Jumat, 10 April 2009


Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Janganlah engkau menilai kebenaran itu dari orangnya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka engkau akan mengenal orang yang mengembannya. (Imam Ali bin Abi Thalib kw)

Kelahiran dan pertumbuhan

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dilahirkan di Iljim, masuk wilayah Haifa. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Musthofa bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani. Ayah beliau adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariat di Kementrian Pendidikan Palestina. Pendidikan awal beliau diterima dari ayah beliau. Dibawah bimbingan sang ayah, beliau sudah hafal Al Qur’an seluruhnya sebelum menginjak usia 13 tahun. Beliau juga mendapat pengajaran fikih dan Bahasa Arab. Beliau menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya. Ibunda beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariat yang diperoleh dari kakek beliau, Syaikh Yusuf An-Nabhani.

Beliau juga dibimbing dan diasuh oleh kakek beliau ini, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Hasan bin Muahammad Nashiruddin an-Nabhani; seorang qadhi, penyair, sastrawan, dan ulama besar. Sekembali dari menuntut ilmu di Al Azhar, Syaikh Yusuf kembali ke kota asal dan memberikan pengajaran agama di Aka. Beliau lalu menjabat qadhi di Qushbah Jenin, masuk wilayah Nablus. Beliau lalu pindah ke Konstantinopel dan kemudian diangkat menjabat qadhi di Sinjiq, masuk wilayah Mosul. Beliau pernah menjabat kepala Mahkamah Al-Jaza di Ladzikiqiyah, kemudian di al-Quds. Selanjutnya, beliau menjabat ketua Mahkamah al-Huquq di Beirut.

Beliau termasuk pelaku sejarah masa akhir Khilafah Utsmaniyah. Beliau berpendapat bahwa Khalifah Utsmaniyah merupakan penjaga agama dan akidah, symbol kesatian kaum Muslim, dan mempertahankan institusi umat. Beliau berseberangan dengan Muhammad Abduh dalam metode tafsir; Abduh menyerukan perlunya penakwilan nash dan agar tafsir merujuk pada tuntutan kondisi. Beliau juga bersebrangan dengan Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya, yang menyerukan reformasi. Menurut beliau, tuntutan reformasi itu meniru protestan. Dalam Islam tidak ada reformasi agama (seperti dalam pemahaman protestan) itu. Beliau juga menentang gerakan misionaris dan sekolah-sekolah misionaris yang mulai tersebar pada masa beliau.

Karena itu, di samping seorang ulama yang faqih, Syaikh Yusuf an-Nabhani juga seorang politikus yang selalu memperhatikan dan mengurus urusan umat.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani banyak diasuh dan dibimbing oleh sang kakek ini. Beliau banyak menimba ilmu syariat dari sang kakek. Beliau banyak belajar dan memahami masalah-masalah politik yang penting dari sang kakek, yang mengalami langsung dan memiliki hubungan erat dengan penguasa Utsmaniyah. Beliau juga sering mengikuti ceramah dan diskusi yang dibawakan oleh sang kakek.

Walhasil, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tumbuh dan berkembang dalam suasana keagamaan yang kental. Beliau juga sejak usia sangat dini telah bergelut dengan masalah-masalah politik. Semua itu memiliki pengaruh besar dalam membentuk kepribadian beliau.

Melihat bakat kemampuan yang sangat besar dalam diri Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sang kakek meyakinkan sang ayah agar mengirimkan Taqiyuddin remaja ke al-Azhar untuk melanjutkan studi dalam ilmu-ilmu syariat.

Pendidikan Beliau

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menamatkan pendidikan dasar di sekolah dasar negeri di Ijzim. Beliau kemudian melanjutkan ke sekolah menengah di Akka. Lalu beliau melanjutkan studi di Tsanawiyah Syariah di Haifa. Sebelum menyelesaikannya beliau pindah ke Kairo; melanjutkan studi di Tsanawiyah al-Azhar (setingkat SMU) pada tahun 1928. Pada tahun yang sama beliau meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Kemudian beliau melanjutkan studi di kulliyah Dar al-Ulum yang merupakan cabang al-Azhar dan secara bersamaan beliau juga belajar di Universitas al-Azhar.

Dengan system al-Azhar waktu itu, mahasiswa dapat memilih beberapa syaikh al-Azhar dan menghadiri halaqoh-halaqoh mereka mengenai bahasa Arab, fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, tauhid dan ilmu-ilmu syariat lainnya. Saat itu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani memilih dan mengikuti halaqoh para syaikh al-Azhar seperti yang dianjurkan sang kakek, Syaikh Yusuf an-Nabhani; diantaranya mengikuti halaqoh Syaikh al-Hidhir (al-Akhdar) Husain.

Pada tahun 1932 beliau lulus dari kulliyah Dar al-‘Ulum dan juga menamatkan studi di al-Azhar as-Syarif.

Selama studi di dua Universitas ini beliau tampak menonjol dan istimewa dalam kecerdasan dan kesungguhan. Beliau dikenal oleh teman sesama mahasiswa dan para pengajarnya sebagai sosok yang memiliki kedalaman pemikiran, pendapat yang kuat, serta kekuatan argumentasi dalam setiap diskusi dan forum pemikiran; juga memiliki keistimewaan dalam ketekunan, kesungguhan, dan besarnya perhatian untuk memanfaatkan waktu guna menimba ilmu dan belajar.

Ijazah yang beliau raih diantaranya adalah: Ijazah Tsanawiyah al-Azhariyah; Ijazah al-Ghuroba’ dari al-Azhar; Diploma Bahasa dan Sastra Arab dari Dar al-‘Ulum; Ijazah dalam peradilan dari Ma’had al ‘Ali li al-Qadha’ (Sekolah Tinggi Peradilan), salah satu cabang al-Azhar. Pada tahun 1932 beliau meraih Syahaadah al Alamiyah (Ijazah Internasional) syariah dari Universitas al-Azhar as Syarif dengan predikat excellent.

Aktivitas-aktivitas Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Setelah menyelesaikan studi di Dar al-‘Ulum dan al-Azhar, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani kembali ke Palestina dan mulai mengajar di Sekolah Tsanawiyah Negeri (setingkat SMU) dan di sekolah-sekolah Islam di Haifa. Aktivitas mengajar ini beliau lakoni dari tahun 1932-1938. Pada tahun 1938 beliau beralih profesi dengan berkarya di lapangan peradilan. Hal itu karena beliau memandang bahwa pendidikan dan semua aktivitas yang terkait dengan kurikulum telah banyak dipengaruhi barat sehingga telah banyak menyimpang. Sebaliknya, bidang peradilan relatif lebih terjaga. Karenanya, beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah.

Banyak sejawat beliau semasa di al-Azhar yang bekerja di peradilan. Dengan bantuan mereka, pada tahun 1938 beliau mulai menjabat Sekretaris Mahkamah di Bissan, lalu pindah ke Taberriya. Sesuai dengan pendidikannya, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengajukan permohonan untuk menjadi qadhi. Majelis al-Islami al-A’la lalu menyetujuinya dan memindahkan beliau ke Mahkamah Syariah di Haifa untuk menjabat Kepala Sekretaris (Baasy Kaatib).

Pada tahun 1940, beliau diangkat sebagai asisten (musyaawir) qadhi sampai tahun 1945. Pada tahun ini beliau diangkat sebagai qadhi di Ramalah sampai tahun 1948. Pada tahun ini pula beliau terpaksa eksodus ke Syiria akibat Palestina jatuh ke tangan Yahudi.

Tidak lama, pada tahun ini pula, sejawat beliau, Ustadz Anwar al Khatib, mengirim surat meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk menjabat qadhi di al-Quds (Yerusalem). Dengan demikian, sejak tahun 1948 ini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjabat qadhi di Mahkamah Syariah di al-Quds (Yerusalem).

Selanjutnya, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Isti’naf saat itu, Syaikh Abd al-Hamid as-Sa’ih, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf. Beliau terus menduduki jabatan ini sampai mengundurkan diri tahun 1950 (1951).

Pada tahun 1951 beliau pindah ke Amman dan mengajar di Fakultas Ilmu-ilmu Islam (Al-Kulliyah al-’Ilmiyyah al-Islamiyyah) sampai tahun 1953. Beliau mengajar mata pelajaran Tsaqaafah al-Islamiyyah sesuai dengan izin Dekan waktu itu. Ustadz Basyir Shiba’. Buku beliau, As-Syakhshiyyah al-Islamiyyah cetakan tahun 1952, menjadi buku ajar.

Aktivitas Politik

Sejak usia dini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani telah bergelut dengan masalah-masalah politik ketika dibimbing oleh sang kakek. Begitu pula ketika beliau kuliah di Dar al-’Ulum dan al Azhar, teman-teman beliau semasa kuliah menceritakan aktivitas beliau yang tanpa lelah dalam diskusi politik dan keilmuan. Mereka juga sangat menghargai kontribusi beliau dalam sejumlah diskusi politik. Di dalamnya beliau senantiasa mengkritisi kemunduran umat serta mendorong aktivitas politik dan intelektual untuk membangkitkan umat dan mewujudkan kembali Daulah Islam. Beliau juga menggunakan kesempatan itu untuk mendorong dan mendesak para ulama al-Azhar dan lembaganya memainkan peran aktif dalam membangkitkan umat.

Setelah kembali dari studi di al Azhar, beliau sangat memperhatikan upaya pembaratan umat Islam yang dilakukan oleh para penjajah semisal Inggris dan Prancis. Beliau juga banyak menjalin kontak dan diskusi dengan para ulama tokoh pergerakan dan tokoh masyarakat seputar upaya membangkitkan kembali umat Islam.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pernah beberapa saat menghabiskan waktu bersama Mujahid masyhur Syaikh Izzuddin al-Qasam. Beliau membantu merancang rencana untuk sebuah pergolakan revolusioner menentang Inggris dan Yahudi.

Jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi tahun 1948 memberikan keyakinan kepada beliau bahwa hanya aktivitas yang terorganisasi dan memiliki akar pemikiran Islam yang kuat sajalah yang akan dapat mengembalikan kekuatan dan keagungan umat Islam.

Karena itu, beliau mulai melakukan persiapan yang sesuai untuk struktur partai, rujukan pemikiran dan sebagainya; setidaknya sejak 1949 ketika beliau masih menjabat qadhi di al-Quds. Pada tahun 1950 beliau merilis buku beliau yang pertama, yaitu Inqaadz Filisthin (membebaskan Palestina). Beliau menunjukkan akar yang sangat dalam, bahwa Islam telah hadir di Palestina sejakabad VII, dan bahwa sebab utama kemunduran yang mendera Arab adalah karena umat ini telah menarik diri dan menyerahkan diri pada kekuasaan penjajah; dan ini adalah fakta.

Pada tahun 1950, beliau hendak menghadiri KTT kebudayaan Liga Arab di Alexandria, Mesir, namun beliau dilarang pergi. Padahal, Menteri Pendidikan dan Qadhi Qudhat (Hakim Agung) waktu itu, yaitu Syaikh Muhammad al-Amin as-Sanqaythi, telah menyetujui untuk menghadiri KTT.

Akhirnya, beliau mengirimkan surat yang sangat panjang kepada para peserta KTT dan kemudian dikenal sebagai Risalah al-Arab. Beliau menekankan bahwa misi yang benar dan hakiki dari Arab adalah Islam; hanya di atas asas Islam sajalah pemikiran dan kebangkitan kembali politik umat Islam akan bisa dicapai.

Tidak ada respon sama sekali dari para anggota KTT. Hal itu lebih menguatkan keyakinan beliau sebelumnya, bahwa pendirian partai politik menjadi perkara yang sangat urgen dan mendasar. Karena itu, pada akhir 1952 dan awal 1953, seluruh persiapan diwujudkan dalam tataran praktis, lalu Hizbut Tahrir (HT) didirikan di al-Quds.

UU Kepartaian Utsmani yang saat itu masih diterapkan di Palestina menyatakan, bahwa cukup dengan telah disampaikannya permintaan pendirian partai ke lembaga tertentu, dan cukup dengan publikasi bahwa permintaan itu telah diterima dan publikasi pendirian partai, maka itu sudah dinilai sebagai lisensi resmi bagi partai dan izin bagi partai untuk melaksanakan aktivitasnya. Saat itu belum ditetapkan aturan kepartaian yang baru.

Karena itu, HT mengirimkan permohonan pendirian partai ke Departemen Dalam Negeri Yordania dan mempublikasikan pendirian Hizbut Tahrir di Harian Ash-Sharih edisi 14 Maret 1953, dengan susunan pengurus: Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai ketua partai; Dawud Hamdan, wakil ketua merangkap sekretaris; Ghanim Abduh, bendahara; Munir Syaqir, anggota; dan Dr. ’Adil an-Nablusi, anggota.

Surat balasan dari Departemen Dalam Negeri Yordania adalah sebagai berikut:

No : ND/70/52/916

Tanggal : 14 Maret 1953



Kepada Yth.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan seluruh pendiri Hizbut Tahrir

Saya telah meneliti berita yang telah dilansir Surat Kabar Ash-Shariih nomor hari ini dengan judul, “Hay’at at-Tahrir, Tasjiil al Hizo Rasmillan fii al-Quds.”

Saya berharap dapat memberi pengertian kepada Anda, bahwa apa yang dirilis mengenai pendirian partai secara resmi di al-Quds tidak bisa dibenarkan, dan bahwa sampainya apa yang Anda sekalian tarima dari kepala kantor saya secara resmi diterimanya permintaan Anda sekalian, dalam pandangan Undang-undand Dasar, tidak dinilai sebagai izin bagi Anda sekalian. Hal itu karena izin pendirian partai dan pengakuan terhadapnya bergantung pada kepentingan negara seperti yang telah saya tunjukkan kepada Anda sekalian dalam beberapa tulisan yang dikirimkan kepada Anda sekalian mengenai tidak adanya persetujuan atas pendirian partai

Wakil Departemen Dalam Negeri

Ali Hazanah

Atas dasar ini, pemerintah Yordania mengeluarkan larangan berdirinya HT dan menyatakan aktivitasnya sebagai ilegal. Namun, HT mengabaikan hal itu dan terus beraktivitas hingga Sekarang.

Pada tahun 1953, pada masa kabinet Tawfiq ‘Abdul Hadi (alm), Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bersama Ustadz Dawud Hamdan di tangkap di al-Quds; sementara Munir Syaqir dan Ghanim Abduh di tangkap di Amman; lalu beberapa hari berikutnya, Dr. Abd al-Azis al-Khiyath juga ditangkap; semuanya dijebloskan ke penjara.

Pada waktu itu HT berhasil meyakinkan sejumlah wakil rakyat dan pejabat kabinet di Amman. Akhirnya, sekelompok wakil rakyat, pengacara, pebisnis, dan sejumlah orang yang memiliki kedudukan mengirimkan petisi yang menuntut lembaga berwenang agar membebaskan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan colega beliau. Petisi ditandatangani sebanyak 37 orang.

Dr. Abd al-‘Azis al-Khiyath bertutur:

Tiga hari setelah saya masuk penjara, di kantor kepala penjara, seorang yang Sangay baik, H. Salim, terjadi diskusi antara kami dan utusan ketua kabinet, Muhammad Ali Batir, Rasyid al-Khiyath, dan seorang wakil rakyat Rasyad Thawqan. Diskusi membahas dakwah islamiyah dan aktivitas Hizbut Tahrir, bahwa dalam aktivitas Hizbut Tahrir tidak ada yang menyalahi perundang-undangan; tidak ada seruan pada kekerasan. Kami tidak lain menyerukan pemikiran kami dengan metode yang damai dan hal itu dijamin UUD. Mereka sepaham dengan kami. Hari berikutnya, kami dibebaskan.

Glubb Pasya, seorang pejabat Inggris yang kala itu menjadi Staff Angkatan Bersenjata Jordania, yang ironisnya disebut Arab Legion of British Army (Legion Arab Tentara Inggris)—dialah yang secara real berkuasa di Yordania—mendesak pemerintahan boneta di Yordan untuk menggunakan semua alat yang diperlukan untuk ‘mencekik’ HT dan aktivitasnya. Tahun 1954 dikeluarkan Qaanuun al-Wa’zhu wa al-Irsyad. Isinya, seseorang tidak boleh menyampaikan ceramah, khutbah atau pengajaran di masjid kecuali mendapatkan lisensi resma dari Qadhi Qudhat. Atas dasar UU ini, sejumlah tokoh HT ditangkap dan dijebloskan ke penjara.

Pada November 1953, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berpindah ke Damaskus dan menyebarkan dakwah di sana. Namur, satu saat intelijen Siria membawa beliau ke perbatasan Syiria-Lebanon. Atas bantuan Mufti Lebanon, Syaikh Hasan al-’Alaya, akhirnya beliau diizinkan untuk masuk ke Lebanon yang sebelumnya tidak boleh.

Beliau lalu menyebarkan pemikiran beliau ke Lebanon dengan leluasa sampai tahun 1958, yaitu ketika pemerintah Lebanon mulai mempersempit kehidupan beliau karena merasakan bahaya dari pemikiran yang beliau emban. Akhirnya, beliau berpindah dari Beirut ke Tharablus dan terpaksa mengubah penampilan agar leluasa menjalankan kepemimpinan HT.

Selama itu beliau terus memegang Qiyadah (Kepemimpinan) HT. Beliau juga terus memantau berita baik dari koran, berbagai media, radio, dan sebagainya; kemudian menulis analisis politik dan disebarkan atas nama HT.

Beliau wafat pada 1 Muharram 1398 H atau 11 Desember 1977 M. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman Syuhada’ al-Auza’i, Beirut.

Peninggalan Beliau

Peninggalan beliau adalah sesuatu yang sangat bernilai. Beliau telah meninggalkan sebuah partai (Hizbut Tahrir) yang solid dengan seluruh pemikiran yang diembannya. Beliaulah yang menulis hampir seluruh pemikiran dan pemahaman HT.

Namun, beliau juga melibatkan komponen HT dalam menulis kitab-kitab beliau. Beliau menulis rancangan buku dan garis-garis besarnya, kemudian beliau mempercayakan kepada salah seorang intelektual HT yang menonjol di sekeliling beliau untuk menulis lengkapnya hingga mewujud dalam bentuk pemikiran yang mengkristal (jernih dan kokoh), baru kemudian di cetak.

Beliau sering menyodorkan buku-buku beliau kepada intelektual dan ulama HT sekaligus mendiskusikannya sebelum memutuskan akhirnya. Dengan begitu, pemikiran yang keluar merupakan pemikiran yang jelas, gamblang, dan shahih; dengan argumentasi yang kuat dan disertai keyakinan atas setiap hurufnya.

Karya-karya beliau istimewa karena bersifat menyeluruh dan mencakup berbagai bidang yang luas dan solusi atas problematika manusia. Karya-karya politis beliau juga istimewa karena didasarkan pada kesadaran, kedalaman, kejelasan, dan kesatuan sistematika sehingga mampu mendeskripsikan Islam sebagai ideologi yang sempurna dan menyeluruh yang digali dari dalil-dalil syariat –al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Hal ini bisa dikatakan sebagai hasil pertama dari usaha yang sungguh-sungguh dari seorang pemikir Muslim pada zaman ini.

Kehidupan politik beliau termasuk yang paling menonjol pada era ini dan mungkin sampai ke depan nanti. Beliau memiliki kemampuan yang tinggi dalam melakukan analisis politik, sebagaimana tampak dalam berbagai selebaran politik HT. Beliau memiliki keluasan telaah atas berbagai peristiwa politik; memiliki kedalaman pemahaman dan kesadaran yang linuwih atas masalah-masalah dan ide-ide politik. Siapa yang mendalami berbagai selebaran dan buku politik HT, garis-garis besar politik yang beliau susun untuk membina para syabab (aktivis) HT secara politik, akan dapat mengerti bahwa beliau memiliki kemampuan politik yang luar biasa. Beliau benar-benar merupakan salah seorang pemikir sekaligus politikus ulung abad ke 20.

Semoga kita dapat melestarikan peninggalan beliau yang sangat bernilai itu. Semoga kita diberikan kekuatan oleh Allah untuk melanjutkan dan tetap istiqamah memperjuangkan tegaknya Khilafah Islamiyah—yang menerapkan syariat Islam sekaligus mendakwahkan Islam ke seluruh dunia—yang menjadi dambaan beliau dan kita semua. Wallaahu Muwaffiq ilaa Aqwaam ath-Thariiq. [YA]

(Sumber: Majalah al-Wa’ie No.55 Edisi Khusus Maret 2005)

0 komentar: