulan antar binatang. Mahabenar Allah Swt. yang berfirman:






Terangkanlah kepada-Ku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau mema-hami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (QS al-Furqân [25]: 43-44).

Dalam masyarakat penganut demokrasi, hubungan seksual menjadi aktivitas yang sah-sah saja—seperti halnya minum air—karena telah disahkan oleh undang-undang yang ditetapkan oleh parlemen di negaranya, dan malah direstui oleh para tokoh gerejanya. Peraturan tersebut membolehkan hubungan seksual dan pergaulan lelaki-perempuan dengan sebebas-bebasnya jika masing-masing telah berumur 18 tahun. Negara dan orangtua tidak ber-wenang sedikit pun untuk melarang segala perilaku seksual tersebut.

Undang-undang yang ada ternyata tidak sekadar membenarkan hubungan seksual dengan lawan jenis, tetapi juga telah membolehkan hubungan seksual sesama jenis. Bahkan, beberapa negara penganut demokrasi telah mengesahkan perkawinan antara dua orang yang memiliki kelainan seksual: pria dibolehkan mengawini sesamanya dan wanita pun dibolehkan mengawini sesamanya.
Oleh karena itu, di antara fenomena yang dianggap wajar dan biasa dalam masyarakat demokrasi ialah ketika Anda menyaksikan—di jalan-jalan, taman-taman, bus-bus, dan di gerbong-gerbong kereta api—para pemuda dan pemudi saling berciuman, berangkulan, berpelukan, serta saling mengisap bibir dan bercumbu. Semua ini mereka lakukan tanpa rasa sungkan dan risih sedikit pun. Perilaku semacam itu oleh mereka sudah dianggap biasa dan wajar-wajar saja. Para wanita Barat juga sudah terbiasa menunggu matahari terbit pada musim panas dengan cara berbaring di taman-taman dengan tubuh telanjang—persis seperti keadaan mereka tatkala dilahirkan oleh ibu-ibu mereka—tanpa penutup, kecuali secarik kain yang menutupi bagian tubuh mereka yang paling vital. Mereka pun sudah terbiasa, jika pada musim panas, berjalan-jalan dengan tubuh nyaris bugil dan tidak menutupi tubuh mereka, kecuali hanya sekadarnya saja.
Berbagai perilaku seksual yang menyimpang dan abnormal seperti di atas telah memenuhi masyarakat demokrasi yang bejat. Perilaku homoseksual antar lelaki, lesbianisme di kalangan wanita, dan pemuasan seksual dengan binatang (bestiality) telah banyak terjadi. Demikian pula perilaku seksual kolektif (orgy), yakni beberapa pria dan wanita melakukan hubungan seksual bersama-sama. Padahal, perilaku seperti ini bahkan tidak akan dijumpai di dalam kandang-kandang binatang ternak sekalipun.
Sensus sebuah koran AS pernah menyebutkan bahwa 25 juta pelaku seksual yang menyimpang di AS telah menuntut pengesahan perkawinan di antara mereka dan menuntut hak-hak yang sama seperti yang dimiliki oleh orang normal. Sebuah koran lain juga mempublikasikan data bahwa satu juta orang di AS telah melakukan hubung-an seksual dengan keluarga mereka sendiri (incest), baik dengan ibu, anak perempuan, maupun saudara perempuan mereka. Perilaku serba boleh gaya binatang inilah yang telah menyebarluaskan berbagai penyakit kelamin—yang paling mematikan adalah AIDS—dan juga telah meng-hasilkan banyak anak zina, hingga sebuah koran bahkan menyebutkan bahwa 75 persen orang Inggris adalah anak zina.
Dalam masyarakat demokrasi, institusi keluarga benar-benar telah hancur berantakan; tidak ada lagi yang namanya rasa kasih sayang di antara bapak, anak, ibu, saudara lelaki, dan saudara perempuan. Oleh karena itu, sudah merupakan pemandangan biasa jika terdapat puluhan—bahkan ratus-an—pria dan wanita tua bangka yang berjalan-jalan di taman hanya bertemankan anjing-anjing. Hewan inilah yang menemani kaum lanjut usia itu di rumah, di meja makan, dan bahkan di tempat tidur mereka. Anjing-anjing itu menjadi sahabat dalam kesendirian mereka, sebab masing-masing memang hanya hidup sebatang kara; tidak ada sahabat lain lagi selain anjing.

****

Itulah beberapa contoh kerusakan yang dihasilkan oleh nilai-nilai demokrasi, khususnya ide kebebasan yang berlaku umum bagi setiap individu yang selalu mereka dengung-dengungkan. Itu pula yang menjadi salah satu bentuk dan penampilan peradaban mereka yang senantiasa dibangga-banggakan, digembar-gemborkan, dan disebar-luaskan ke seluruh pelosok dunia. Tujuannya adalah agar seluruh dunia ikut terjerumus ke dalam peradaban mereka yang sangat buruk itu. Kebejatan-kebejatan tersebut tidak mempunyai makna apa-apa, kecuali menunjukkan keru-sakan, keburukan, dan kebusukan demokrasi.
Beberapa kerusakan dan keburukan demokrasi terse-but dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Masyarakat penganut demokrasi di Barat telah bejat sedemikian rupa hingga terperosok ke derajat binatang yang kotor, yang bahkan tidak pernah ada dalam komunitas binatang ternak. Hal ini diakibatkan oleh adanya keliaran yang dihasilkan oleh ide kebebasan berperilaku.
2. Penjajahan Barat dengan demokrasinya telah nyata menimbulkan berbagai krisis, bencana, dan penghisapan bangsa-bangsa yang terjajah dan terbelakang. Mereka telah mencuri sumberdaya alam, merampok kekayaan mereka, memelaratkan penduduk, dan menistakan rak-yat-rakyatnya, serta menjadikan negeri-negeri mereka sebagai pasar konsumtif bagi industri dan produk mereka.
3. Demokrasi dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin diterapkan (utopis); dalam pengertiannya yang baru sesudah ditakwilkan pun tetap tidak sesuai dengan fakta dan tidak akan terwujud dalam kenyataan (a-historis).
4. Pernyataan para penganut demokrasi hanyalah omong-kosong dan menyesatkan belaka ketika mereka meng-klaim bahwa: parlemen adalah wakil dari kehendak umum masyarakat, perwujudan politis kehendak umum mayoritas rakyat, dan mewakili pendapat mayoritas; hukum-hukum yang dibuat oleh parlemen ditetapkan ber-dasarkan mayoritas suara wakil rakyat yang mengekspre-sikan kehendak mayoritas rakyat; dan para penguasa dipilih oleh mayoritas rakyat serta mengambil kekuasa-annya dari rakyat.
5. Kecacatan dalam sistem demokrasi telah jelas, khususnya dalam aspek-aspek yang berhubungan dengan kekua-saan dan para penguasa, jika tidak terdapat partai-partai besar di suatu negeri yang akan menjadi golongan mayo-ritas di dalam dewan perwakilan.

Akan tetapi, anehnya, meskipun semua keburukan tersebut telah nyata, Barat yang kafir ternyata mampu me-wujudkan pasar bagi ide-ide demokrasi yang rusak itu di negeri-negeri Islam.

****

Bagaimana Barat yang kafir itu berhasil memasarkan ide-ide demokrasi yang kufur—yang tidak berhubungan sama sekali dengan hukum-hukum Islam itu—di negeri-negeri Islam?
Sebagaimana diketahui, negara-negara Eropa yang kafir telah lama memendam kedengkian yang besar terhadap Islam dan kaum Muslim. Di dalam hati mereka terdapat rasa dendam yang sangat dalam terhadap Islam dan kaum Mus-lim sebagaimana yang mereka tampakkan. Mahabenar Allah dengan firman-Nya:


Telah nyata kebencian dari mulut mereka, sementara apa yang disembunyikan di dalam hati mereka adalah lebih besar lagi. (QS Ali ‘Imrân [3]: 118).

Negara-negara Barat yang kafir itu pun telah mema-hami bahwa rahasia kekuatan kaum Muslim terletak pada ajaran Islam itu sendiri, sebab akidah Islam adalah sumber kekuatan yang dahsyat bagi umat Islam. Oleh karena itu, mereka segera menyusun strategi jahanam untuk memerangi Dunia Islam. Hal itu mereka wujudkan dengan jalan melan-carkan serangan misionaris (kristenisasi) dan serangan kebu-dayaan (westernisasi).
Serangan kebudayaan (westernisasi) ternyata telah mengusung kebudayaan dan ide-ide Barat—termasuk de-mokrasi—serta peradaban dan pandangan hidup mereka ke Dunia Islam. Negara-negara Eropa segera menyerukan ide-ide tersebut kepada kaum Muslim. Tujuannya adalah agar kaum Muslim menjadikannya sebagai asas cara berpikir dan pandangan hidup mereka. Dengan begitu, negara-negara Eropa akan dapat menyimpangkan kaum Muslim, sekaligus menjauhkan mereka dari keterikatannya dengan Islam dan kewajiban penerapan hukum-hukumnya. Tujuan akhirnya ialah agar Barat dapat dengan mudah menghan-curkan Negara Islam, yakni Negara Khilafah, dan kemudian menghapuskan penerapan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, kaum Muslim selanjutnya akan mudah didorong untuk me-ngambil berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kafir sebagai pengganti Islam. Dengan begitu pula, Barat akan dapat menjauhkan kaum Muslim dari Islam dan dapat menguatkan cengkeramannya atas mereka. Mahabenar Allah Swt. yang telah berfirman:









Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petun-juk (yang benar). Sesungguhnya jika kamu (Muhammad) mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan (bukti yang nyata) datang kepadamu, maka Allah tidak akan lagi menjadi Pelindung dan Penolongmu.” (QS al-Baqarah [2]: 120).

Serangan misionaris dan kebudayaan Barat semakin sengit ketika kemerosotan kaum Muslim di bidang pemikiran dan politik semakin parah pada masa akhir Khilafah Uts-maniyah (pada paruh kedua Abad ke-19 M). Pada saat itu, terjadilah perubahan dalam perimbangan kekuatan yang menunjukkan keunggulan negara-negara Eropa. Perubahan ini berlangsung setelah terjadinya revolusi pemikiran dan revolusi industri di Eropa serta setelah terwujudnya berbagai kreativitas dan penemuan ilmiah yang dengan cepat mampu mengantarkan Eropa menuju ketinggian dan kemajuan. Sementara itu, dari hari ke hari, Khilafah Utsmaniyah tetap jumud dan semakin lemah. Kondisi inilah yang akhirnya mengakibatkan berbagai kebudayaan, ide, peradaban, dan peraturan Barat mengalir deras ke negeri-negeri Islam.
Dalam serangan misionaris dan kebudayaannya yang ditujukan ke negeri-negeri Islam, negara-negara Eropa menggunakan cara merendahkan ajaran Islam, menjelek-jelekkan hukum-hukumnya, menyebarkan keraguan kepada kaum Muslim terhadap kebenaran ajaran Islam, membang-kitkan kebencian kaum Muslim terhadap Islam, serta menya-takan bahwa Islamlah yang menjadi sebab kemerosotan dan kemunduran mereka. Sebaliknya, negara-negara Eropa mengagung-agungkan Barat dan peradabannya, membang-gabanggakan ide dan sistem demokrasi, serta meng-gembar-gemborkan kehebatan peraturan dan undang-undang demo-krasi.
Selain itu, negara-negara Eropa juga menggunakan cara penyesatan, yakni menyebarkan prasangka di tengah-tengah kaum Muslim bahwa peradaban Barat tidak ber-tentangan dengan peradaban Islam, dengan alasan, pera-daban Barat sebenarnya berasal dari Islam juga; peraturan dan undang-undangnya pun tidak menyalahi hukum-hukum Islam.
Mereka juga melekatkan sifat Islam pada ide dan peraturan demokrasi, serta menyatakan bahwa demokrasi tidak menyalahi atau bertentangan dengan Islam. Bahkan, mereka mengatakan bahwa demokrasi berasal dari Islam itu sendiri; atau demokrasi identik dengan musyawarah, amar makruf nahi mungkar, dan aktivitas mengoreksi penguasa.
Propaganda mereka ternyata sangat mempengaruhi kaum Muslim sehingga akhirnya mereka dapat dikendalikan oleh ide-ide dan peradaban Barat. Propaganda tersebut juga berhasil mendorong kaum Muslim untuk mengambil bebe-rapa peraturan dan undang-undang Barat pada masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Setelah Negara Khilafah hancur, kaum Muslim malah mengambil sebagian besar peraturan dan undang-undang Barat.
Propaganda Barat itu berhasil pula mempengaruhi kaum terpelajar, para politikus, para pengemban tsaqâfah Islamiyah, sebagian pengemban dakwah Islam, dan mayo-ritas kaum Muslim.
Kaum terpelajar, misalnya, sesungguhnya banyak yang terpengaruh oleh kebudayaan Barat—yang telah dija-dikan asas pendidikan mereka—tatkala mereka mempelajari kebudayaan tersebut di Barat ataupun di negeri-negeri Islam sendiri. Ini disebabkan karena kurikulum pendidikan negeri-negeri Islam setelah Perang Dunia I telah disusun atas dasar falsafah dan pandangan hidup Barat. Kondisi ini mengaki-batkan banyak kaum terpelajar yang akhirnya menggemari, menggandrungi, dan bahkan mengagung-agungkan kebudayaan Barat. Sebaliknya, pada saat yang sama, mereka mengingkari tsaqâfah Islam dan hukum-hukumnya jika bertentangan dengan kebudayaan, peraturan, dan undang-undang Barat. Mereka pun akhirnya membenci Islam, sebagaimana halnya orang-orang kafir Eropa. Mereka pun sangat memusuhi kebudayaan, peraturan, dan hukum Islam; sebagaimana juga orang-orang Eropa yang kafir itu. Kaum terpelajar ini akhirnya menjadi corong-corong propaganda bagi peradaban, ide, dan peraturan Barat; sekaligus menjadi alat penghancur dan penghina bagi peradaban, hukum, dan peraturan Islam.
Sementara itu, karena propaganda Barat pula, para politikus sesungguhnya telah benar-benar mengikhlaskan diri mereka untuk mengabdi kepada Barat dan peraturannya, mengikatkan diri dengan Barat, dan menjadikan Barat sebagai kiblat perhatian mereka. Mereka meminta tolong kepada Barat, mengandalkan bantuannya, dan menobatkan diri mereka sebagai penjaga berbagai undang-undang dan peraturan Barat. Bahkan, dengan suka rela, mereka meng-angkat diri mereka sebagai budak-budak yang bertugas melestarikan kepentingan Barat dan menjalankan semua konspirasinya yang sangat jahat. Dengan begitu, mereka benar-benar telah menyatakan permusuhan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka pun telah mengumumkan perang terhadap “Islam politik” beserta segenap pengemban dak-wahnya yang ikhlas. Mereka senantiasa mencurahkan segala potensi yang mereka miliki untuk menghalang-halangi berdirinya Negara Khilafah dan kembalinya hukum yang diturunkan Allah ke tampuk kekuasaan. Mereka pasti dilaknati Allah. Bagaimana mereka sampai berpaling dari kebenaran?
Di pihak lain, para pengemban tsaqâfah Islam juga tidak lagi memiliki kesadaran terhadap Islam dan hakikat atau realitas hukum-hukumnya. Mereka juga tidak me-nyadari hakikat peradaban, ide, dan peraturan Barat. Selain itu, mereka tidak mengetahui kontradiksi antara peradaban, ide, dan pandangan hidup Barat dengan akidah, hukum, peradaban, dan pandangan hidup Islam.
Kondisi tersebut terjadi karena taraf pemikiran kaum Muslim telah anjlok. Mereka sangat lemah dalam memahami Islam dan hukum-hukumnya. Mereka pun telah salah dalam memahami cara penerapan syariat Islam di tengah masya-rakat. Akibatnya, Islam ditafsirkan dengan pengertian yang tidak sesuai dengan kandungan nash-nash syariat; sementara hukum-hukum Islam pun ditakwilkan agar sesuai dengan kondisi yang ada, bukan sebaliknya, yaitu mengubah kondisi yang ada agar sesuai dengan hukum-hukum Islam. Mereka kemudian mengambil berbagai hukum yang tidak ada dasarnya dalam syariat, atau dasarnya lemah, dengan hujjah yang didasarkan pada kaidah yang sangat keliru:


Perubahan hukum tidak mungkin dipungkiri karena adanya faktor perubahan zaman.

Dengan berpedoman pada kaidah semacam ini, wajar jika kemudian Islam ditakwilkan oleh banyak orang dalam rangka disesuaikan dengan setiap aliran, gagasan, dan ideologi; walaupun penakwilan mereka bertentangan dengan hukum-hukum dan pandangan hidup Islam. Mere-ka lantas mengatakan bahwa peradaban dan ide-ide Barat tidak bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya, karena semua itu justru diambil dari peradaban Islam. Mere-ka mengatakan bahwa sistem pemerintahan demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme juga tidak bertentangan dengan hukum-hukum Islam—meskipun pada faktanya kedua sistem tersebut adalah sistem kufur. Mereka mengatakan pula bahwa ide demokrasi dan kebe-basan umum yang berlaku bagi setiap individu juga berasal dari Islam—meski-pun kedua ide itu pada hakikatnya sangat bertentangan dengan Islam.
Dengan demikian, muncullah ketidakjelasan dalam benak mereka di seputar apa saja yang boleh diambil oleh kaum Muslim dari bangsa dan umat lain dengan apa yang haram diambil oleh mereka. Yang boleh diambil dari bangsa dan umat lain misalnya: ilmu kedokteran, farmasi, teknik, kimia, pertanian, industri, peraturan lalu lintas, transportasi, dan perkara mubah lainnya yang tidak menyalahi Islam; sementara yang haram untuk diambil dari bangsa dan umat lain adalah segala sesuatu yang terkait (baca: bertentangan) dengan akidah Islam dan hukum-hukumnya. Semua perkara yang berasal dari bangsa-bangsa dan umat lain haram diambil, kecuali jika bersumber dari al-Quran dan Sunnah serta dalil-dalil syariat yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Qiyas dan Ijma Sahabat.
Keadaan semacam ini akhirnya memberikan peluang kepada Barat untuk menjajakan peradaban dan pandangan hidup mereka, ide demokrasi dan kapitalisme, serta ide kebebasan umum ke negeri-negeri Islam.

****

Sebelum menjelaskan pertentangan demokrasi de-ngan Islam sekaligus menerangkan hukum syariat dalam pe-ngambilan demokrasi, kami ingin mengupas tentang hal-hal yang boleh dan yang haram diambil oleh kaum Muslim dari umat dan bangsa lain, sesuai dengan nash-nash dan hukum-hukum syariat. Dalam hal ini, kami berpendapat se-bagai berikut:
1. Sesungguhnya hukum asal seluruh perbuatan manusia dan seluruh benda yang digunakannya atau yang ber-hubungan dengan perbuatan manusia adalah mengikuti Rasulullah saw. dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawanya. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk pada—dan terikat dengan—syariat Islam. Allah Swt. berfirman:


Apa saja yang diperintahkan oleh Rasulullah kepada kalian, laksanakanlah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).


Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus atas apa saja yang mereka perselisihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).


Dalam hal apa saja kalian berselisih, maka putusannya harus dikembalikan kepada Allah. (QS asy-Syûrâ [42]: 10).


Kemudian, jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah). (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka dia tidak diterima. (HR Muslim).


Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu di dalam urusan (agama) kami ini yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak. (HR al-Bukhârî).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya mengikuti sekaligus terikat dengan syariat adalah wajib, baik dalam konteks perbuatan manusia maupun benda-benda yang digunakannya. Dengan demikian, seorang Muslim tidak boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah menge-tahui hukum Allah yang terkait dengan perbuatan tersebut; apakah wajib atau mandûb (sunnah) sehingga dia dapat melakukan perbuatan itu; apakah haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya; ataukah mubah sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya. Atas dasar inilah, dalam konteks perbuatan manusia, berlaku kaidah, “Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.”
Sementara itu, berkaitan dengan benda-benda yang berhubungan dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah; selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Dalam hal ini, berlaku kaidah, “Hukum asal benda adalah mubah.” Artinya, benda apa pun tidak diharamkan, kecuali jika ada dalil syariat yang menunjukkan keharamannya. Prinsip ini didasarkan pada nash-nash syariat yang bersifat umum yang memang telah membolehkan manusia untuk memanfaatkan semua benda yang ada di alam sekitarnya.
Allah Swt. berfirman:





Tidakkah kalian memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi. (QS Luqmân [31]: 20).

Kalimat yang artinya menundukkan untuk kalian apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi bermakna bahwa Allah Swt. telah membolehkan semua yang ada di dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia.
Allah Swt. juga berfirman:


Dialah (Allah) Yang telah menciptakan segala yang ada di bumi seluruhnya untuk kalian. (QS al-Baqarah [2]: 29).


Wahai manusia, makanlah oleh kalian apa saja yang halal dan baik yang terdapat di bumi. (QS al-Baqarah [2]: 168).




Dialah (Allah) Yang telah menjadikan bumi itu mudah bagi kalian. Karena itu, berjalanlah kalian di segala penjurunya dan makanlah rezeki-Nya. (QS al-Mulk [67]: 15).

Demikianlah beberapa ayat yang bersifat umum yang telah membolehkan segala sesuatu (baca: benda). Keumuman lafalnya menunjukkan kebolehan untuk me-manfaatkan segala sesuatu yang ada. Artinya, kebolehan untuk memanfaatkan semua benda yang ada memang telah ditunjukkan oleh khithâb (seruan) Allah Swt. yang bersifat umum. Dengan demikian, jika suatu benda diha-ramkan, maka keharamannya harus ditetapkan oleh nash syariat. Dengan kata lain, harus ada nash lain yang meng-khususkan keumuman nash-nash di atas. Pengkhususan tersebut akan menunjukkan pengecualian benda tersebut dari kemubahannya yang bersifat umum. Dalam hal ini, Allah Swt., misalnya, berfirman:






Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah; binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kalian sembelih; serta hewan apa saja yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala. (QS al-Mâ’idah [5]: 3).

Walhasil, dari sini dapat dipahami bahwa hukum asal benda-benda yang digunakan manusia adalah mubah.

2. Syariat Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, semua problem yang sedang di-alami, dan berbagai peristiwa yang mungkin bakal terjadi pada masa mendatang. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi—baik pada masa lalu, saat ini, maupun pada masa yang akan datang—kecuali ada hukumnya dalam syariat Islam. Dengan kata lain, syariat Islam telah men-jangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.
Allah Swt. berfirman:




Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelas segala sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat, dan pemberi kabar gembira bagi kaum Muslim. (QS an-Nahl [16]: 89).


Tidak ada sesuatu pun yang Kami alpakan di dalam Kitab (al-Quran) ini. (QS al-An‘âm [6]: 38).




Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian. (QS al-Mâ’idah [5]: 3).

Walhasil, syariat Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia; bagaimana pun bentuknya. Syariat Islam, dalam hal ini, pasti akan menetapkan dalil untuk menghukumi suatu perbuatan; baik melalui suatu nash al-Quran dan Hadis Nabi ataupun dengan mene-tapkan suatu amârah (tanda/isyarat) dalam al-Quran dan Hadis Nabi sehingga hukum yang ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau alasan tersebut. Dengan demikian, secara syar ‘î, tidak mungkin ada satu perbuatan manusia pun yang tidak ada dalil yang menjelaskan hukumnya atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Hal ini didasarkan pada adanya keumuman firman Allah Swt. yang berbunyi:



....sebagai penjelas segala sesuatu. (QS an-Nahl [16]: 89).

Hal di atas juga didasarkan pada adanya nash yang tegas yang menunjukkan bahwa Allah Swt. telah menyempurnakan agama Islam ini (QS al-Mâ’idah [5]: 3).

3. Berdasarkan dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil oleh kaum Mus-lim—dari apa saja yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain—dan mana saja yang haram mereka ambil.
Seluruh ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah, dan yang semi-salnya, serta segala macam bentuk benda/alat/bangun-an yang bercorak kebudayaan material yang dihasilkan dari kemajuan sains dan teknologi boleh diambil oleh kaum Muslim. Akan tetapi, jika dalam semua itu terdapat aspek-aspek tertentu yang menyalahi ajaran Islam, kaum Muslim haram untuk mengambilnya. Sebab, semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi tidak bertentangan dengan akidah Islam dan hukum-hukum syariat yang berkedudukan sebagai solusi atas problematika manusia dalam kehidupan. Semua itu dapat dikategorikan ke dalam perkara-perkara yang mubah yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya. Dalilnya adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang menerangkan tentang kebolehan untuk memanfaatkan seluruh benda yang ada di alam semesta bagi kepentingan manusia. Kebolehan tersebut juga didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi:






Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu yang termasuk ke dalam urusan agama kalian, maka laksanakanlah perintah itu. Akan tetapi, jika aku memerintahkan kepada kalian sesuatu yang termasuk ke dalam urusan dunia kalian, maka ketahuilah bahwa aku ini hanyalah manusia biasa. (HR Muslim).

Nabi saw. juga bersabda dalam kaitannya dengan peristiwa penyerbukan kurma sebagai berikut:


Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian. (HR Muslim).
Hal yang sama didasarkan pada tindakan Nabi saw. tatkala mengutus beberapa sahabatnya ke suatu daerah di Yaman untuk mempelajari teknik pembuatan senjata perang.
Atas dasar ini, setiap perkara yang tidak termasuk ke dalam masalah akidah atau syariat boleh untuk diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat dalil khusus yang mengha-ramkannya.
Berdasarkan uraian di atas, kaum Muslim boleh mengambil semua ilmu yang berhubungan dengan ke-dokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia, fisika, pertanian, industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ataupun ilmu ekonomi—sebatas yang membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta pengadaan sarana-sarana produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab, ilmu-ilmu semacam ini bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk umat penganut Islam, Kapitalisme, atau Sosialisme. Semua ilmu tersebut boleh diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Oleh karena itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera tidak boleh diambil karena teori ini bertentangan dengan firman Allah Swt.:


Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. (QS ar-Rahmân [55]: 14).




(Dialah Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari air yang hina (mani). (QS as-Sajdah [32]: 7-8).


Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia men-ciptakan kalian dari tanah. (QS ar-Rûm [30]: 20).

Sebagaimana kaum Muslim boleh mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami sebutkan di atas, mereka juga boleh mengambil benda apa saja yang dihasilkannya seperti produk-produk industri, alat-alat, mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda hasil kebu-dayaan material. Mereka juga boleh mendirikan pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala macam produknya—kecuali pabrik-pabrik yang memproduksi patung, minuman keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya; baik produk-produk kemi-literan maupun bukan; baik industri berat—seperti tank, pesawat tempur, peluru kendali, satelit, bom atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia, traktor, truk, kereta api, kapal api—maupun industri ringan seperti industri konsumtif, senjata-senjata ringan, alat-alat laboratorium, alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian, furniture, karpet, dan barang-barang konsumtif.
Semua yang telah disebutkan di atas boleh diambil karena semuanya termasuk kategori benda-benda yang mubah dan terdapat dalil umum yang menunjukkan ke-mubahannya. Upaya untuk mengambil dan memanfaat-kannya pada dasarnya berstatus mengamalkan hukum Islam, yaitu mubah, dan mengikuti syariat Rasulullah saw. Sebab, semua itu termasuk mubah, sedangkan mubah merupakan salah satu dari lima jenis hukum taklif, yaitu: wajib, mandûb, haram, makruh, dan mubah.

4. Ide-ide yang berkaitan dengan akidah dan syariat Islam, juga ide-ide yang berhubungan dengan peradaban Islam, pandangan hidup Islam, dan hukum-hukum yang men-jadi solusi bagi seluruh problem manusia wajib disesuai-kan dengan ketentuan syariat. Semua itu tidak boleh diambil dari mana pun kecuali hanya dari syariat Islam saja; yakni dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya, serta Ijma Sahabat dam Qiyas yang memang ditunjukkan oleh keduanya; sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Bebe-rapa dalil syariat yang berkaitan dengan ketentuan di atas adalah sebagai berikut:
a. Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasul saw. kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dila-rang oleh beliau. Allah Swt. berfirman :


Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul kepada kalian, laksanakanlah, dan apa yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Kata mâ (apa saja) dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum. Artinya, ayat tersebut menunjukkan adanya kewajiban untuk mengambil semua hukum yang dibawa oleh Nabi saw. untuk kita dan menjauhi semua yang dilarangnya atas kita. Mafhûm mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh mengambil hukum apa pun selain hukum yang dibawa oleh Nabi saw. untuk kita.

b. Sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).


Menaati Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan dan meng-ambil syariat yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

c. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum Muslim untuk berpegang teguh pada apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali—atau merujuk pada—hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Allah Swt. berfirman:




Tidaklah patut seorang Mukmin maupun Mukminat—jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan—mempunyai pilihan (yang lain) dalam urusan mereka. (QS al-Ahzab [33]: 36).




Kemudian, jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. (QS an-Nisâ’ [4]: 59).

d. Allah Swt. telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan keputusan berdasarkan hukum yang telah diturunkan-Nya dan memperingatkan beliau agar waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun dari hukum-Nya. Allah Swt. berfirman:






Kami telah menurunkan kepadamu al-Quran dengan membawa kebenaran; sebagai pembenar atas kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) sekaligus sebagai penghapus kitab-kitab tersebut. Oleh karena itu, putuskanlah perkara mereka menurut wahyu yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah sampai kepadamu. (QS al-Mâ’idah [5]: 48).

e. Sesungguhnya Allah Swt. telah melarang kaum Muslim untuk mengambil hukum apa pun selain hukum Islam. Allah Swt. berfirman:





Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Mu-hammad) sebagai hakim (pemutus) atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).




Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nûr [24]: 63).




Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. (QS an-Nisâ’ [4]: 60).

Selain itu, Rasulullah saw. telah bersabda:


Setiap perbuatan yang bukan termasuk perintah kami adalah tertolak. (HR Muslim).

Nash-nash syariat di atas menunjukkan dengan jelas tentang kewajiban untuk terikat dengan seluruh hukum yang dibawa oleh Rasulullah saw. untuk kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh menghalalkan apa pun kecuali yang memang telah dihalalkan oleh Allah, dan tidak boleh mengharamkan apa pun kecuali yang telah diharamkan oleh Allah. Begitu pula, apa saja yang tidak dibawa oleh Rasul untuk kita tidak boleh kita ambil, dan apa saja yang tidak beliau haramkan atas kita, kita tidak boleh mengharamkannya.
Di satu sisi, ada kata mâ (apa saja) dalam firman-Nya, “wa mâ âtâkum ar-rasûl” dan “wa mâ nahâkum ‘anhu” (QS al-Hasyr [59]: 7). Sementara itu, di sisi lain, Allah Swt. berfirman sebagai berikut:




Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nûr [24]: 63).

Jika kata mâ pada surah al-Hasyr ayat 7 sebelumnya dikaitkan dengan ayat 63 surah an-Nûr di atas, akan tampak jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasulullah saw. semata, dan bahwa mengambil hukum di luar hukum yang dibawa oleh Rasulullah saw. adalah dosa yang pelakunya akan mendapatkan azab yang pedih; bahkan Allah Swt. tidak mengakui keimanan dari orang yang dalam berbagai tindakannya, tidak berhakim kepada Rasulullah saw. Allah Swt. berfirman:




Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Mu-hammad) sebagai hakim (pemutus) atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).

Hal ini menunjukkan secara tegas tentang wajibnya berhukum hanya terbatas pada apa saja yang dibawa oleh Rasul saja, apalagi Allah Swt. telah memperingatkan Rasul-Nya untuk waspada supaya tidak dipalingkan oleh manusia dari seba-gian wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah Swt. berfirman:



Berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang diturunkan Allah kepadamu. (QS al-Mâ’idah [5]: 49).

Di samping itu, al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhukum pada hukum yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw., yakni pada hukum-hukum kufur. Allah Swt. berfirman:








Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim telah beriman pada apa saja yang ditu-runkan kepadamu dan pada apa saja yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût (hukum dan undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 60).

Hal ini menunjukkan bahwa berhukum pada hukum yang tidak dibawa oleh Rasul adalah suatu kesesatan, karena tindakan demikian berarti berhakim kepada thâghût, yakni kekufuran. Padahal, Allah Swt. telah memerintah kaum Muslim untuk mengingkari thâghût itu.

****

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kaum Muslim berarti haram untuk mengambil peradaban (kultur) Barat beserta segala peraturan dan undang-undang yang dilahir-kannya. Sebab, peradaban tersebut bertentangan dengan peradaban Islam. Di luar itu, seperti peraturan dan undang-undang administratif, adalah mubah dan boleh diambil, seba-gaimana ‘Umar ibn al-Khaththâb telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.
Peradaban Barat berdiri di atas akidah pemisahan agama dari kehidupan serta pemisahan agama dari negara. Sebaliknya, peradaban Islam mendasarkan dirinya pada akidah Islam yang telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah dan larangan Allah, yakni hukum-hukum Islam.

Peradaban Barat berdiri di atas asas manfaat yang sekaligus dijadikan sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan mereka. Peradaban Barat adalah peradaban yang hanya mempertimbangkan nilai manfaat saja. Mereka tidak mem-perhitungkan nilai apa pun selain nilai manfaat yang bersifat materialistik. Walhasil, dalam peradaban Barat tidak akan dijumpai nilai keruhanian, nilai akhlaq, maupun nilai kema-nusiaan. Sebaliknya, peradaban Islam berdiri di atas lan-dasan ruhani (spiritual), yakni: keimanan kepada Allah; sikap untuk menjadikan prinsip halal-haram sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan; serta tindakan untuk mengendalikan seluruh aktivitas dan nilai berdasarkan perintah dan larangan Allah.
Lebih dari itu, peradaban Barat menganggap keba-hagiaan identik dengan upaya memberikan kenik-matan jasmaniah yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk memperolehnya. Sebaliknya, pera-daban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridha Allah Swt.
Atas dasar itulah, kaum Muslim haram mengambil sistem pemerintahan demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem kebebasan individu yang ada di negara-negara Barat. Dengan demikian, kaum Muslim tidak boleh meng-ambil konstitusi dan undang-undang demokrasi, sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank ribawi, serta sistem bursa dan pasar uang internasional. Kaum Muslim haram mengambil semua peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan Islam.

****

Sebagaimana halnya kaum Muslim haram mengam-bil peradaban Barat beserta segenap ide-ide dan peraturan yang dilahirkannya, maka mereka pun haram mengambil peradaban (kultur) Komunisme, karena peradaban ini, secara keseluruhan, juga bertentangan dengan peradaban Islam.
Peradaban Komunisme berdiri di atas suatu akidah yang menyatakan bahwa: tidak ada pencipta alam semesta ini; materi merupakan asal segala benda; dan seluruh benda di alam semesta ini berasal dari materi yang lahir melalui jalan evolusi. Sebaliknya, peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa: Allahlah yang menjadi Pencipta alam semesta ini; seluruh benda yang ada di alam semesta meru-pakan makhluk-Nya; Allah telah mengutus para nabi dan para rasul dengan membawa agama-Nya kepada umat manusia; dan Allah mewajibkan manusia untuk mengikuti perintah dan larangan-Nya yang telah diturunkan kepada mereka.
Peradaban Komunisme menganggap bahwa pera-turan hanya diambil dari alat-alat produksi. Masyarakat feodal yang menggunakan kapak sebagai alat produksinya akan mengambil peraturan feodalisme yang diilhami dari faktor alat-alat tersebut. Jika masyarakat tersebut ber-kembang menjadi masyarakat kapitalisme dan menjadikan mesin sebagai alat produksinya, maka mereka pun me-ngambil peraturan Kapitalisme dengan didasarkan pada faktor mesin. Walhasil, peraturan Komunisme diambil dari evolusi materi. Sebaliknya, peradaban Islam menganggap bahwa Allah Swt. telah menetapkan suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan dalam hidup mereka dan mengutus Muhammad saw. untuk membawa peraturan ini, sementara beliau telah menyampaikan peraturan tersebut kepada manusia dan mewajibkan mereka untuk melaksana-kannya.
Peradaban Komunisme memandang bahwa perat-uran yang bersumber dari faktor materi adalah tolok ukur dalam kehidupan. Dengan berkembangnya materi, maka berkembang pula tolok ukur manusia dalam kehidupan. Sebaliknya, peradaban Islam memandang halal-haram—yakni perintah dan larangan Allah—sebagai tolok ukur perbuatan manusia dalam kehidupan. Yang halal dikerja-kan, sementara yang haram ditinggalkan. Hukum-hukum Islam tidak akan berevolusi dan atau berubah. Prinsip halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan asas manfaat ataupun materialisme, melainkan ditetapkan atas dasar syariat semata. Dari sini, jelas bahwa ada perbedaan yang sangat mencolok antara peradaban Komunisme dan peradaban Islam.
Dengan demikian, kaum Muslim haram untuk meng-ambil peradaban Komunisme beserta segala ide dan peraturan yang berasal darinya. Oleh karena itu, kaum Muslim haram untuk mengambil ide evolusi materi, peng-hapusan kepemilikan individu, penghapusan kepemilikian pabrik dan alat produksi, dan penghapusan kepemilikan tanah bagi individu. Mereka pun haram untuk mengambil ide mempertuhankan manusia, penyembahan manusia, dan seluruh ide atau peraturan dari peradaban yang ateistik ini. Sebab, semua itu adalah ide dan peraturan kufur yang bertentangan dengan akidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukum Islam.

****

Sekarang, kami akan menjelaskan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam, baik dari segi sumber kemunculannya, akidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang berwenang untuk mengeluarkan hukum (al-hâkim) atas berbagai perbuatan ataupun benda, apakah baik (terpuji) ataukah buruk (tercela), adalah akal manusia. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa. Mereka muncul tatkala berlangsung pertarungan atau konfrontasi sengit antara para kaisar dan raja-raja di Eropa dengan rakyat mereka. Walhasil, demokrasi jelas merupakan produk buatan manusia, dan yang ber-wenang untuk menetapkan hukum atas segala hal adalah akal manusia.
Dalam hal ini, Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi. Islam berasal dari Allah yang telah diwahyukan-Nya kepada Rasul-Nya, Muhammad ibn ‘Abdillâh saw. Allah Swt. berfirman:


Tiadalah yang diucapkannya itu bersumber dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu Allah yang diwahyukan. (QS an-Najm [53]: 3-4).


Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. (QS al-Qadr [97]: 1).

Dalam Islam, yang berwenang mengeluarkan atau menetapkan berbagai hukum adalah Allah atau syariat Islam, bukan akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash hukum yang diturunkan oleh Allah Swt. Allah Swt. berfirman:


Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An‘âm [6]: 57).


Kemudian, jika kalian (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah). (QS an-Nisâ’ [4]: 59).


Tentang apa pun kalian berselisih, maka putusannya harus dikembalikan kepada Allah. (QS asy-Syûrâ [42]: 10).

****

Akidah yang melahirkan ide demokrasi adalah akidah sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan dan negara. Akidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniawan Kristen—yang diperalat oleh para raja dan kaisar serta dijadikan tunggangan untuk mengeksplotasi dan menzalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama—dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Akidah ini tidak mengingkari eksistensi agama; ia hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Konsekuensinya, akidah ini otomatis memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan kehidupannya sendiri. Akidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (qâ’idah fikriyyah) ide-ide Barat. Akidah ini lantas melahirkan peraturan kehidupan manusia. Di atas dasar akidah ini, orang-orang Barat kemudian menentukan orien-tasi pemikiran dan pandangan hidup. Dari akidah ini pula selanjutnya lahir ide demokrasi.
Sementara itu, Islam sangat berbeda secara diametral dengan Barat. Islam dibangun di atas landasan akidah Islam. Akidah ini mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah—yakni hukum-hukum yang lahir dari akidah Islam—dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Akidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan kehidupannya sendiri. Manusia hanya berkewa-jiban untuk menjalani kehidupannya menurut peraturan yang ditetapkan oleh Allah Swt. untuk manusia. Akidah Islam inilah yang menjadi asas peradaban (kultur) dan pandangan hidup Islam.

****

Dalam hal itu, ada dua ide pokok yang menjadi landasan demokrasi, yakni: (1) kedaulatan di tangan rakyat; (2) rakyat adalah sumber kekuasaan.
Demokrasi menetapkan bahwa rakyat alah pemilik sekaligus pelaksana kehendaknya sendiri, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang secara praktis menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, sekaligus pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum sebagai realisasi dari pelak-sanaan kehendak rakyat dan kehendak umum mayoritas rakyat. Dalam hal ini, rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil mereka.
Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apa pun berdasarkan per-timbangan mereka sesuai dengan kemaslahatan yang ada. Oleh karena itu, rakyat berhak mengubah sistem pemerin-tahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidentil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya, di Prancis, Italia, Spanyol, dan Yunani. Di negara-negara tersebut, rakyat telah meng-ubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan. Dalam sistem demokrasi pula, rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Rakyat pun, melalui para wakilnya, dianggap berhak menetapkan hukum tentang kebolehan untuk murtad dari satu agama dan beralih pada agama lain, atau bahkan pada keyakinan non-agama (animisme/paganisme). Rakyat juga dianggap berhak menetapkan hukum yang membolehkan perzinaan, tindakan homoseksual, serta mencari nafkah melalui kedua jalan tersebut.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, rakyat dapat memilih penguasa yang diingin-kannya untuk menerapkan hukum yang dibuat oleh mereka dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan meng-gantinya dengan penguasa lain. Artinya, rakyatlah yang me-miliki kekuasaan, sedangkan penguasa mengambil kekuasa-annya dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan syariat, bukan di tangan umat. Allah Swt. sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri‘ (Pembuat Hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walau pun hanya satu hukum. Sekiranya seluruh umat Islam berkumpul, lalu mereka menyepakati berbagai hal yang bertentangan dengan Islam—seperti memboleh-kan riba dalam rangka meningkatkan kondisi pereko-nomian; membolehkan adanya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat; menghapus kepemilikan individu; menghapus puasa Ramadhan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja; atau mengadopsi ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang Muslim untuk meyakini akidah apa saja yang diinginkannya, memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara (meskipun haram), memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamar dan berzina—maka seluruh kesepa-katan ini tidak ada artinya. Bahkan, dalam pandangan Islam, seluruh kesepakatan semacam ini tidak ada nilai sama sekali, walaupun jika dibandingkan dengan harga sehelai sayap nyamuk. Jika ada sekelompok kaum Muslim yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
Tindakan demikian didasarkan pada alasan bahwa kaum Muslim, dalam seluruh aktivitas hidup mereka, wajib senantiasa terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka haram melakukan suatu perbuatan yang berten-tangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka haram untuk membuat satu hukum pun, karena memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri‘. Dalam konteks ini, Allah Swt. berfirman:




Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) atas perkara apa saja yang mereka perseli-sihkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 65).



Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. (QS al-An‘âm [6]: 57).






Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu (al-Quran) dan pada apa saja yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thâghût, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thâghût itu. Setan sesungguhnya hendak menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS an-Nisâ’ [4]: 60).

Berhakim kepada thâghût artinya berhakim pada hukum yang tidak diturunkan Allah, atau, dengan kata lain, berhakim pada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.
Allah Swt. juga berfirman:




Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin. (QS al-Mâ’idah [5]: 50).

Hukum jahiliah adalah hukum yang tidak dibawa oleh Muhammad saw. dari Tuhannya, yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia. Allah Swt. berfirman:




Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS an-Nûr [24]: 63).

Yang dimaksud dengan menyalahi perintah Rasul—suatu hal yang harus diwaspadai—adalah mengikuti hukum yang dibuat oleh manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tidak termasuk perintah kami adalah tertolak. (HR Muslim).

Yang dimaksud dengan kata amrunâ (perintah kami) dalam hadis di atas adalah Islam.
Masih ada puluhan ayat dan hadis lain dengan penger-tian yang qath’‘î (pasti) yang menegaskan bahwa: kedaulatan adalah di tangan syariat, yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri‘; manusia tidak boleh membuat hukum; dan manusia wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum Muslim, semen-tara pelaksanaannya membutuhkan suatu kekuasaan. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan harus ada di tangan umat Islam. Artinya, umat memiliki hak untuk me-milih penguasa agar penguasa itu dapat menegakkan pe-laksanaan perintah dan larangan Allah atas mereka.
Prinsip demikian diambil dari sejumlah hadis menge-nai baiat. Hadis-hadis tersebut pada dasarnya menetapkan bahwa hak mengangkat khalifah berada di tangan kaum Muslim. Pengangkatan ini dilakukan dengan jalan baiat dalam rangka mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda:


Siapa saja yang mati sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada khalifah), berarti dia mati dengan kematian jahiliah. (HR Muslim).
‘Abdullâh ibn ‘Amr r.a. menuturkan bahwa dirinya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda demikian:




Siapa saja yang membaiat seorang imam (khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya (bertekad bulat untuk menaatinya), maka hen-daklah dia menaatinya sekuat kemampuannya. Jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka hendaklah mereka memenggal batang lehernya. (HR Muslim).

‘Ubâdah ibn ash-Shâmit r.a. juga bertutur demikian:




Kami telah membaiat Nabi saw. untuk mendengar dan menaatinya, baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai.

Di samping itu, masih banyak hadis lain yang mene-rangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan baiat untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Meskipun syariat telah menetapkan bahwa kekuasa-an itu berada di tangan umat—yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi baiat, tetapi syariat tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, sebagaimana halnya dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada sejumlah hadis yang mewajibkan umat taat kepada khalifah, meskipun dia ber-buat zalim, selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Dalam hal ini, Ibn ‘Abbas r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda demikian:




Siapa saja yang melihat sesuatu yang dia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah dia bersabar, karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jama-ah, walau sejengkal, lalu mati, maka dia mati jahiliah.

Sementara itu, ‘Auf ibn Mâlik r.a. telah bertutur demikian:
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:










....Sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian.
‘Auf ibn Mâlik lalu berkata, “Kami lantas bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu?” Rasulullah saw. menjawab, ‘Tidak, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang—yang menjadi rakyat seorang penguasa—menyaksikan penguasa itu melakukan tindakan kemaksiatan. Hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya.’”

Yang dimaksud dengan mendirikan shalat dalam hadis di atas ialah melaksanakan hukum-hukum Islam, karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan majâzî (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan.
Umat tidak boleh pula memberontak terhadap penguasa, kecuali jika penguasa tersebut menampakkan kekufuran secara terang-terangan, sebagaimana dipahami dari hadis ‘Ubâdah ibn ash-Shâmit mengenai baiat. Dalam hadis tersebut terdapat keterangan demikian:








Kami membaiat beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa saja yang harus kami lakukan, yakni bahwa kami membaiat beliau untuk mendengar dan menaatinya—dalam hal apa saja yang kami sukai dan apa saja yang kami benci, dalam apa saja yang sukar dan yang mudah bagi kami; untuk tidak lebih mengutamakan diri kami sendiri (daripada orang lain); dan untuk tidak merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali—Rasullah menga-takan—jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang di dalamnya kalian mempunyai bukti yang kuat dari sisi Allah.

Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhâlim, karena terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah merupakan suatu jenis kezaliman yang harus dilenyapkan. Kasus semacam ini juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan putusan (itsbât) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mahkamah Mazhâlim merupakan lembaga yang ber-wenang untuk memberikan putusan pelenyapan kezaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakim dalam mahka-mah ini memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezaliman dan memberikan putusannya. Oleh karena itu, Mahkamah Mazhâlim-lah yang berhak memutuskan apakah kasus kezaliman di atas telah terjadi atau tidak; Mahkamah Mazhâlim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.

***

Demokrasi dapat dianggap sebagai “pemerintahan mayoritas” dan “hukum mayoritas”. Pemilihan para pe-nguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota ber-bagai lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan “suara bulat (mayoritas)”. Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan, pengambilan kepu-tusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan orga-nisasi; seluruhnya dilaksanakan ber-dasarkan “pendapat mayoritas”.
Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi, pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa ataupun bukan. Sebab, “pendapat mayoritas” dipandang sebagai ekspresi dari kehendak rakyat. Oleh karena itu, pihak minoritas tidak mempunyai pilihan selain tunduk dan mengikuti “pendapat mayoritas”.
Sementara itu, dalam Islam, permasalahannya sangat-lah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum, kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syariat. Sebab, yang menjadi Musyarri’ hanyalah Allah Swt., bukan umat. Pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syariat yang menjadi ke-harusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan roda pemerintahan adalah khalifah saja. Khalifah mengambil hukum dari nash-nash syariat yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Pengambilan hukum tersebut dida-sarkan pada kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn di masa lalu pernah meminta pendapat para saha-bat ketika mereka hendak mengadopsi suatu hukum syariat. Hal semacam ini pernah dilakukan oleh ‘Umar ibn al-Khaththâb. Ia, misalnya, pernah meminta pendapat kaum Muslim tatkala hendak mengadopsi hukum syariat mengenai masalah tanah-tanah taklukkan di Syam, Mesir, dan Irak.
Kalaupun khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syariat yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Hal semacam ini didasarkan pada realitas bahwa Rasulullah saw. pernah mengesampingkan pendapat kaum Muslim yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah, padahal pendapat kaum Muslim waktu itu me-rupakan pendapat mayoritas. Akan tetapi, kendati demikian, Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menye-pakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. bersabda kepada mereka:


Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.

Selain itu, para sahabat yang mulia telah bersepakat bahwa seorang imam (khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukum-hukum Islam tertentu sekaligus meme-rintahkan rakyat untuk mengamalkannya. Dalam hak ini, kaum Muslim wajib menaatinya dan meninggalkan pen-dapat mereka. Dari adanya Ijma Sahabat inilah di-istinbâth (diambil dan ditetapkan) kaidah-kaidah syariat yang terkenal:


Perintah (keputusan) imam (khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat.



Perintah (keputusan) imam wajib dilaksanakan secara lahir maupun batin.




Penguasa (khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru sesuai dengan perkembangan problem yang terjadi.

Di samping itu, Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk menaati ulil amri, sebagaimana firman-Nya:




Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kalian. (QS an-Nisâ’ [4]: 59)

Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa Muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam.
Sementara itu, dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya; bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas; artinya, masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fikih dikem-balikan kepada para fukaha dan para mujtahid. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide atau gagasan dikem-balikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya. Dengan demikian, yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Pendapat yang tepat ini diambil dari pihak yang ber-kompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.
Patut dicatat bahwa para anggota majelis perwakilan rakyat (parlemen), baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu me-mahami setiap permasalahan secara tepat. Konse-kuensinya, suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majelis hanyalah formalitas belaka; tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan yang tepat. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat. Dalil dalam kaitannya dengan ketentuan semacam ini adalah realitas bahwa Rasulullah saw. pernah mengikuti pendapat al-Hub¬âb ibn al-Mundzir pada Perang Badar—ia merupakan pakar yang memahami benar tempat-tempat yang dianggap strategis—yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al-Hubâb pada saat itu memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Rasulullah mengikuti pendapat al-Hubâb dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh al-Hubab. Dengan demikian, Rasulullah saw. telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para sahabat lainnya dalam masalah tersebut.
Sementara itu, dalam masalah-masalah yang langsung berkaitan dengan amalan praktis yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas. Sebab, mayoritas orang dipandang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah dan gampang sesuai dengan pertimbangan kemaslahatan yang ada. Contoh dalam masalah ini antara lain: apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya, penerj.); apakah kita akan keluar kota atau tidak; apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari; apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pen-dapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini, suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah saw. ketika Perang Uhud. Pada saat itu, Rasulullah saw. dan para sahabat senior berpen-dapat bahwa kaum Muslim tidak perlu keluar dari kota Madinah, sedangkan mayoritas sahabat—khususnya para pemudanya—berpendapat bahwa kaum Muslim hendak-nya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy. Artinya, pada saat itu, pendapat yang ada ber-kisar di antara dua pilihan: keluar kota Madinah atau tidak. Karena mayoritas sahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi saw. mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para sahabat senior. Setelah itu, beliau dan para sahabat kemudian berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.

***

Dalam pada itu, ide kebebasan umum bagi setiap individu sesungguhnya merupakan salah satu ide yang paling menonjol dalam demokrasi. Ide ini dianggap sebagai salah satu pilar penting dalam demokrasi. Dengan ide ini, tiap-tiap individu akan dapat melaksanakan dan menja-lankan kehendaknya seperti yang diinginkannya tanpa tekanan atau paksaan. Rakyat dianggap tidak akan dapat mengekspresikan kehendak umumnya, kecuali dengan terpenuhinya kebebasan individu yang berlaku umum bagi seluruh rakyat.
Kebebasan individu merupakan suatu ajaran suci dalam sistem demokrasi sehingga negara ataupun individu tidak dibenarkan melanggarnya. Sistem demokrasi kapitalis menganggap bahwa adanya peraturan yang bersifat individualistik serta pemeliharaan dan penjagaan terhadap kebebasan individu merupakan salah satu tugas utama negara.
Kebebasan umum yang berlaku bagi setiap individu yang dibawa demokrasi tidak dapat diartikan sebagai pembebasan bangsa-bangsa terjajah dari negara-negara penjajahnya yang telah mengeksploitasi dan merampas kekayaan alamnya. Alasannya, ide penjajahan tidak lain merupakan salah satu buah dari ide kebebasan kepemilikan yang justru dibawa oleh demokrasi itu sendiri. Kebebasan ini juga tidak berarti pembebasan dari perbudakan, sebab budak saat ini sudah tidak ada lagi.
Kebebasan umum bagi setiap individu mencakup empat hal sebagai berikut:
1. Kebebasan beragama.
2. Kebebasan berpendapat.
3. Kebebasan kepemilikan.
4. Kebebasan berperilaku.

Keempat macam kebebasan ini tidak ada dalam kamus Islam, karena seorang Muslim wajib mengikatkan diri dengan hukum syariat dalam seluruh perbuatannya. Seorang Muslim tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya. Dalam Islam, tidak ada yang disebut kebebasan, kecuali kebebasan budak dari perbudakan, sedangkan perbudakan itu sendiri sudah lenyap sejak lama.
Keempat macam kebebasan tersebut sangat berten-tangan dengan Islam dalam segala aspeknya—sebagaimana yang akan kami jelaskan.

***

Kebebasan beragama berarti bahwa seseorang berhak meyakini suatu akidah yang dikehendakinya atau memeluk agama yang disenanginya, tanpa tekanan atau paksaan. Dia berhak pula meninggalkan akidah dan agamanya, berpindah pada akidah atau agama baru, atau bahkan berpindah pada kepercayaan non-agama (ani-misme/paganisme). Dia berhak melakukan semua itu sebe-bas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan. Oleh kare-na itu, seorang Muslim, misalnya, berhak mengganti agama-nya untuk kemudian memeluk agama Kristen, Yahudi, Budha, atau Komunisme dengan sebebas-bebasnya; tanpa ada larangan atas dirinya dari negara atau pihak lain untuk mengerjakan semua itu.
Hal semacam ini bertentangan dengan Islam. Islam telah mengharamkan seorang Muslim untuk meninggalkan akidah Islamnya atau murtad dari Islam untuk kemudian memeluk agama Yahudi, Kristen, Budha, Komunisme, atau Kapitalisme. Siapa saja yang murtad dari agama Islam, dia akan diminta untuk bertobat. Jika dia kembali pada Islam, itulah yang diharapkan. Akan tetapi, jika tidak, dia akan dijatuhi hukuman mati, disita hartanya, dan diceraikan dari istrinya. Dalam konteks ini, Rasulullah saw.:


Siapa saja yang mengganti agamanya (Islam), jatuhkanlah hukuman mati atasnya. (HR Muslim dan Ashhâb as-Sunan)

Jika yang murtad adalah sekelompok orang, semen-tara mereka tetap bersikeras untuk murtad, maka mereka akan diperangi hingga mereka kembali pada Islam atau dibinasakan. Realitas semacam ini pernah terjadi pada orang-orang murtad setelah wafatnya Rasulullah, yakni tatkala Abu Bakar memerangi mereka dengan sengit sampai sebagian orang yang tidak terbunuh kembali pada Islam.

***
Sementara itu, kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi mempunyai arti bahwa setiap individu berhak untuk mengembangkan pendapat atau ide apa pun, bagai-mana pun bentuknya. Dia berhak menyatakan atau menye-rukan ide atau pendapat itu dengan sebebas-bebas-nya tanpa ada syarat atau batasan apa pun dan bagaimana pun bentuknya. Dia berhak pula mengungkapkan ide atau pen-dapatnya itu dengan cara apa pun, tanpa ada larangan bagi-nya untuk melakukan semua itu, baik dari negara ataupun pihak lain, selama dia tidak mengganggu kebebasan orang lain. Oleh karena itu, setiap larangan untuk mengembang-kan, mengungkapkan, dan menyebarluaskan pendapat akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap kebebasan.
Ketentuan ajaran Islam dalam masalah ini sangatlah berbeda. Seorang Muslim dalam seluruh perbuatan dan perkataannya wajib terikat dengan apa yang terkandung dalam nash-nash syariat. Dengan demikian, dia tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau mengucapkan suatu perkataan, kecuali jika dalil-dalil syariat telah memboleh-kannya.
Atas dasar ini, seorang Muslim berhak mengem-bangkan, menyatakan, dan menyerukan pendapat apa pun, selama dalil-dalil syara telah membolehkannya. Akan tetapi, jika dalil-dalil syariat telah melarangnya, maka seorang Muslim tidak boleh mengembangkan, menyatakan, atau menyerukan pendapat tersebut. Jika dia tetap melakukannya, dia akan dikenai sanksi. Dengan demikian, seorang Muslim itu wajib terikat dengan hukum-hukum syariat dalam mengembangkan, menyatakan, dan menye-rukan suatu pendapat. Dia tidak bebas untuk melakukan semaunya.
Islam sendiri telah mewajibkan seorang Muslim untuk mengucapkan kebenaran di setiap waktu dan tem-pat. Dalam hadis ‘Ubâdah ibn ash-Shâmit r.a. disebutkan demikian:




...dan kami akan mengatakan kebenaran di mana pun kami berada. Kami tidak takut karena Allah terhadap celaan orang yang mencela.

Islam juga telah mewajibkan kaum Muslim untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa sekaligus mengawasi dan mengoreksi tindakan mereka. Ummu ‘Athiyah menuturkan riwayat dari Abu Sa‘îd r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda demikian:


Jihad paling utama adalah (menyampaikan) perkataan yang haq kepada penguasa zalim.

Abû Umâmah r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya oleh seseorang pada saat melempar Jumrah ‘Aqabah, “Jihad apa yang paling utama, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. lalu menjawab:


Yaitu menyampaikan perkataan yang haq kepada penguasa zalim.

Rasululah saw. juga pernah bersabda:




Pemimpin para syuhada adalah Hamzah dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa yang zalim, lalu dia menasihatinya, dan kemudian penguasa itu membu-nuhnya.

Tindakan semacam ini tidak dipandang sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, melainkan justru realisasi dari keterikatan dengan hukum-hukum syariat, yakni kebolehan menyampaikan pendapat dalam satu keadaan dan kewajiban menyampaikan pendapat dalam keadaan lain.

***
Sementara itu, kebebasan kepemilikan—yang telah melahirkan sistem ekonomi Kapitalisme, yang selanjutnya melahirkan ide penjajahan terhadap bangsa-bangsa di dunia serta perampokan kekayaan alamnya—bermakna bahwa seseorang boleh memiliki harta (modal) dan boleh mengem-bangkannya dengan sarana dan cara apa pun. Seorang pe-nguasa dianggap berhak memiliki harta dan mengembang-kannya melalui imperialisme, perampasan, dan pencurian harta kekayaan alam dari bangsa-bangsa yang dijajah. Seseorang dianggap pula berhak memiliki dan mengem-bangkan harta melalui usaha-usaha seperti: penimbunan dan mudhârabah (usaha-usaha komanditen/trustee); mengambil riba; menyembunyikan cacat barang dagangan; berlaku curang dan menipu; menetapkan harga tinggi secara tidak wajar; mencari uang melalui judi, zina, homoseksual, dan mengeksploitasi tubuh wanita; mempro-duksi dan menjual khamr; menyuap; atau menempuh cara-cara lainnya.
Ajaran Islam, dalam hal ini, sangat bertolak belakang dengan ide kebebasan kepemilikan tersebut. Islam telah memerangi ide penjajahan bangsa-bangsa serta ide peram-pokan dan penguasaan kekayaan alam bangsa-bangsa di dunia. Islam juga menentang praktik riba, baik yang berlipat ganda maupun yang sedikit. Seluruh macam riba dilarang. Di samping itu, Islam telah menetapkan adanya sebab-sebab kepemilikan harta, sebab-sebab pengembangannya, dan cara-cara pengelolaannya. Islam meng-haramkan ketentuan di luar itu semua. Islam mewajibkan seorang Muslim untuk terikat dengan hukum-hukum Islam dalam usahanya untuk memiliki, mengem-bangkan, dan mengelola harta. Islam tidak memberikan kebebasan kepadanya untuk mengelola harta sekehendaknya, tetapi Islam telah mengikatnya dengan hukum-hukum syariat. Islam mengharamkan seseorang untuk memiliki dan mengembangkan harta secara batil, misalnya dengan cara merampas, merampok, mencuri, me-nyuap, mengambil riba, berjudi, berzina, berhomoseksual, menutup-nutupi kecacatan barang dagangan, berlaku curang dan menipu, menetapkan harga tinggi dengan tidak wajar, memproduksi dan menjual khamar, mengeksploitasi tubuh wanita, dan cara-cara lain yang telah diharamkan sebagai jalan untuk memiliki dan mengembangkan harta.
Semua itu merupakan sebab-sebab pemilikan dan pengembangan harta yang dilarang Islam. Setiap harta yang diperoleh melalui jalan-jalan itu adalah haram dan tidak boleh dimiliki. Pelakunya akan dijatuhi sanksi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kebebasan kepe-milikan harta tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan, sebalik-nya, Islam mewajibkan setiap Muslim untuk terikat dengan hukum-hukum syariat dalam hal kepemilikan, pengem-bangan, dan pengelolaan harta. Dia tidak boleh melanggar hukum-hukum itu.

***


Kebebasan bertingkah laku artinya adalah kebebasan untuk lepas dari segala macam ikatan dan kebebasan untuk melepaskan diri dari setiap nilai keruhanian, akhlak, dan kemanusiaan. Kebebasan bertingkah laku juga berarti kebebasan untuk memporak-porandakan keluarga dan untuk membubarkan atau melestarikan institusi keluarga. Kebebasan ini merupakan jenis kebebasan yang telah menimbulkan segala kebinasaan dan membolehkan segala sesuatu yang telah diharamkan. Kebebasan inilah yang telah menjerumuskan masyarakat Barat menjadi “masyarakat binatang” yang sangat memalukan dan membejatkan moral individu-individunya sampai ke derajat yang lebih hina daripada binatang ternak. Kebebasan ini menetapkan bahwa setiap orang dalam perilaku dan kehidupan pribadinya berhak untuk berbuat apa saja sesuai dengan kehendaknya; sebebas-bebasnya, tanpa boleh ada larangan, baik dari negara atau pihak lain terhadap perilaku yang disukainya. Ide kebebasan ini telah membolehkan seseorang untuk melakukan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, meminum khamar, bertelanjang, dan melakukan perbuatan apa saja—walaupun sangat hina—dengan sebebas-bebasnya; tanpa ada ikatan atau batasan, tanpa tekanan atau paksaan.
Hukum-hukum Islam sangat bertentangan dengan kebebasan bertingkah laku semacam ini. Tidak ada kebebasan bertingkah laku dalam Islam. Seorang Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah dalam seluruh perbuatan dan tingkah lakunya. Ia haram melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Allah. Jika seorang Muslim mengerjakan suatu perbuatan yang diharamkan, dia dipandang telah berdosa dan akan dijatuhi hukuman yang sangat keras.
Islam telah mengharamkan perzinaan, homoseksual, lesbianisme, minuman keras, telanjang, dan hal-hal lain yang merusak. Atas setiap perbuatan tersebut, Islam telah menetapkan sanksi tegas yang dapat membuat pelakunya jera.
Islam pun memerintah kaum Muslim untuk berakhlak mulia dan terpuji. Islam juga telah memerintah kaum Muslim untuk menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang bersih dan sangat memelihara kehormatannya serta penuh dengan nilai-nilai yang mulia.

***

Dari seluruh penjelasan di atas, tampak jelas bahwa peradaban, nilai-nilai, pandangan hidup, dan demokrasi Barat, serta kebebasan umum bagi setiap individu berten-tangan secara total dengan hukum-hukum Islam; selu-ruhnya merupakan ide-ide, peradaban, peraturan, dan undang-undang kufur. Oleh karena itu, tindakan yang bodoh dan menyesatkan jika ada orang yang mengatakan bahwa: demokrasi adalah bagian dari ajaran Islam; demokrasi identik dengan sistem syûrâ (permusyawa-ratan) dalam Islam; atau demokrasi identik dengan amar makruf nahi mungkar dan tindakan mengoreksi tingkah laku penguasa.
Syûrâ, amar makruf nahi mungkar, dan mengoreksi penguasa, adalah hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan Allah Swt. Kaum Muslim telah diperintahkan untuk mengambil dan melaksanakannya dengan anggapan bahwa semua itu adalah hukum-hukum Islam. Sebaliknya, demo-krasi bukanlah termasuk bagian dari hukum-hukum Islam dan tidak berasal dari peraturan Allah. Demokrasi adalah buatan manusia dan peraturan manusia. Demokrasi bukan syûrâ, karena syûrâ artinya adalah memberikan pendapat. Sebaliknya, demokrasi sebenarnya merupakan suatu pandangan hidup dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan peraturan yang telah dibuat oleh manusia menurut akal mereka sendiri. Mereka mene-tapkan ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kemasla-hatan yang dipertimbangkan menurut akal, bukan menurut wahyu dari langit.
Atas dasar itu semua, kaum Muslim haram mengambil dan menyebarluaskan demokrasi serta mendirikan partai-partai politik yang berasaskan demokrasi. Kaum Muslim haram pula menjadikan demokrasi sebagai pandangan hidup dan menerapkannya; atau menjadikannya sebagai asas bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai sumber bagi konstitusi dan undang-undang; atau sebagai asas bagi sistem pendidikan dan penentuan tujuannya. Sebaliknya, kaum Muslim wajib membuang demokrasi sejauh-jauhnya karena demokrasi adalah najis dan merupakan hukum thâghût. Demokrasi adalah sistem kufur yang mengandung berbagai ide, peraturan, dan undang-undang kufur. Demokrasi tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali.
Walhasil, kaum Muslim wajib menerapkan dan melak-sanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan bermasya-rakat dan bernegara.






Siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas ke-benaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, niscaya Kami membiarkan mereka berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami memasukkannya ke dalam Jahanam, semen-tara Jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. (QS an-Nisâ’ [4]: 115).


Telah selesai dengan pertolongan dan karunia Allah Swt., pada hari Ahad tanggal 3 Dzulqa’dah 1410 H,
bertepatan dengan tanggal 17 Mei 1990 M.

‘Abdul Qadîm Zallûm

baca selanjutnya..